"Mba, Mas, yang tadi mau Offering Letter sama Bu Dela, langsung masuk aja ke ruangan."
Belum sempat aku berkenalan lebih lanjut dengan Robby, bapak petugas security memotong pembicaraan kami, mengarahkan untuk masuk ke ruangan yang letaknya tak jauh dari sofa tempat kami duduk.
"Oh, iya. Makasih, Pak," jawabku.
Aku dan Robby pun segera bangkit dari tempat duduk, menuju pintu ruangan yang dituju. Seperti ruang meeting kantoran masa kini, dinding ruangan didesain menggunakan kaca yang dilapisi stiker buram secara horizontal, namun hanya menutupi dua per tiga bagian secara vertikal, sehingga sedikit bagian atas dan bawahnya masih tembus pandang. Dari luar, aku bisa melihat bayangan beberapa orang yang sudah ada di dalam, walaupun tidak terlalu jelas.
"Permisi," ujarku sambil mendorong pintu yang juga berbahan kaca.
"Halo! Iya, langsung duduk aja di tempat yang kosong, ya. Kita masih nunggu teman-teman yang lain," sahut seorang wanita dewasa dengan blazer biru dongker dan celana formal senada. Penampilannya rapi dan profesional, benar-benar mencerminkan wanita kantoran yang selama ini aku lihat di film-film. Aku rasa, dialah Ibu Dela.
"Baik, Bu," jawabku.
Ruangan meeting tersebut cukup luas, dua meja meeting besar yang disusun memanjang menghiasi bagian tengah ruangan. Kursi-kursi kantor beroda mengelilingi sisi meja, mungkin sekitar 30 kursi jumlahnya dengan sebagian sudah ditempati oleh muda-mudi seusiaku.
Aku pun masuk, diikuti Robby yang sejak tadi di belakangku. Kami langsung saja menempati kursi yang masih kosong dan Robby duduk di sebelah kananku.
"Ini yang mau Offering Letter buat peserta MTP, kan?" tanyaku pada wanita yang duduk di sebelah kiriku.
"Iya, bener. Ini belum mulai kok, masih nunggu yang lain pada datang," jawabnya.
"Oke. Makasih ya," ujarku.
"Ohiya, kamu namanya siapa?" wanita itu balik bertanya sambil mengulurkan tangannya.
"Rena," jawabku menyambut jabatan tangan itu.
"Aku Lisa," jawabnya.
Seperti halnya dua orang yang baru mengenal, kami saling bertanya pertanyaan-pertanyaan klasik. Pengalaman bekerja, asal suku, asal kampus, dan lainnya. Sangat normal, sampai Lisa mulai menanyakan hal lainnya.
"Emang rumah kamu daerah mana, Rena?" tanya Lisa.
"Daerah Kampung Rambutan," jawabku.
"Oh... Jakarta Timur ya?" Lisa menambahkan.
"Iya, kamu tahu?"
"Tahu, dong. Dulu SMP-ku dekat situ," jawab Lisa.
"Ohiya? SMP apa?" tanyaku seraya berpikir. Sepertinya ada sesuatu yang aku lewatkan.
"SMP Melati Unggul."
Aku terdiam. Kutatap lagi wajah Lisa lekat-lekat.
"Kenapa, Ren?" tanya Lisa melihatku terdiam.
"Aku juga alumni SMP Melati Unggul," jawabku pelan, sambil masih terus berpikir.
"Ohiya? Alumni tahun berapa?" sahut Lisa kaget.
Belum sempat kujawab Lisa, aku sudah mendapatkan jawaban dari pertanyaan dalam kepalaku, "Oca, yaa?"
"Eh, iya. Kok tau?" Lisa melanjutkan kekagetannya.
"Oca! Ini gue, Renata. Kita pernah sekelas kan, waktu kelas 8?" lanjutku, kali ini sudah dengan sapaan 'gue'.
Lisa terdiam sejenak.
"Eh, ya ampun... Renata!" ujarnya kemudian. Wajahnya masih terlihat kaget, namun kali ini sepertinya dia sudah mengenaliku.
"Iya! Hahaha..." tawaku. "Sekarang lu dipanggil Lisa?"
"Iya, Ren. Sejak gue kuliah di Semarang, udah nggak ada teman-teman SMP lagi di sana. Jadinya udah nggak ada yang panggil gue Oca."
"Hoalaa... Pantesan. Dari tadi gue kayak udah ngerasa lu mirip seseorang, tapi gue nggak ngeh karena panggilan lu Lisa sekarang."
"Hahaha... Iya, ya. Udah lama banget kita nggak ketemu, gue juga pangling sama lu, Ren."
Aku pun asyik mengobrol dengan Lisa, selayaknya dua orang teman lama yang bertemu kembali.
— Jakarta, 15 Maret 2019
***
Begitulah kisahnya, awal pertemuan kembali antara aku dan Lisa, teman lamaku ketika SMP. Dulu, sosial media belum secanggih saat ini. Setelah lulus, kami tidak pernah bertemu lagi dan lost contact selama 10 tahun, hingga akhirnya membuat kami berdua seperti orang asing kembali.
Betul-betul keajaiban aku bisa bertemu lagi dengan Lisa di kantor yang sama, bahkan dalam program yang sama, dan di kelas yang sama. Semua teman sekelasku sudah mengetahui bahwa Lisa adalah teman SMP-ku, Robby juga sudah tahu itu. Yang mereka tidak tahu adalah, beberapa tahun lalu, kami pernah menyukai orang yang sama.
Saat kelas 1 SMP, aku pernah dekat dengan seorang anak laki-laki teman sekelasku. Aku diam-diam menyukainya, namun tak pernah kukatakan. Sampai suatu hari teman dekatnya mengatakan bahwa anak laki-laki itu juga menyukaiku. Salahku memang, setelah mendengar kabar itu, aku menjauh. Aku masih terlalu lugu untuk sesuatu yang disebut 'pacaran'. Ketika naik kelas 2 SMP, tiba-tiba saja kudengar kabar anak laki-laki itu pacaran dengan Lisa.
Sungguh, aku tidak pernah mempermasalahkan hal itu. Aku yakin Lisa pun tak tahu dan tak peduli dengan kisah lama itu. Namun kenapa Lisa? Kenapa lagi-lagi Lisa? Setelah 10 tahun berlalu dan aku menemukan seseorang seperti yang kucari selama ini, kenapa tiba-tiba saja ada Lisa? Kenapa?
Sejak dulu Lisa memang primadona, ia mudah bergaul dengan orang lain, perhatian, dan penuh semangat. Bahkan sekarang, ia terlihat semakin dewasa. Rambutnya panjang sedikit bergelombang, wajahnya mulus tanpa pori-pori, dan pipinya yang sedikit chubby membuatnya terlihat manis.
Sedangkan aku? Gadis berkacamata, lugu, dengan ramput pendek sedagu. Mimpi apa aku, ingin dekat-dekat dengan Robby?
— Jakarta, 15 April 2019
R.
***
Hai, bestie! Ketemu lagi. Semoga kalian sehat selalu ya, di tengah cuaca yang lagi tak menentu.
Di part kali ini sedikit membahas tentang Renata dan Lisa. Ternyata mereka teman lama, guys. Gimana nih, apakah kali ini kisah Renata waktu SMP akan terulang lagi?
Penasaran bestie? Ikutin terus, ya! 😊
YOU ARE READING
Senandika Renata
RomanceSenandika: Artinya, wacana seorang tokoh dengan dirinya sendiri di dalam drama yang dipakai untuk mengungkapkan perasaan, firasat, atau konflik batin yang paling dalam dari tokoh tersebut. Renata: Dalam bahasa Latin, artinya terlahir kembali. Jadi u...