Lima bulan berlalu.
Jena menghempaskan tubuhnya diatas kasur karena merasa sangat amat lelah. Sepulang dari kantor sore tadi, ia langsung bergegas ke bandara agar tidak ketinggalan pesawat. Jena sekarang berada di Malang, Jawa Timur. Tempat dimana Juna betah bertahun-tahun tinggal disini. Dan besok, Juna akan melamar kekasihnya. Segala persiapan telah disiapkan oleh kedua orang tuanya. Sebenarnya Jena ingin membantu. Tapi karena pekerjaannya sangat padat, ia terpaksa tidak ikut andil dalam acara ini.
Setelah pulang ke Indonesia, Jena memang sengaja menganggur dirumah selama dua minggu. Ingin menikmati liburan. Lagipula, uang tabungannya masih cukup untuk keperluan-keperluannya. Kemudian, ia baru berniat melamar pekerjaan di beberapa kantor. Dan inilah pekerjaan Jena sekarang. Ia bekerja disalah satu perusahaan kontraktor yang berada di Jakarta. Jena pun memilih untuk tinggal di apartment dekat kantornya. Jena enggan berteman dengan kemacetam setiap hari. Jarak rumah dan kantornya bisa ditempuh dalam waktu dua puluh menit jika keadaan jalan raya sedang lancar. Tetapi jika sedang macet, sudahlah Jena tidak ingin pusing akan hal itu.
Toktoktok.
Jena bangun dengan berat hati dari tempat tidur ternyaman yang ia singgahi hari ini. Membuka pintu untuk mengetahui siapa yang mengganggu acara rebahan dia tadi.
"Lesu amat itu muka" ucap Juna melenggang masuk sesaat setelah Jena menyingkir memberi jalan.
"Capek" keluh Jena.
"Tidur habis ini, biar besok fit" Juna melepas jaket dan dilempar diatas sofa.
"Harusnya gue yang ngomong gitu ke lo" Jena mencebikkan mulutnya. Juna hanya terkekeh.
"Lagian lo ngapain sih, disini? Besok itu acara lo sendiri bukan acara pak RT" omel Jena.
"Gue gabut, bosen, bingung mau ngapain di kost-an" jelas Juna.
"Bilang aja nervous"
"Tau aja" cengir Juna.
Jena memiringkan tidurnya menatap Juna yang tengah menyandarkan punggungnya di sofa. Jena tersenyum lembut, melihat saudara kembarnya. Tidak terasa, mereka telah melewati sangat amat banyak waktu bersama.
"Kenapa?" tanya Juna.
"Nggak," geleng Jena. "Cuma nggak nyangka aja, kita udah sedewasa ini sekarang" lanjutnya.
"Lo tetep adek kecil gue"
Jena mengeryitkan matanya, "Kita seumuran!" sangkalnya tak terima. Adik kecil darimana? Bahkan mereka hanya selisih lima menit saat dilahirkan.
Juna terbahak, "Yaudah sih. Romantis dikit kenapa sih"
"Ren Juna Wiratama" panggil Jena. Juna hanya diam menatap adiknya.
"Kita kembar, gue bisa rasain apa yang lo rasain. Begitupun sebaliknya. Kita juga nggak tau kenapa bisa gitu. Mungkin karena lebih dari sembilan bulan kita pelukan didalam perut Mama" kekeh Jena dengan pelan. "Gue ngerasain apa yang lo rasain sekarang. Lo bahagia" lanjutnya.
"Lo juga harus bahagia" ucap Juna menghampiri adiknya. Juna merebahkan dan memiringkan dirinya menghadap Jena. Menarik Jena kedalam pelukannya, dan Jena terlihat sedang menyamankan posisi di dada kakaknya.
"Gue udah lebih dari bahagia. Ada lo, mama, papa. Itu lebih dari cukup" ujar Jena.
"Tapi gue selalu berdoa lo dapet kebahagiaan-kebahagiaan lain. Apapun itu. Kebahagiaan dengan cara yang baru" Juna mengelus surai adiknya.
"Bang, gue nggak tau gue bener atau nggak ngomong gini. Lo adalah orang yang bertanggung jawab kedua yang gue kenal setelah papa. Bahagiain calon kakak ipar gue. Jangan bikin dia kecewa. Jangan bikin dia sakit. Lo juga harus kerja keras buat keluarga lo nanti. Jangan ngelakuin hal-hal yang bikin susah istri dan anak-anak lo. Semakin dewasa gue sadar, meskipun sedeket apa hubungan kita, pada akhirnya nanti kita punya prioritas lain. Kita juga akan punya keluarga masing-masing" ucap Jena panjang lebar.

KAMU SEDANG MEMBACA
MAZE | LEE JENO✔️
FanfictionBagiku, Jeno adalah rumah. Namun, dalam beberapa hal dan keadaan, laki-laki yang ku cinta hampir dua tahun tak bisa lagi ku sebut rumah. Jeno tidak memilihku. "Aku tak pernah mengira akan meninggalkanmu, Jena." ujar Jeno kala itu ditengah hujan yang...