Pagi harinya, Jungkook sudah sampai di kediaman Jimin. Pria itu tengah duduk dengan sedikit kaku- sedikit takut dan cemas perihal reaksi Jimin saat ini. Mengingat kejadian semalam yang cukup menghebohkan.
Junkook menatap punggung pria mungil yang tengah sibuk membuat nasi goreng untuk mereka sarapan. Semua sama, senyum Jimin, ucapan selamat pagi yang terlalu cerah dan manis. Semua sama, Jimin memperlakukan Jungkook sama seperti hari-hari sebelumnya.
Makanan sudah siap. Nasi goreng dengan suwiran ayam dan toping bawang goreng diatasnya. Di lain piring, ada telur mata sapi yang sempurna tengah menggoda siapa saja yang melihat. Jika biasanya Jungkook akan langsung menyantapnya karna sangat berselera, beda lagi dengan pagi ini. Dia bahkan tak berniat untuk melirik.
"Hyung, maaf-"
Ucapan Jungkook terpotong dengan pergerakan Jimin yang mengatakan, "makan dulu, bicaranya nanti" dengan senyum yang masih terlampau manis tentunya.
Setelah makananya habis, meskipun hari ini masakan Jimin menyisakan satu porsi nasi goreng yang biasanya jatah Jungkook- yang biasanya punya jatah dua porsi, kini mereka memutuskan untuk duduk di ruang keluarga.
Duduk dilantai dengan secangkir teh hijau hangat buatan Jimin. Jungkook tidak menolak seperti biasanya. Pikirnya teh hijau ini bisa memperlancar pencernaannya yang sejak semalam seolah tersumbat. Membuat tubuhnya aneh- padahal itu jelas karna perasaannya tidak tenang.
"Hyung, maafkan aku soal semalam. Aku tidak- maaf, seharusnya aku tidak berkata seperti itu" katanya. Jimin terdiam, memang bukan salah Jungkook. Tapi ya-
"Hyung, boleh aku tahu?" tanyanya lagi. Jimin dengan ragu menangguk. Pasalnya, ia tak ingin kehilangan Jungkook. Pria yang selama ini dia harapkan untuk bisa hidup bersama.
Inginnya seperti itu.Jimin kini tengah mengetik sesuatu di leptopnya. Merasa lebih mudah bercerita begini daripada dengan gerakan tangan yang belum sepenuhnya Jungkook pahami.
Jungkook menahan nafas setelah membaca keseluruhan cerita Jimin. Tidak secara detail kata Jimin, tapi sungguh ini sudah sangat menakutkan- batin Jungkook.
"Hyung, boleh aku memelukmu?" Dan Jimin mengangguk. Menenggelamkan tubuhnya di dalam kungkungan badan besar milik Jungkook. Hangat dan nyaman. Jimin ingin terus seperti ini.
"Maafkan aku hyung, maaf karena telah membiarkan mu melewati masa itu sendirian, maaf karna telah membiarkan mu bertemu dengan si brengsek itu dulu, maaf karena aku terlambat menyadari. Maafkan aku hyung, sungguh" katanya. Jungkook hampis saja menangis. Sebelum Jimin dengan main-main mencubit pinggang Jungkook.
Jungkook tidak peduli. Dia justru tengah menatap Jimin dan memainkan rambutnya. "Pasti berat sekali untukmu hyung. Maaf telah membuat mu mengingat masa itu. Maaf hyung" sesalnya lagi.
Jungkook benar-benar terpukul atas apa yang terjadi pada Jiminnya. Tak menyangka kebisuan yang dialaminya ini bukan suatu hal yang sejak awal Jimin lahir terjadi. Tapi karena peristiwa menyeramkan yang harus Jimin alami.
Jimin mengangguk. Lalu kembali menuju leptop. Mengetik sesuatu yang Jungkook sendiri tidak bisa lihat- karena dengan sengaja Jimin menutupinya.
"Jungkook mau bantu Jimin sembuh tidak?"
Kalimat yang Jimin tunjukkan mampu membuat Jungkook memeluk Jimin dengan erat. Menggeser tubuh yang lebih tua untuk semakin mendekat dan menempel di tubuhnya. "Iya hyung aku mau. Mari kita berjuang bersama. Aku cinta kamu hyung, kamu harus ingat itu"
Pernyataan cinta pertama Jungkook yang mendapat respon positif dan amat manis dari Jimin.
"Aku juga Jungkook"
.
.
.Sudah dua bulan Jimin rutin bertemu sengan Psikiater kenalan Jungkook. Dan selama dua bulan itu Jimin sudah lebih berani untuk mengelurkan suaranya. Ya walau hanya seperti kata 'ya' dan 'tidak', tapi itu sudah kemajuan yang bagus karena secara tidak langsung Jimin sudah mau melupakan masa lalu buruknya.
"Kerja yang sangat bagus Jimin. Kau sudah berani memaafkan masa lalu dan dirimu sendiri. Terimakasih sudah mau berjuang bersama ku. Walau aku tahu ini tidak mudah, tapi kau tetap mau berusaha dan kuat. Kau sungguh hebat, Jimin"
Puji sang psikiater. Sebenarnya, cara penyembuhan dalam kasus Jimin ini cukup rumit. Sangat rumit jika saja pasien melakukan blocking terhadap apa-apa saja yang di katakan oleh psikiater. Tapi, Jimin yang sejak awal ingin sembuh dan hidup bersama Jungkook, dengan mudah melewati masa itu.
Kini mereka tengah berada di taman. Tempat yang sama ketika Jimin histeris dua bulan yang lalu. "Jadi bagaimana perasaan mu, sayang?" tanya Jungkook.
Oh, mereka resmi perkencan ketika satu setengah bulan yang lalu Jungkook mengatakan kembali rasa sukanya. Dan mendapat kata 'ya' dari mulut Jimin.
"Ba-baik. Sen-a-ang" katanya. Walau dengan terbata, Jungkook tersenyum bangga atas apa yang telah Jimin usahakan.
"Kau tahu baby? aku sangat bangga padamu. Oh dan tentu saja aku mencintaimu" Jimin hanya tersenyum manis. Jungkook ingin sekali menciumnya, tapi- mengingat masa lalu jimin yang membuatnya seperti ini, ia urungkan. Lebih baik menunggu lebih lama lagi daripada harus hancur dan kehilangan Jiminnya.
"Baby, boleh aku berjanji padamu?" Jimin mengangguk.
"Aku berjanji akan menikahimu ketika kau sudah siap. Aku akan berjanji tidak akan meninggalkan mu-"
Ucapan Jungkook terpotong karena gestur Jimin yang seolah ingin berkata, tapi sebelum Jimin selesai menyelesaikan gerakannya Jungkook melanjutkam kalimatnya. "Dan aku akan menerima apapun yang ada di dirimu. Kau spesial. Kau satu-satunya untukku Jimin"
.
.
.Chap kedua. Satu lagi untuk menuntaskan dan mengungkap, traumanya Jimin ini soal apa sih.
Aku gak pd sebenernya. Mau ku hapus aja lah kalo gak rame😖
Kritik, saran, komen, boleh banget dikasih. Terimakasih