3 : Flirting in the House

102 14 0
                                    

Vote sebelum baca yaa.

.
.
.


Useless worries, i'm such a fool
My heart is opened towards you
But i'm hiding it.
—Think Of You, Her Private Life Ost.



"Dimana Jihyo?"

Aku mendengus pelan saat melihat sosoknya datang. Siapa lagi selain Park Jimin yang rela jauh-jauh datang hingga menembus paparazzi demi kakakku di tengah schedule sibuknya saat ini?

"Kau tidak dikabari olehnya? Dia baru saja pergi bersama Jennie. Mereka ada rekaman bersama."

"Serius?" Jimin tampak terkejut mendengarnya. Terbukti dari matanya yang melebar sedikitnya 1 cm. Ya, meski tidak terlalu terlihat sih.

"Karena aku baik, aku akan mengirim pesan padamu jika Jihyo datang. Sekarang pergilah!" Aku mengusirnya secara halus, takut juga jika orang melihat.

Tapi sebaliknya, yang dilakukan Jimin adalah menerobos masuk hingga berhasil duduk santai di salah satu sofa. Ia sama sekali tidak bisa diajak berkompromi. Selalu saja seenaknya. Sama saja seperti Jihyo, pergi seenaknya—bersantai bersenang-senang. Aku lama-lama bisa stress diapit mereka berdua.

"Kau hanya sendirian?" Jimin tampak melihat sekeliling.

"Tentu saja. Memangnya ada siapa lagi selain kakakku?" Aku ikut duduk di salah satu sofa—yang pasti terpisah dengan sofa yang diduduki Jimin.

"Kenapa hanya sendirian? Kau bisa saja terluka atau ada orang jahat yang masuk ke dalam rumah! Bagaimana jika tidak ada orang yang menolongmu pada saat itu?" Jimin tampak panik sendiri.

"Hey, jaman sekarang sudah canggih. Bahkan aku bisa melihat siapa yang datang dari pendeteksi. Wajah pacar kakakku terpampang jelas, mana mungkin tidak aku bukakan?" Aku menatapnya sambil tersenyum manis. Aneh, kadang aku tidak mengerti dengan sikapnya. Dia bahkan tinggal di dorm dengan keamaan tingkat tinggi. Ia pasti bisa mengetahui hal-hal semacam ini kan? Bahkan di rumah-rumah kecil saja semuanya sudah terpasang. Lagi pula jarang sekali ada kriminalitas di Korea.

"Pokoknya, jika kau sendirian hubungi aku. Aku akan menemanimu."

Kedua mataku membulat mendengarnya. Apa pria ini tidak berpikir dahulu sebelum berkata apapun?

"Kenapa tidak katakan pada kakakku saja? Kurasa dia yang pantas mendapatkannya."

"Aku kan harus melindungi adik pacarku." Gumamnya pelan. Entah apa yang dia pikirkan sekarang.

"Ah, lupakan. Kau kesini sudah jauh-jauh kan? Mau aku buatkan makanan?" Aku berusaha mengalihkan pembicaraan. Jika dilanjutkan, akan semakin berbahaya. Semakin menguat. Semakin besar.

"Kopi yang kau buat waktu itu enak. Bisa tolong buatkan lagi?" Jimin tersenyum.

Aku menelan saliva pelan, kembali merasakan jantungku berdetak melebihi ritme. "J-Jihyo membuat kopi berkali-kali jauh lebih enak dariku."

"Berhenti membanding-bandingkan dirimu dengan Jihyo." Jimin menatapku intens dan tampak tidak suka. "Kau adalah kau, Jihyo adalah Jihyo. Kalian itu berbeda."

"Y-ya, kau ini kenapa?"

Jimin menghela nafasnya kasar. "Maafkan aku, sepertinya aku terlalu banyak pikiran." Ia menyandarkan diri pada punggung sofa. Memikirkan sesuatu.

Aku dengan cepat pergi ke dapur dan menetralkan perasaanku sendiri. Ini gawat, tidak bisa dibiarkan. Aku bisa saja sudah benar-benar jatuh cinta.

Tidak Hyunji-ya. Kau pasti salah. Mana mungkin mencintai pacar kakakmu sendiri? Itu hanya halusinasi mu saja.

Aku mengangguk, lantas memantapkan diri pada pemikiran itu. "Kau bukan orang jahat. Biarkan mereka bahagia."

•••

"Terima kasih."

Jimin tersenyum dan menyesap kopi yang kuberikan. Aku duduk di sofa semula, menunggunya hingga selesai. Aku tidak tahu kenapa aku berbuat seperti ini sekarang. Rasanya amat begitu canggung.

"Hyunji-ya, seperti apa pria yang kau idamkan?"

Aku mengeryit, heran dengan pertanyaannya. "Apa?"

"Seperti apa tipe idealmu?"

"Aku?" Meski ragu, akhirnya aku tetap menjawab. "Tidak khusus. Hanya seorang pria yang baik dan perhatian. Aku bermimpi bisa memiliki pangeran berkuda putih sewaktu kecil. Ah, jika diingat itu kuno sekali."

"Apa aku termasuk di dalamnya?"

Lagi-lagi pertanyaan Jimin membuatku bingung. Apa dia mencoba untuk menggali perasaanku sekarang?

"Mungkin?" Aku terkekeh sendiri. Tentu saja tidak serius.

Cup!

Jimin tiba-tiba saja menciumku dan menarikku hingga jatuh di atas pangkuannya. Ia menatapku begitu dalam—meletakkan helaian rambutku di belakang telinga. "Jangan bercanda." Ucapnya dalam suara rendah.

Seluruh tubuhku panas dingin sekarang, melihatnya menatapku intens dan begitu mengintimidasi membuatku terhuyung dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Selama tidak ada Jihyo, jangan membahasnya. Bicarakan saja kita berdua." Lanjutnya kemudian tanpa dapat bisa kubalas.


[]

Next:
"Boleh aku menciummu?"
"Sedang apa kalian berdua?"

Siblings | PJMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang