Si bodoh yang pintar pada saat yang bersamaan

7 1 0
                                    

I want to classify you distinguish because you are different than the others   
-Ree

Teh manis hangat berpadu dengan dingin udara malam dimusim kemarau. Angin berhembus pelan memainkan anak-anak rambutku. Di sudut meja tergeletak buku kecil yang mencatat banyak kenangan lama. Saking lamanya kadang aku sendiri pun lupa pernah mengalami semua kenangan itu. Menjadi pelupa bukan salah manusia dan bukan pula salah Pencipta tetapi keadaan yang terlalu nyaman kadang membuat manusia mudah melupakan.

Aku duduk bersandar memandang hamparan hiruk pikuk manusia dibawah sana. Mereka berlarian seolah hari ini akan segera usai.  Langkah mereka menggetarkan, membentuk ritme yg simpang siur membawa pendengarnya untuk ikut bersemangat. Mungkin hanya aku, bagian dari para manusia kerdil itu yg terduduk dalam diam memikirkan mengenai beribu kemungkinan bagaimana hari ini akan berakhir seperti biasanya.

Diam tanpa bicara terkadang membuatku sadar tentang bagaimana hariku menjadi sia-sia. Berjalan meninggalkan tanpa henti sehingga membuat manusianya kehilangan. Ntahlah... Aku hanya bagian dari kumpulan manusia yg mulai merasa lelah.

Lelah menghadapi berbagai harapan yg terlampau muluk.  Lelah dijadikan tumpuan banyak orang yg tidak dikenal. Bahkan terlalu lelah menghadapi banyak penyesalan yg sia-sia.

Terasa bodoh kadang,  tanpa sadar akupun ikut terbawa dalam lingkaran penyesalan dan kesia-siaan para manusia sibuk dibawah sana. Mengikuti kebingungan dan kebodohan para makhluk fana. Setelah sadar hanya kalimat singkat yg terucap.
"Dasar bodoh."

Lalu pertanyaan demi pertanyaan mulai bermunculan dikepalaku.

Bagaimana jika para manusia kehilangan rasa? Apakah mereka akan menjadi pandai? Atau malah menjadi semakin tidak berguna?

Tawaku terdengar sumbang memikirkan pertanyaan retoris itu. Tentu saja aku bukan cuma satu-satunya yg berpikir mengenai hal ini. Namun akupun tak tau siapa pula selain aku yg memikirkan pertanyaan konyol tak berdasar ini.

Rasa menjadikan pemiliknya dianggap manusia. Marah, sedih, bahagia, bahkan sakit juga adalah bagian dari rasa. Rasa menjadikan manusia peka tentang emosi disekitarnya. Terbersit dalam pikiranku mungkinkah aku bukan manusia lagi? Kehilangan yg terlalu banyak membuatku tidak lagi merasakan rasa yang yg sudah sepantasnya ada.

Ada seseorang yang mengatakan bahwa aku berbeda dari yang lain. Dan kuakui bahwa ya benar aku berbeda, aku tidak menyembunyikan hal itu dari siapapun. Tidak pula memberitahu mereka bahwa aku berbeda. Tapi tekadang terpikir apa yang menjadikan aku bisa berbeda? Padahal aku juga sama seperti mereka. Aku masih berpijak dibumi begitupun mereka yang mencemoohku dengan kata-kata nelangsa. Bahkan di Al Qur'an pun mengatakan bahwa semua manusia itu diciptakan dengan segumpal darah. Asalnya sama namun kenapa para manusia menjadi berbeda ketika beranjak dewasa? Dan kemudian benar adanya bahwa waktu itu mengubah segalanya. Menghilangkan ingatan dan mendinginkan rasa dalam diri manusia.

Teh yang tadinya hangat pun mulai ikut mendingin.  Ruangan yang tadinya terang-benderang mulai menjadi gelap. Music yang mengalun lembut menjadi hening. Tak terasa waktu berlalu sekali lagi dengan cara yang sama,  meninggalkan tanpa menoleh kebelakang.

Kuhela nafas dalam-dalam. Yah setidaknya aku masih tetap sama, membeku,  dan monoton. Tak masalah bagiku setidaknya aku sedikit bahagia dengan yang kupunya saat ini...

"Annn! Ayo kita pulang! Kutunggu dibawah!"

Dibawah sana kulihat sepasang mata hangat dan lambaian penuh semangat dari pria yang senantiasa menerimaku dengan tangan terbuka. Aku tersenyum tulus sambil bergumam dalam hati,  "Si bodoh yang pintar pada saat yang bersamaan."

Julukan itu sedikit jahat memang, tapi siapapun yang melihat senyum lebar penuh keceriaan yang teramat langka pada masa ini pasti akan berpikiran sama denganku. Senyum yang begitu ceria seakan tak peduli kesedihan macam apa yang tampak disekitarnya. Senyum yang menyilaukan bahkan matahari pun iri akan keberadaannya. Ini bukan kalimat hiperbolis yang berlebihan untuk menggambarkan sosok tampan itu. Terkadang aku heran yang bodoh itu aku atau dia?

Kuambil ransel dan buku kecil di sudut meja dan mulai bergegas menuruni anak tangga yang menurutku terasa sangat panjang. Jika terkait Si Bodoh ini terkadang rasionalitas yang mengakar dalam benakku menjadi tidak penting lagi. Seolah dia adalah lampu yang begitu terang dan aku adalah kunang-kunang idiot yang selalu memuja sinar terangnya.

Sedikit halaman dalam buku kecil di sudut meja yang tersisa, bagaimana jika kuisi dengan sedikit cerita penuh usik?
-Ann

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 07, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The thing's from HimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang