Empat belas

4.1K 323 13
                                    

Buat teman-teman yang merasa gak sabar membaca cerita ini, bisa beli di playstore atau pdf nya😊 harganya murah kok, cuma 25k( mode promosi) tapi kalau gak mau juga gak papa😄 jangan merasa terpaksa ya teman-teman.....



Sepulang dari kediaman Frans, Arman memilih menutup dirinya dari Laura saat di perjalanan menuju apartemen mereka. Bahkan begitu tiba di apartemen, Arman langsung berjalan ke balkon meninggalkan Laura sendirian tanpa mengatakan apapun.

Laura yang memahami kondisi Arman mencoba memahaminya. Wanita itu tahu rasa kehilangan Arman tidak bisa disamakan dengan yang lain. Hubungan keduanya melebihi sahabat biasa.

Usai membersihkan diri, Laura memutuskan untuk memasak makanan untuk mereka berdua. Kematian Frans membuat mereka lupa untuk mengisi perut mereka dengan benar. Sekarang setelah semuanya selesai baru kini perutnya terasa lapar.

Setelah menyelesaikan masakannya, Laura memutuskan untuk memanggil Arman. "Arman, ayo makan dulu." Laura mengajak Arman untuk mengisi perutnya. Karena nyaris dua hari ini Arman sama sekali belum memasukkan makanan ke perutnya. Laura takut Arman bisa jatuh sakit bila sampai tak makan.

Arman menggelengkan kepalanya pelan. "Nanti." Ucapnya singkat. Bahkan untuk memandang Laura pun Arman seolah enggan.

Melihat penolakan Arman membuat Laura tertawa miris dalam hati. Dulu ada masanya Arman yang membujuknya makan, kini siapa yang tahu sekarang dia yang berada di posisi Arman dulu.

Tak menyerah, Laura kembali membujuk Arman sekali lagi. "Ayo makan dulu. Ntar lo jatuh sakit kalau gak makan-makan."

Arman menoleh kepada Laura, "Makanlah duluan. Gue sama sekali gak lapar." Setelah itu Arman membalikkan badannya menatap jalanan.

Laura mendesah lelah melihat sikap Arman. "Gue tahu lo sedih. Gue bisa paham, Arman. Tapi, bukan gini caranya dengan nyiksa diri lo. Nanti setelah makan lo bisa bebas untuk sedih lagi kalau itu yang lo mau."

Laura tak menyangka ternyata ucapannya barusan berhasil memancing reaksi Arman. Dengan tajam ia memandang Laura hingga membuat wanita itu sedikit ketakutan. "Tutup mulut, lo! Tahu apa lo dengan kehidupan gue?!" Bentaknya marah hingga membuat Laura berjengit kaget.

Laura yang masih trauma akibat kemarahan Devano sedikit syok dengan sikap Arman."Bukan itu maksud gue, Man..." Cicit Laura pelan. "Gue hanya mau-" Laura tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena keburu menangis.

Melihat ketakutan di wajah Laura, membuat Arman segera sadar. Dengan kasar diusapnya wajahnya untuk meredam segala amarahnya. "Maafin gue, Laura. Gue gak bermaksud bentak lo. Hanya saja emosi gue sedang gak stabil saat ini." Ucap Arman merasa bersalah kepada Laura.

Laura mencoba tersenyum mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Setidaknya ia sadar ia juga bersalah di sini.

Setelah itu keduanya saling diam di posisi masing-masing. Yang terdengar hanya suara hembusan angin mengisi kesunyian mereka.

"Gue kehilangan teman, saudara, rekan bisnis, bahkan Frans merupakan panutan gue selama ini. Gue gak nyangka dia akan ninggalin gue secepat ini." Arman memecahkan keheningan di antara mereka.

Laura ikut merasakan kesedihan Arman. Ia tahu perasaan Arman. Karena ia juga pernah mengalaminya. Hanya saja posisinya saja yang berbeda. Kalau Arman kehilangan Frans untuk selamanya, maka ia kehilangan Devano karena ditinggal nikah. Keduanya sama-sama tidak enak untuk dirasakan.

"Mungkin gue ditakdirkan sendiri aja, ya?" Arman bertanya kepada Laura sambil tersenyum pahit.

Laura menggelengkan kepalanya. "Jangan bicara seperti itu, Arman."

"Tapi kenyataannya seperti itu."

"Masih ada gue yang akan menemani lo." Sela Laura.

Arman tersenyum tipis mendengar ucapan Laura. Ia tidak percaya dengan ucapan wanita itu. Ada saatnya juga Laura akan pergi meninggalkannya saat ia menemukan kehidupan yang lain.

Melihat keraguan di wajah Arman, membuat Laura maju mendekati Arman. Pelan di gengamnya tangan Arman. "Gue butuh tempat bersandar. Dan gue rasa lo adalah orangnya." Tatapannya yang teduh mengunci pandangan Arman." Karena itu jangan bilang semua meninggalkan lo, Arman. Karena gue sangat membutuhkan kehadiran lo." Laura tahu dirinya tak pantas mengucapkan hal ini di saat seperti ini. Tapi Laura ingin Arman sadar bahwa ia tak akan meninggalkan pria itu.

Ternyata ucapan Laura berhasil membius Arman.

Katakanlah terlalu dini Laura menyukai Arman, namun ia sama sekali tidak berbohong tentang perasaannya yang sangat membutuhkan Arman.

Sayangnya sulit sekali untuk membuat Arman percaya. Pria itu menolak ucapan Laura. Ia merasa Laura hanya ingin mencoba menghiburnya.

"Tidak usah berbohong untuk menghibur gue." Arman menatap Laura dengan tatapan menyelidik. Mencari kebohongan di mata wanita itu. Namun sama sekali tidak ditemukannya.

Laura menarik nafas dalam, kemudian menggelengkan kepalanya. "Gue berkata jujur, Arman."

"Tapi gue merasa gak pantas. Gue seorang gigolo. Dan lo tahu apa artinya itu." Arman mencoba mengingatkan Laura perihal dirinya. Siapa tahu saja wanita yang didepannya itu tidak ingat.

Laura mengangkat bahunya tak peduli. "Kurang buruk apalagi gue. Semua ngatai gue jalang. Kurang apa coba?" Laura tersenyum pahit mengingat semua julukan orang kepadanya.

Arman pikir ia tidak bisa mengelak lagi. Tawaran yang diberikan Laura membuatnya tertarik. Kehilangan Frans membuatnya merasa kesepian dan kehilangan. Tidak ada salahnya ia mencoba membuka lembaran baru dengan Laura. Menutupi rasa sepi dalam hatinya.

"Gue terima tawaran lo. Mari kita perlahan mencobanya."

Laura yang menunggu dengan cemas keputusan Arman langsung menghambur dalam pelukan pria itu. "Terima kasih, Arman." Ucapnya penuh haru.

Arman membalas pelukan Laura.

"Jangan hanya gue yang bersandar sama lo. Lo juga boleh menjadikan gue tempat sandaran lo. Kita sama sekali tidak mempunyai keluarga, gue harap kita bisa saling menopang dalam kehidupan selanjutnya."

Arman mengangukkan kepalanya menyetujui ucapan Laura.

Kini, dibawah dinginnya malam yang berselimut duka, Arman dan Laura telah menemukan alasan mereka untuk bertahan hidup. Karena kini mereka tidak sendirian lagi. Setelah sekian lama keduanya menemukan tempat mereka untuk pulang. Tempat yang bisa menjadi sandaran mereka dalam menghadapi hidup ini dari segala duka yang menyelimuti mereka selama ini.











LAURA & DEVANO Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang