.
." Makan dulu!" Ganjar meletakkan sebungkus nasi rames ke arah adiknya, Gesang.
Gesang yang sedari tadi terlarut dalam lamunannya sedikit tersentak karena kehadirannya yang tiba-tiba.
Mereka berdua berada di kursi ruang tunggu di depan ruang intensif dimana Katon sedang mendapat perawatan.
Penampilan Ganjar sedikit berbeda. Perban putih menutup sebelah matanya dan sebagian wajahnya terlihat lebam membiru.
Diraihnya bungkusan itu dengan sedikit enggan, lalu di letakkan di sebelah tempat duduknya.
" Nggak nafsu Mas. Mata sama wajah Mas Ganjar kenapa?" tanyanya penasaran tanpa mengalihkan pandangan ke arah lain, penasaran.
Semenjak menjaga Katon di rumah sakit, Gesang memang tak nafsu makan. Mengurus diri saja tidak. Kemeja yang dipakainya sampai berbau keringat dan terlihat lusuh tidak karuan.
Pun sebenarnya tak kalah berbeda dari Ganjar. Mereka berdua sama-sama tak mengurus diri akhir-akhir ini.
Ganjar mengambil nafas dalam sebelum akhirnya mendudukkan diri di sebelah adiknya.
" Nggak apa-apa. Kenapa nggak langsung dimakan? Biar kamu dapat tenaga. Wajah kamu pucat begitu. Nggak enak dipandang mata," katanya sedikit bercanda, agar suasana tidak sedikit tegang saat mereka berbicara.
Gesang menanggapinya dengan sedikit tertawa. Mereka sama-sama nggak enak dipandang mata. Bisa-bisanya Ganjar mengatakan hal itu sementara dirinya juga dalam keadaan yang sama.
" Mas Ganjar juga. Wajahnya sama nggak enaknya dipandang mata," katanya diakhiri tawa. Dua bersaudara itu pada akhirnya tertawa mengenyahkan perasaan sedih yang ada.
" Mata Mas Ganjar kenapa diperban begitu? Nggak habis donorin mata kan? Atau habis adu tinju liar kaya di tivi-tivi biar dapat uang?" Gesang bercanda lagi, hanya asal menebak saja. Khawatir tetapi malu memperlihatkan sisi kekhawatirannya padanya.
Saling ledek dan tertawa seperti ini tak sadar membuat mereka sedikit lupa dengan kesedihan mereka.
Beberapa hari yang lalu, Gesang sempat membaca Mas nya ini membuat postingan iklan donor organ di akun facebook nya.
Gesang sempat menegurnya, tapi sampai sekarang iklan itu belum dihapusnya juga.
" Kalau ada adu tinju liar dapat uang Mas mau-mau aja. Yang penting dibayar. Sayangnya nggak ada." Ganjar tersenyum kecut.
Sering bertengkar dan berselisih pendapat, mereka jarang tertawa berdua seperti ini. Jangankan tertawa, saling bicara layaknya saudara saja jarang sekali. Mereka sudah lama tak sedekat ini.
" Nasi ramesnya beli di warteg apa buat sendiri?" Gesang membuka bungkusan itu setelah mengambilnya dari atas kursi.
Aroma sedap masakan dan telur dadar pada akhirnya membuat perutnya protes minta diisi juga.
" Beli. Mas nggak pinter masak kaya kamu."
" Biasa aja Mas. Mas juga bisa pinter kalau mau belajar. Uang darimana? Mas Ganjar memangnya punya uang?" tanyanya enteng seraya memasukkan makanan ke dalam mulut.
" Mas kerja jadi kuli panggul pakan ternak, Sang. Lumayan, sehari Rp 150 rb. Kalau bisa lembur sampai malam Rp 250 rb. Pagi sampai sore Mak Mi yang jagain Shei. Malam Mas Ganjar yang jaga. Maaf ya? Nggak ada yang gantiin kamu buat jaga Katon. Mas pikir mulai sekarang kalian tanggung jawab Mas Ganjar selama Bapak masuk penjara. Jadi Mas Ganjar harus kerja buat kalian."
" Uhuk!!" Gesang keselek, kaget, tersentuh.
Nasi yang baru saja ditelannya seolah nyangkut di tenggorokan.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Youngest Brother, Sheiii !!! [END]
Teen FictionBagi Shei, jadi bungsu itu tidak seindah cerita tokoh-tokoh fiksi yang sering diceritakan teman-teman perempuannya. Mereka menceritakan kalau jadi bungsu itu selalu dimanja. Itu memang benar, tapi itu dulu, saat Bapaknya belum masuk penjara karena...