Sore itu, Jungkook mendesah dalam duduknya. Menunduk semakin dalam seiring semakin seringnya helaan nafasnya terdengar. Jimin disampingnya tak tau harus apa. Tak cukup banyak ide untuk menenangkan lelakinya.
"Kook, kata orang-"
Jungkook mendongakkan kepalanya. Cukup untuk membuat Jimin paham, bahwa ia harus berhenti untuk membuka mulut.
Hening kembali. Hampir satu jam sejak Jimin mengutarakan maksudnya untuk bertemu.
Jimin memutuskan mengalah. Ia akui semua ini akibatnya. Jadi apa yang bisa ia lakukan selain diam dan mengalah? ini salahnya dan ia tau. Ia merasa bersalah, amat sangat.
"Bukan orang lain..."
Jimin memutuskan untuk diam. Memberi ruang untuk prianya mengungkap apa yang dia rasakan. Sekali lagi, Jimin merasa bersalah.
"Aku tidak ingin kata orang lain. Aku tidak mau semua harus berpatokan pada orang lain, Jimii. Ini soal kita, kita pribadi"
Awal mula yang menyakitkan. Jimin terus terusan menahan untuk tidak menangis. Alasan yang dia ungkapkan, jelas tidak dapat di terima oleh siapapun. Terlebih Jungkook.
Jungkook menengok, menatap Jimin penuh luka. Hampir menangis, sama seperti Jimin.
"Aku adalah orang yang sangat menghargai apa saja keputusan dan pendapat yang orang lain utarakan. Tapi Jimii, ini.."
"Aku harus. Maafkan aku, tapi aku harus" isakan pertama terdengar oleh Jungkook. Semakin membuat perasaannya tak karuan. Sesak, kecewa, sedih, sangat jelas mendominasi.
"Aku beri waktu sampai besok ya? pikirkan kembali. Gak papa, aku tetep tungguin kamu kok" katanya lagi, dengan lebih santai. Berharap Jiminnya bisa kembali rileks dan dapat memikirkan keputusannya sekali lagi.
Jimin menggeleng, semakin kencang ia terisak. Jungkook ingin memeluk, tentu saja. Tapi Jimin menolaknya. Mentah - mentah.
"Kook, maafin Jimii ya? Jimii bener-bener minta maaf karna Jimii egois. Tapi Jimii juga sedih, Jimii juga sakit. Maafin Jimii ya?"
Jungkook menatap prianya yang tengah menumpahkan banyak air mata dengan sendu. Menahan diri untuk tidak ikut menangis, ia tidak mau menangis di hadapan pria mungilnya.
"Kamu udah serius ya?" tanya Jungkook pelan. Menatap prianya yang tiba-tiba menundukkan kepalanya dalam.
"Sejak kapan?" Tak ada jawaban. Jungkook juga paham bahwa keputusan Jimin tidak lah mudah untuk diambil. Jadi, Jungkook berusaha untuk menetralkan pikirannya.
Bahwa, tidak hanya dia yang terluka. Tapi Jimin pun, yang memutuskan hal ini juga sedang menahan lukanya. Merasakan sakit yang sama sepertinya.
"Sejak sebulan yang lalu ya? waktu kamu mulai susah di hubungi?"
Jungkook kembali di jawab angin. Malam menjadi semakin dingin dengan mereka yang sama sama tengah menahan diri untuk tidak saling menggapai satu sama lain, untuk tidak saling egois.
"Jimii... Aku cuma mau tanya hal itu. Soal alasan mu, aku rasa aku tidak ingin tau. Karna memikirkan nya semakin membuat ku sakit. Jadi, tolong. Tolong jawab ya?"
Jungkook mencoba menarik atensi Jimin. Di geserkannya tubuh si mungil dan mendongakkan kepalanya.
Jimin dan wajah yang seperti ini adalah beban berat untuk Jungkook. "Please, jawab aku ya? setelah ini, apapun keputusan mu, aku janji aku akan turuti"
Bisa di lihat mata Jungkook, aliran air mata milik Jimin semakin deras. Pria mungilnya semakin terisak setelah mendengar perkataanya.
"Sejak kapan?"