SoL 11

2K 212 15
                                    

Sudah seminggu ini Lena mengurung diri di dalam kamar nya tanpa pernah sekalipun keluar. Hal itu tentu saja memicu kekhawatiran dari Marini dan juga Haris sebagai orang tua Lena.

Anak gadisnya berubah menjadi zombie. Tidak makan, tidak minum, dan bahkan tidak mandi atau menyisir rambutnya yang sudah semrawut ketika Marini mengantarkan nampan berisi makanan siang tadi.

"Pa, Mama nggak bisa lagi lihat Lena kaya gitu."

Haris menghela napas berat. Ia mengerti akan kegelisahan sang istri terhadap perubahan sikap putrinya seminggu terakhir. Namun mendesak sang putri juga bukan pilihan yang tepat demi menenangkan sang istri.

"Ma, Lena kita cuma butuh waktu. Biarkan dulu. Mungkin ada permasalahan yang nggak bisa dia share sama kita berdua. Kita harus sadar kalau Lena itu sudah dewasa, sudah bukan balita lagi yang bahkan tiap langkah nya harus kita awasi." ucap Haris berusaha berpikir jernih di tengah kekalutan nya.

Namun tetap saja, Marini sang istri memang sangat menyayangi putrinya itu hingga perubahan sekecil apapun bisa memantik kegelisahan sekaligus kesedihan sang istri.

"Kalau Lena udah dewasa, harusnya dia nggak menyiksa dirinya sendiri kaya gini dong, Pa. Permasalahan apapun pasti akan selesai kalau kita mau bermusyawarah, bukan di pendam yang malah menghancurkan diri sendiri." Haris dalam hati menyetujui argumen sang istri. Tindakan putrinya kali ini memang tidak bisa di benarkan.

Dengan umur yang sudah memasuki seperempat abad, Lena mustinya bisa lebih bijak dalam menghadapi tiap permasalahan. Mengurung diri seperti ini tidak akan menyelesaikan masalah.

"Atau kita minta tolong Alan aja ya Pa? Siapa tau Alan bisa bantu Lena." tiba-tiba sebersit pikiran mampir di kepala Marini. Ia ingat jika Alan adalah pawang bagi mood Lena.

Mata Haris membulat. "Coba di telpon Ma. Mama punya nomor nya kan?" Marini mengangguk antusias. Tidak ada cara lain lagi selain dengan memanggil Alan.

"Ada Pa. Mama telpon sekarang aja ya?" tanya Marini meminta persetujuan yang tentu saja langsung di setujui oleh Haris.

Kedua paruh baya itu saling menatap dengan mata yang terpaut cemas ketika sambungan mereka tidak juga di respon oleh Alan. Marini bahkan nyaris putus asa jika saja panggilan ke dua puluh nya ini tidak di angkat oleh Alan.

"Halo."

Bukan main lega nya Marini saat mendengar suara berat nan dalam dari seberang telpon. Belum juga berbicara, mata Marini sudah memerah menahan tangis kesedihan.

"Halo Alan. Ini tante Marini. Bisa tante minta tolong sama kamu?"

⏺⏺⏺

Lena merasakan betapa pening kepala nya kali ini. Hasil dari tidur tak teratur serta menangis yang hampir nonstop tiap ia membuka mata agak nya menjadi faktor paling utama yang mempengaruhi kewarasan isi kepala nya.

Tiap hal yang ia lihat selalu saja di isi oleh kenangannya bersama Alan dan juga Lala.

Lala....

Nama itu begitu membekas di hati gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut. Lena sadar kalau separuh hidupnya ia habiskan bersama dengan Alan dan juga Lala. Jadi semenyebalkan apapun Lala, Lena hampir tidak pernah bisa marah barang satu jam pun.

Lena selalu bersyukur karena persahabatannya dengan Lala selalu awet dan tanpa ada maksud lain di balik semua nya, walaupun Lala terkadang sering menyinggung hati nya lewat tiap ucapan pedas gadis itu. Namun hanya itu. Tidak pernah sekalipun Lala memanfaatkan dirinya untuk diri gadis itu sendiri.

Dan mengingat kalau Lala sekarang begitu membenci nya karena mendapati fakta yang begitu mencengangkan, yaitu Alan mencintai nya, nyaris membuat Lena gila.

Slice of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang