Delapan

3.1K 258 23
                                    

Arman memandang kondisi Laura dengan prihatin. Semenjak insiden kekerasan fisik yang dilakukan Devano, tak ada lagi semangat yang terpancar dalam hidup Laura. Yang ada kini tinggal sebuah raut keputusasaan.

Arman menyempatkan diri menarik nafas dalam, sebelum kembali membujuk Laura untuk makan. Sudah beberapa hari setelah kejadian Arman menemukan dirinya babak belur, Laura seperti enggan memasukkan makanan ke dalam perutnya.

"Laura, ayo makan. Gue udah pesanin makanan enak untuk lo. Tapi bukan gratis. Besok-besok kalau lo dah sehat bakal gue tagih uangnya." Arman berkata dengan nada ceria. Ia tahu Laura bukan hanya terluka fisik saja, namun hatinya juga jauh lebih terluka.

Laura tersenyum tipis mendengar kata-kata Arman.

Melihat Laura menunjukkan reaksinya, membuat Arman tersenyum senang. "Ayo makan, gue jamin ini enak loh," rayu Arman dengan nada bercanda.

Tak tega melihat usaha Arman, Laura menganggukkan kepalanya pelan.

"Gue suapin ya," Arman menawarkan diri menyuapi Laura, karena melihat kondisi wanita itu yang masih belum pulih total. Bahkan untuk mengangkat sendok saja Laura merasa sakit dibagian rusuknya.

Dengan pelan Laura menganggukkan kepalanya.

Takut Laura berubah pikiran, Arman langsung menyuapkan sesendok makanan ke mulut Laura dengan hati-hati. Dirinya takut sendoknya mengenai luka di sudut bibir Laura yang masih belum sembuh.

"Enak, kan?"

Laura tersenyum tipis. "Terima kasih," ucapnya pelan. Namun setelah itu Laura kembali menangis di depan Arman.

Melihat Laura menangis membuat Arman langsung menghentikan gerakan tangannya yang hendak kembali menyuapkan makanan ke mulut Laura.

"Sst...jangan menangis lagi," Arman mengelus punggung ringkih Laura dengan pelan.

Bukannya makin reda, mendengar ucapan Arman tangis Laura semakin kencang. Perhatian tulus Arman kepadanya membuat mengingat kembali semua perbuatan Devano. "Lo yang hanya tetangga gue mau perhatiin gue, Man. Kenapa Vano, yang udah lima belas tahun bersama gue tega mau bunuh gue. Kenapa begitu, Man?" Tangis Laura kembali pecah. Bayangan adegan penyiksaan yang dilakukan Devano kembali berputar di kepala Laura.

Kali ini Arman tidak mengatakan apapun lagi. Dibiarkannya Laura kembali menumpahkan tangisnya. Keheningan terjadi di antara keduanya. Hanya isak tangis Laura yang begitu memilukan yang terdengar di ruangan itu.

Setelah menangis sekian lama, Laura menghentikan tangisnya karena merasa lelah. Dengan lembut Arman mengusap air mata Laura yang membasahi pipi wanita cantik itu.

"Jangan menangis lagi." Ujarnya pelan dengan tatapan sedih.

Laura mencoba untuk tersenyum. Namun kembali lagi air matanya turun membasahi pipinya.

"Hidup lo gak akan berakhir hanya karena ditinggalkan si brengsek itu." Ujar Arman memberi semangat. "Lo udah cantik, pintar, punya body seksi lagi." Pujinya lagi. "Kurang lo, cuma sombongnya aja gak ketulungan." Cengir Arman di akhir kalimatnya. Arman mencoba untuk merubah suasana sedih di ruangan itu.

Laura memukul Arman dengan pelan. Dirinya tak terima dikatakan sombong. "Gue gak sombong, " bantahnya, "Gue cuma percaya diri saja." tuka Laura, walaupun dengan suara masih tersendat.

"Mau dengar cerita gue?"

Masih dengan mata bengkak, Laura menatap Arman dengan sendu. "Cerita, apa?" Tanyanya serak.

"Lo tahu gak, jadi gigolo adalah cita-cita gue."

Laura terkejut dengan pernyataan Arman. Biasanya tidak ada yang mau mengakui dengan jujur memiliki pekerjaan satu itu. Setahu Laura, semua yang masuk ke dalam dunia prostitusi itu biasanya mengaku karena himpitan ekonomi, di jebak, dan sebagainya. Tapi Laura belum pernah mendengar ada yang bercita-cita menjadi gigolo seperti Arman. Apalagi yang berjenis kelamin pria.

LAURA & DEVANO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang