Sepuluh

6.1K 354 37
                                    


Seharian ini Laura dirundung gelisah. Entah apa yang membuatnya seperti itu. Sebisa mungkin Laura mencoba untuk berpikir positif, mengurangi kecemasannya. Namun tetap saja tak bisa.

Malam, saat Laura hendak beranjak tidur, telinganya mendengar suara bel berbunyi. Ia sedikit bertanya, siapa yang bertamu malam-malam begini ke apartemennya.

Laura sedikit heran saat melihat orang yang memencet bel nya adalah Arman. Dengan cepat Laura langsung membukanya.

"Ada apa, Arman?" Laura langsung bertanya perihal kedatangan Arman. Karena tidak biasanya pria itu bertamu malam-malam begini.

"Frans mengatakan Joana ingin menemuimu." Ucap Arman menjelaskan maksud kedatangannya.

"Untuk apa?" Tanya Laura heran. Ia merasa tidak ada hubungan dengan wanita itu. Tidak mungkin Joana ingin memastikan keadaanya. Mereka bukan dalam hubungan terlalu dekat sehingga membuat mereka saling mengunjungi. Mereka hanya orang asing yang kebetulan bertemu di waktu yang tidak tepat.

"Gue gak tahu. Frans tidak mengatakan apapun." Tidak berbeda dengan Joana, Arman pun sama herannya.

Sibuk dengan pikiran masing-masing keduanya menunggu kedatangan Frans dan Joana dalam keheningan. Keduanya memutuskan menunggu Frans dan Joana di balkon apartemen Laura. Hingga tak lama kemudian bel berbunyi menunjukkan mereka telah tiba.

Arman segera beranjak meninggalkan Laura untuk membukakan pintu. "Masuklah,"Arman mempersilahkan keduanya masuk. "Laura sedang berada di balkon bila kamu ingin menemuinya." Ucap Arman kepada Joana.

Mendapat izin dari Arman, Joana segera bergegas menemui Laura. Dengan sengaja wanita itu batuk untuk memberitahukan kedatangannya.

Menyadari seseorang ada di belakangnya, Laura langsung berbalik untuk melihatnya.

"Ternyata lo sudah datang." Senyum Laura tipis. "Ada apa cari gue?" Tanyanya langsung dengan tatapan menyelidiki.

"Tadi gue bertemu dengan pria itu." Joana langsung bicara tanpa basa-basi.

"Siapa?"

"Mantan kekasih lo, Devano." Ucap Joana langsung.

"Kenapa dengan Vano?" Tanya Laura tak mengerti.

"Gue melihat dia menggandeng wanita kemarin di pesta tadi." Kemarahan membuat Joana sengaja memanas-manasi Laura.

"Terus?" Laura mencoba untuk tidak terpancing terhadap kata-kata Joana.

Joana menatap Laura tajam. "Masalahnya gue baru tahu, bahwa pria gila yang lo cintai itu ternyata adalah pria yang sama dengan pria yang menghancurkan kehidupan gue. Dia menjebak sepupunya, hingga secara tak langsung membunuh adik gue." Ucap Joana sambil menahan air matanya. Kenyataan ini membuatnya terpukul. Kenapa ia harus kembali di pertemukan dengan orang-orang yang menghancurkannya.

Laura membeku mendengar penjelasan Joana. Ia tidak tahu kini kesalahan masa lalunya mulai meminta pertanggung jawabannya.

Laura hanya bisa terdiam mendengar semua kemarahan yang diucapkan Joana. Ia menerima semua kemarahan wanita itu.

"Maafin gue..." Isaknya memohon. Belum kering air matanya karena ditinggalkan Devano, saat ini Laura harus mempertanggung jawabkan perbuatannya di masa lalu. Rasa cintanya terhadap Devano membuatnya menjadi wanita jahat.

Namun apa balasannya? Setelah semua yang dilakukannya, Devano malah meninggalkannya sendirian.

***

Sejak kepulangan Joana dan Frans, Laura masih terus berdiam diri di balkon kamarnya. Angin malam yang dingin sama sekali tidak menyurutkan niatnya. Kemarahan yang diluapkan Joana tadi berhasil memukulnya telak.

Arman yang sedari tadi diam memperhatikan Laura dari dalam ruangan memutuskan ikut bergabung bersama Laura di balkon.

"Mau minum bir?" Arman menunjukkan sekaleng bir di tangannya kepada Laura. Sedangkan tangan satunya memegang sekaleng bir untuk dirinya.

Dengan lesu Laura menerima bir yang disodorkan Arman kepadanya. "Terima kasih." Ucapnya tulus lalu langsung membuka bir itu tanpa kesulitan.

Keduanya meminum bir yang ada di tangan mereka masing-masing tanpa berbicara.

"Gue gak pernah sadar kalau selama ini gue jahat banget." Laura yang sedari tadi diam, memecahkan keheningan di antara mereka.

Arman yang sedari tadi asik melihat lampu-lampu kota menoleh menghadap Laura.

"Bahkan gue gak tahu bahwa kelakuan gue dulu membuat seorang wanita tak berdosa meninggal dunia."Laura mendesah lelah menyesali perbuatannya. "Jahat banget kan, gue." Ucap Laura penuh sesal menatap Arman.

Namun tak mendapat jawaban dari pria tampan itu, Laura kembali meneruskan ucapannya."Sumpah demi Tuhan, gue gak pernah sadar cinta gue sama Vano merubah gue jadi wanita jahat. Sekarang gue sadar kenapa Vano gak mau sama gue. Siapa juga yang mau sama wanita jahat?" Lanjut Laura lesu.

Arman meletakkan kaleng bir nya dengan keras. Entah kenapa pria itu tidak suka dengan Laura yang selalu memandang rendah dirinya. "Jangan bicara seperti itu. Tidak baik lo terus nyalahin hidup lo." Ucap Arman dengan nada sedikit naik.

Laura tersenyum miris. "Tapi, terbuktikan kalau ucapan gue benar?" Ucapnya sendu, menolak pernyataan Arman.

"Kalau lo gak bersama dia, mungkin dia bukan jodoh lo. Apa susahnya sih kalau lo berpikiran sesimpel itu." Lama-lama Arman mulai kesal juga dengan sikap Laura yang terlihat bucin.

Laura meneguk kembali bir nya. Seandainya saja ucapan Arman dapat dilakukan dengan mudah, mungkin Laura akan segera melakukannya. " Tapi gue cinta mati sama dia, Arman." Keluhnya putus asa.

Arman mendengus kesal mendengar ucapan Laura. Baginya sulit sekali untuk menyadarkan Laura bahwa pria seperti Devano tidak pantas untuk dicintai. Pria bajingan yang hanya bisa memanfaatkan cinta Laura.

"Terserah lo deh mau gimana? Gue capek ngingetin lo untuk melupakan bajingan itu. Kurang puas apa lo disiksa sama dia?" Arman mencoba menyadarkan Laura dengan kenyataan yang terjadi. " Atau memang lo nya aja yang bodoh? Padahal jelas-jelas dia udah buang lo. Kurang jelas apa lagi coba, Laura?!" Bentak Arman dengan nada tinggi. Sehingga membuat Laura sedikit mengerut kaget. Dirinya tak menyangka Arman yang dikenalnya santai terlihat marah kepadanya. "Apa tunggu mati dulu baru lo sadar kalau bajingan itu gak pantas untuk dicintai? Ujar Arman sinis. "Sekarang terserah lo deh mau gimana?!" Arman mengibaskan tangannya marah, lalu segera berdiri hendak meninggalkan Laura. Ia merasa sepertinya apapun yang dikatakannya, Laura tetap saja tidak mau mendengarkannya.

Laura yang tahu Arman hendak meninggalkannya, segera disergapi ketakutan. Ia tak mau bila pria itu juga ikut meninggalkannya seperti Devano.

"Lo mau kemana, Man?" Laura menangkap pergelangan tangan Arman, mencegahnya untuk pergi.

"Gue mau balik ke tempat gue. Lama-lama bosan gue denger ketololan lo!" Ucap Arman ketus, sambil menepis tangan Laura dengan kasar.

"Gue mau berubah, Man. Gue mau berubah menjadi manusia lebih baik."

Mendengar ucapan Laura yang mau berubah membuat Arman ikut tersenyum.

"Tolong bantu gue buat lupain, Vano. Gue janji akan berubah, Arman." Ucap Laura sungguh-sungguh. Ia berfikir mungkin sudah seharusnya ia mengikhlaskan Devano bersama wanita lain.

Namun seketika itu juga keraguan langsung menghinggapi hatinya. Benarkah ia bisa secepat itu melupakan pria yang telah mengisi hatinya selama belasan tahun ini?

Bahkan setelah disiksa oleh Devano, Laura masih merasa sulit melupakannya. Ia pikir sepertinya mentalnya telah rusak karena terus mengharapkan Devano.

LAURA & DEVANO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang