Sebagai anak teknik, "make up" adalah kata yang asing bagiku selama ini. Jangankan pensil alis, pergi ke kampus pakai bedak saja rasanya sudah maksimal. Aku bahkan masih sering terbalik menyebutkan mascara dan eyeliner. Namun setelah memasuki dunia perbankan, hal pertama yang kupelajari adalah penampilan itu penting. Masih teringat kata-kata pemateri pada kelas Grooming minggu lalu, "First impressions matter".Pelan-pelan kuoleskan eyeliner di kelopak mataku. Sudah kusiapkan waktu 30 menit tiap pagi hanya untuk menyempurnakan lekukan eyeliner yang masih amatir ini. Harus sering dicoba agar terbiasa. Terlebih lagi, aku harus terlihat cantik di depan Robby, kan?
Semua orang pasti pernah jatuh hati, begitupun aku
Tapi kenapa?
Buah apel yang jatuh dari pohon saja bisa dihitung rumusnya
Kenapa hatiku yang jatuh padamu tidak pernah kutemukan alasannya?
Robby.
Secepat kilat namanya memenuhi seisi kepalaku
Setelah selesai bersiap-siap, seperti biasa, ayah mengantarkanku ke tempat pelatihan. Saat aku tiba di kelas, suasana sudah cukup ramai. Ohiya, kelas pelatihanku terdiri dari 6 meja budar yang disusun membentuk huruf "U" menghadap ke layar proyektor di depan kelas, dengan masing-masing meja cukup ditempati oleh 5 orang peserta. Penataan yang sesuai untuk menciptakan suasana kelas yang interaktif dengan grup-grup diskusi kecil. Kebetulan jumlah peserta training di kelasku 30 orang, jadi semua meja pasti akan penuh terisi. Namun pagi ini, masih tersisa satu kursi kosong di meja Robby.
— Kamu tahu? Ini adalah saat yang sudah lama kutunggu, bisa duduk satu meja denganmu.
"Di sini kosong? Gue di sini deh ya," ujarku pada Robby dan teman-teman yang duduk satu meja dengannya.
"Iya, kosong. Duduk aja," jawab Robby.
Aku pun duduk di kursi itu, di sisi meja bundar dengan taplak biru tua. Robby duduk tepat di hadapanku. Masih dengan tatapan yang tegas dan kacamata bingkai hitamnya itu. Benar-benar. Kurasa ada sesuatu yang menyihirku setelah aku menatap binar-binar di matanya. Jantungku berdegup cepat sekali, seperti baru saja selesai lari maraton.
Dalam hatiku, seperti ada yang berteriak 'OMG! Akkkhhh!! Dia di depanku!'.
Dan... BUM!
Seketika kuambil lagi tasku yang sebelumnya telah kuletakkan di bawah meja.
"Eh gue, di sana aja deh. Dari sini agak susah ngeliat ke depan. Encok nanti," ujarku sambil menunjuk meja lainnya di sebelah meja Robby.
"Ooh... Oke," ujar Robby tanpa curiga.
Aku pun beranjak dengan tenang, seperti tidak sempat ada teriakan-teriakan hebat dalam kepalaku.
Posisi dudukku tadi memang agak membelakangi layar proyektor, namun bukan itu alasanku pindah. Sama sekali bukan karena sulit melihat ke depan kelas. Toh, aku bisa memutar kursiku bila perlu.
— Maaf ya, aku bohong. Padahal tadi pagi aku sudah dandan dengan cantik untuk mempersiapkan hari ini. Tapi ternyata, sedekat itu denganmu, aku belum siap.
Walaupun aku menyukainya, ritme dengan tempo yang cepat dari detak jantungku saat menatap matamu.
Dari meja sebelah, aku masih bisa melihat Robby dengan jelas. Selama materi training hari ini, aku merasa seperti ia beberapa kali melihat ke arahku. Bodohnya, aku tidak cukup berani untuk memastikan itu. Mungkin hanya perasaanku saja.
Hingga siang tadi ia sempat memanggilku dengan nada yang lucu.
"Renaaa..." katanya.
Dan saat kujawab, "Apaa?" dia hanya tertawa.
***
Terlepas dari aku yang tidak jadi duduk satu meja dengan Robby, hari ini training berjalan seperti biasa. Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 16.30 dan kami pun bersiap-siap untuk pulang. Seperti anak sekolah yang baru saja bubar, kami keluar kelas dengan bergerombol sambil bercerita dan bercanda. Entah siapa yang memulainya, tiba-tiba topik pembicaraan jadi tentang pasangan.
"Kalau lu Robby, udah punya pacar belum?" tanya Lisa, salah satu teman sekelasku paling supel dan cepat sekali akrab dengan siapapun.
"Belum. Hahaha... Cariin dong," jawab Robby sambil tertawa malu-malu.
"Nah, Lisa... Bantuin tuh, temen kuliah lu ada yang bisa dikenalin nggak?" sahutku antusias. Padahal dalam hatiku, 'Yes! Masih jomblo dia. Hahahaha!'
"Ohiya boleh, boleh. Ada deh kayaknya temen gue. Siapa ya..." jawab Lisa seraya memeriksa kontak di handphone-nya.
"Yang orang Batak ya," Robby menambahkan.
"Lah, itu Rena orang Batak," jawab Lisa yang kemudian menunjuk ke arahku.
Aku agak kaget mendengar jawaban Lisa. Seperti dia bisa menerjemahkan isi pikiranku. Hampir kukira kalimat itu keluar dari mulutku.
Robby hanya tersenyum, melihat ke arahku sebentar, kemudian kembali berjalan.
Maunya sih langsung kujawab 'Iya, sama gue aja!', tapi saat itu aku sedang terhanyut dalam senyumnya hingga tak sempat menanggapi apa-apa.
Dan entah bagaimana, topik obrolan sudah berganti.
Kumohon...
Kenapa badai ini semakin kencangnya?
Aku masih mencoba bertahan
Bepegangan pada tiang-tiang layar yang tersisa
Kurasa sedikit lagi kapal ini akan terbalik
Dan aku akan tenggelam
Tenggelam di dalammu
— Jakarta, 09 April 2019
R.
***
Hai semua! Apa kabar bestie-bestieku? Semoga minggu ini penuh dengan cerita-cerita baik yaa...
Jadi Renata makin suka aja nih sama Robby, gemes deh. Emang boleh se-suka itu?
Kita pantau terus kisahnya Robby dan Renata ya, bestie 😊
YOU ARE READING
Senandika Renata
RomansSenandika: Artinya, wacana seorang tokoh dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, atau konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut. Renata: Dalam bahasa Latin, artinya terlahir kembali. Jadi u...