Chapter 9: a Mess

388 57 3
                                    

Madness

"Karma lepaskan!" kau menepis tangan Karma yang sejak tadi terus menggenggammu dengan keras.

Karma diam sambil menunjukan punggungnya. "Kau sudah keterlaluan!" bentakmu sejurus kemudian.

"Apa?" Karma menggubris kali ini. Ia menoleh padamu dengan tatapan menusuk. Kau sempat terhenyak, namun sebisa mungkin kau tidak gentar. "Memangnya bisa diam saja melihat pacar sendiri bersama laki-laki lain di kamar apartemennya? Kenapa kau ceroboh sekali, (name)?"

"Apa maksudmu! Memangnya selama ini kau pernah mempermasalahkannya!"

"Harusnya kau mengerti sendiri! Walau Nagisa teman kecilmu dia tetap laki-laki! Kau pikir aku tidak tahu dia masih ada rasa padamu!" Karma meninggikan suaranya "Haahhh! Keterlaluan... harusnya kubunuh saja dia tadi agar tidak bisa lagi mendekatimu."

"Ha... hahahaa... keluar juga sifat aslimu." Ujarmu membuat mata Karma terbelangak ketika melihatmu. "Seharusnya sejak awal kau tidak usah sok baik! Tunjukan saja semua sifatmu! Sifat gilamu itu! Kenapa selama ini kau selalu sok baik, hah! Kau membuatku muak! Lagi pula apa kau tidak merasa sifatmu itu egois!"

"Kau menghilang selama 10 tahun! Tidak ada kabar! Tidak meninggalkan petunjuk! Kau bahkan tidak peduli betapa hancurnya aku saat itu! Hanya Nagisa yang selalu ada untukku! Kalau saja kau tidak muncul, seharusnya aku sudah bahagia bersama Nagisa saat ini!"

Hening. Hanya tersisa suara nafasmu yang masih terengah-engah. Beberapa detik setelah itu kau sadar dengan ucapanmu yang sudah keterlaluan. Kau tidak bermaksud mengatakannya tapi amarah menguasai seluruh gerak mulutmu.

Kau melihat Karma dan menemukan lelaki bersurai merah itu memasang raut getir yang membuat jantungmu berdenyut. "Uhh..." tapi entah mengapa kau tidak bisa meralat semuanya saat itu dan memilih untuk berpaling pergi.

.

.

Chapter 9: A mess

.

.

"Bagaimana gaunnya nona?" tanya pegawai butik gaun pengantin padamu. "Nona?" panggil pegawai itu sekali lagi.

"Ah... Ya?" kau sadar dari lamunanmu.

"Bagaimana dengan gaun ini?" tanya pegawai itu lagi.

Kau menoleh ke cermin dan melihat dirimu tampak cukup cantik di balutan gaun pengantin putih berlengan panjang bagian roknya yang berjumbai. Tampak sederhana tapi kau suka, karena menutupi semua bekas lukamu.

"Sepertinya yang ini saja..." jawabmu lesu pada pegawai butik itu.

"Ahh, baiklah, nona."

Kau diam dengan tampang murung, menoleh ke arah sofa tamu di butik itu. Hanya terdapat seorang lelaki bersetelan hitam. Itu pengawal suruhan Karma. Bahkan saat sedang memilih gaun pengantin begini, calon suamimu tidak datang menemanimu. Yah, kalian masih tidak ada bertegur sapa sejak pertengkaran tempo hari, bodoh sekali jika kau mengharapkan Karma menemanimu memilih gaun pengantin setelah kau menyakitinya dengan perkataanmu.

Tapi setidaknya Karma masih peduli dengan menyuruh bawahannya untuk jadi pengawalmu.

"Ayo." Ajakmu pada pengawal itu setelah kau berganti pakaian menjadi pakaian kasual seperti yang biasa kau pakai.

"Baik, nona."

"Tidak usah memanggilku nona... yang biasa saja..." tegurmu risih. Panggilan nona membuatmu merasa seperti tuan putri sungguhan.

"Tidak bisa, nona. Saya akan tetap memanggil anda dengan nona."

Kau tertawa pahit. Percuma saja menyuruh pengawal yang hanya mementingkan keformalan dapat menurut begitu saja.

"Baiklah terserah kau saja. Sekarang aku mau pulang dan istirahat. Aku capek."

"Mobil akan segera datang, nona."

"Ya, yaaa~ cepatlahh~"

***

Kau memasang raut tegang setelah membuka pintu rumah dan disambut dengan sosok Karma. Wajah lelaki itu tampak tenang menatapmu. "Sudah pulang?" tanya Karma dengan notasi datar.

"Ya..." jawabmu canggung.

Karma tersenyum mendengarnya, hanya saja senyuman itu tampak terpaksa. "Kau pulang dengan selamat, sepertinya pengawal itu bekerja dengan baik... baguslah." Kata Karma "Kalau saja jika pengawal itu membuatmu terluka karena tidak menjagamu dengan baik, dia akan segera kukirim ke rumah sakit jiwa."

Kau merinding mendengar ucapan Karma. Pancaran mata Karma benar-benar berubah sejak hari itu. Kau tidak lagi melihat pandangan hangat nan lembut memancar di manik merkurinya. Kini hanya ada mata dingin seperti gelas kaca.

"Aku tidak akan terluka... jadi tolong jangan lakukan itu." ujarmu.

Karma menatapmu dengan tatapan penuh makna. Kau tidak bisa membaca pikirannya saat ini. Ketidah tahuan itu membuatmu terus merasa cemas. Kau tidak mau melihat Karma memasang raut yang dapat membuat hatimu merasa tertusuk.

"Hmm..." respon Karma singkat "Kalau begitu istirahatlah yang benar. Sebentar lagi pernikahan kita akan berlangsung. Aku tidak ingin melihatmu sakit."

Karma mengatakan itu sambil memalingkan dirinya dan pergi begitu saja memasuki ruang kerjanya. Kau masih berdiri di tempat semula sambil terus memandang jalur kepergian Karma. Pandanganmu yang semula jernih kini perlahan mengabur akibat air matamu yang menumpuk. "Apa pernikahan kita masih akan berlangsung dengan bahagia, Karma?" tanyamu dengan suara parau pada seseorang yang bahkan tidak sedang di sisimu.

***

"Apa kau akan datang ke pernikahan teman kecilmu itu, Nagisa?" tanya Kaede.

Nagisa melihat Kaede, "Kau ingin aku benar-benar mati di hari istimewa itu?" ujar Nagisa membuat Kaede terkekeh. Nagisa pun mendengus diam dengan senyuman khasnya.

"Aku tidak ingin membuatnya khawatir, jadi sepertinya aku tidak akan memberikan ucapan selamat padanya."

"Menyedihkan ya... padahal kau teman kecilnya..."

"Teman... bisa berpisah kapan saja, kan? tidak mungkin mereka akan selalu bersama. Pada akhirnya mereka akan bahagia bersama orang lain."

"Kau tidak apa-apa?" tanya Kaede hati-hati.

"Yah... asal aku tahu dia bahagia bersama orang itu, aku tidak apa-apa." Jawab Nagisa "lagipula... sekarang ada Kaede di sampingku."

Nagisa melemparkan senyuman yang merupakan kegemaran Kaede. Hanya dengan senyuman itu saja, Kaede dengan senang hati akan membuka lebar tangannya dan memeluk Nagisa erat. Pelukan itu perlahan tumbuh menjadi kecupan-kecupan yang ringan. dan ketika hasrat mereka sudah memuncak, ruangan akan menjadi lebih panas.

"Aku akan terus berada di sisimu, Nagisa, hhh..."

"Ya, teruslah di sisiku... Aku membutuhkanmu. Sangat."

Perkataan-perkataan manis pun terus terlontar. Kaede bodoh karena merasa senang akan hal itu. Tidak tahu bahwa Nagisa terus membayangkan sosokmu yang kini berada di bawahnya.

.

.

.

TBC

MADNESSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang