Dari celah gorden jendela, Shei mengintip takut-takut kedatangan dua orang dewasa yang sangat dikenalinya.
Hari masih terlalu pagi. Shei bahkan barusaja selesai menunaikan sholat subuh. Sementara Gesang sudah rapi dengan seragam kerjanya.
Aktivitas manusia di luar sana juga masih sepi.
Untuk apa sepasang suami istri itu datang ke rumahnya pagi-pagi sekali?
Pambudi bahkan masih bergelung di tempat tidur sedangkan Midori sedang sibuk berkutat di dalam dapur.
Ganjar yang barusaja bangun dari tidur tampak menguap kecil saat keluar dari dalam kamarnya, mengucek matanya cepat saat menyadari adik bungsunya bergerak gelisah sambil sesekali mengintip ke luar jendela.
" Kenapa Shei?" Ganjar mencoba mendekat mencari tahu, tapi si empunya nama dipanggil hanya diam saja kemudian duduk di atas sofa.
Gesang tersenyum, mendekat, lantas merangkul bahunya dari arah atas.
" Ada apa sih?" Gesang bertanya karena penasaran juga.
" BUD!!!!! BUDI!!! BUKA PINTUNYA!!"
Tiga bersaudara itu berjingkat kaget.
Itu suara laki-laki tua yang saat ini tengah mengetuk pintu rumah mereka.
Mbah Roko--begitulah Ganjar dan adik-adiknya menyapa pria tua yang tengah mengetuk pintu itu.
Shei tak begitu dekat dengannya. Jangankan berbicara, melihat wajahnya sebentar saja Shei bisa sangat ketakutan sampai tak bisa tidur siang dan malam.
Bukan karena wajah pria tua itu menyeramkan seperti drakula tetapi tingkah lakunya yang sangat menyeramkan di mata cucu-cucunya.
Masa kecil Shei dulu, Shei pernah melihat Mbah Roko nya itu memukul punggung Ganjar dengan gagang sapu. Menjewer kuping Gesang sampai kupingnya terlihat biru. Katon juga pernah dipukul di bagian pinggulnya pakai tangan besar Mbah nya itu.
Jika bertanya kenapa Pambudi, Gesang dan Ganjar berperilaku cenderung kasar mirip seperti preman, maka menurun dari Mbah Roko merekalah jawabannya.
" Biar Bapak yang nemuin. Kalian bertiga pergi ke belakang bantuin Ibu kalian." Pambudi tiba-tiba datang dari dalam kamar memberi intruksi pada putra-putranya agar menjauh.
Shei menggandeng lengan Gesang kuat sementara Ganjar masih saja diam di tempat.
" Nggak bisa Pak. Mbah Roko nyari Bapak itu berarti nyari aku juga. Biar aku ikut hadapi Mbah Roko. Bapak nggak usah khawatir." Ganjar menolak halus, bergerak ke arah pintu untuk membukanya.
" MANA BAPAK KAMU???" tanya pria tua itu tiba-tiba sesaat setelah pintu terbuka sempurna, bola matanya melebar, dua tangannya bertengger di atas pinggang.
" Pak... Sabar.... Nanti dikira ada ribut-ribut apa sama tetangga," nasehat seorang wanita tua di sebelahnya.
Mbah Rayi---begitu Ganjar dan adik-adiknya sering menyapa wanita tua itu sebagai nenek mereka.
Pria tua itu mendengus kasar, lalu berjalan tergesa menerobos ke dalam rumah begitu saja.
Shei menunduk takut, bangkit cepat bersembunyi di belakang tubuh Gesang.
" Kamu kurang ajar!!!!" pria tua itu langsung menunjuk wajah Pambudi tanpa babibu lagi.
Ganjar tahu apa yang dimaksud Mbah Roko nya itu. Dengan gerakan cepat ia bersimpuh memeluk kaki Mbah Roko nya. Memeluk kedua kaki renta itu dan menangis memohon disana.
" Aku yang salah Mbah... Jangan nyalahin Bapak... Ganjar janji bakal balikin sertifikat tanah itu.. Sertifikatnya Ganjar gadein buat nyari hutang Mbah... "
Pambudi bingung. Pria tampan itu memijit pelipisnya pelan. Sertifikat apa lagi? Semenjak ditolak mentah-mentah minta jatah warisan itu Pambudi sudah tak mengungkit masalah warisan lagi. Jangankan minta jatah tanah, menanyakan soal sertifikat tanah pun tidak pernah.
" Kamu ambil serifikat tanah Mbah Roko?" Pambudi bertanya lembut ke arah Ganjar.
Ganjar mengangguk pelan mengiyakan.
" Bud... Dengerin Ibu... Ganjar nggak mengambilnya Bud, tapi Ibu yang memang sengaja kasih pinjam tanpa sepengetahuan Bapak mu. Jangan marah-marah sama anakmu." Mbah Rayi di sebelahnya angkat bicara.
" Tanah yang sebelah mana?" tanya Pambudi lagi, datar.
Jujur--ia sebenarnya sudah malas membahas soal tanah warisan lagi. Hatinya masih terlalu sakit mengingat masa lalunya yang sempat minta jatah tanah warisan itu dan ditolak mentah-mentah oleh bapaknya.
" Dekat Pabrik tahu Pak. Ganjar udah gadein sertifikat tanah itu sama sertifikat tanah rumah kita buat biaya operasi Katon ke luar negeri. Maafin Ganjar.. "
" Mbah Roko kesini bukan masalah sertifikat tanah..." Pria tua itu akhirnya membuka suara lagi. Nada suaranya terdengar lebih rendah dari sebelumnya.
Dibimbingnya lengan cucu tertuanya untuk dibawa berdiri. Ganjar menurut seraya menghela nafas lega.
Kalau bukan masalah sertifikat tanah lalu masalah apa? Lalu kenapa datang-datang langsung marah mengatakan kurang ajar pada Bapaknya sambil menunjuk-nunjuk wajahnya.
" Bapak kamu kurang ajar karena rujuk sama Ibumu lagi nggak kasih tahu Mbah Roko sama Mbah Rayi," sambungnya lagi duduk di atas kursi tanpa permisi. Disusul Mbah Rayi juga duduk di sebelahnya.
Pambudi dan Ganjar saling menatap sebentar karena bingung. Pernikahan Pambudi dan Midori memang tidak diadakan pesta apapun sama sekali. Hanya pergi ke KUA saja dan semuanya dianggap beres setelahnya.
Lagi pula pada waktu itu Gesang dan Katon masih di luar negeri, mereka hanya mengikuti lewat video call saja.
" Kenapa? Bapak masih nggak akan restui kami lagi kaya dulu-dulu? Maaf Pak. Midori cinta mati saya. Midori ibu kandung anak-anak saya. Setidak restu apapun Bapak sama hubungan kami, kami tetap tidak peduli. Ini rumah tangga kami. Bapak jangan ikut campur lagi."
" Kamu salah paham Bud.. Bapak sudah setuju. Bapak kesini mau silaturahmi. Juga mau kasih tahu kamu kalau tanah dekat pabrik tahu itu jatah warisan untuk Sheilendra. Sedangkan anak-anak kamu yang lain sudah Bapak bagi juga. Gesang dekat rumah Bapak. Katon dekat bengkel tambal ban. Ganjar dapat jatah tanah kebun belakkang rumah yang Bapak tanami kopi. Justru Bapak menyesal selama ini sudah bertindak jahat sama kalian semua. Maafin Bapak ya?"
" Iya Bud. Bapak kamu sudah berubah semenjak kamu masuk penjara. Maafin Ibu sama Bapak ya Bud... Sekalian kita kesini mau jenguk Katon. Gimana keadaannya?"
" Katon sudah lebih baik.. Pak.. Bu... Sebentar Budi panggilkan dulu." Pambudi melangkah ke kamar Katon.
Pria tampan dan gagah itu sudah tak punya rasa marah pada kedua orangtuanya.
Sejenak kemudian, Pambudi datang mendorong kursi roda yang diduduki Katon dengan Midori yang mengekor di belakangnya.
Dua keluarga besar itu akhirnya saling bertukar cerita dan melepakan kerinduan mereka. Tidak ada benci dan saling menyakiti.
Hutang 100 juta sepakat akan dilunasi bersama. Tidak ada main judi dan main perempuan lagi. Tidak ada bermalas malasan dan saling menutupi uang tabungan.
Katon berangsur membaik meski gagal melanjutkan sekolah modellingnya lagi. Shei bersekolah seperti biasanya dan selalu setia menemani Katon di waktu luangnya.
' Tuhan tidak memberikan apa yang kita inginkan, tapi apa yang kita butuhkan... Maka semuanya akan segera dimudahkan..'
<==End of special chapter==>
Sunday, the 1st of December 2019
See You in my other story....
Luv luv 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youngest Brother, Sheiii !!! [END]
Teen FictionBagi Shei, jadi bungsu itu tidak seindah cerita tokoh-tokoh fiksi yang sering diceritakan teman-teman perempuannya. Mereka menceritakan kalau jadi bungsu itu selalu dimanja. Itu memang benar, tapi itu dulu, saat Bapaknya belum masuk penjara karena...