"Aku akan melamar Dea minggu depan, aku ingin meminangnya" ucap Jeno dengan tiba-tiba.
Jena yang sedang memilih-milih baju kemudian terdiam. Mendongakkan kepalanya, menatap cermin di hadapannya yang menampilkan dirinya dan Jeno yang berdiri bersebelahan, dan Jeno yang menatapnya dengan bahagia.
"Kamu yakin?" tanya Jena.
"Apa ada hal yang bikin aku nggak yakin? Nggak ada" jawab Jeno.
Ini sudah dua bulan sejak Jeno mengatakan bahwa ia berkencan dengan Dea kala itu. Sejujurnya, selama ini Jena biasanya saja meskipun ada sedikit rasa nyeri dihatinya saat ingat bahwa Jeno telah memiliki kekasih. Terlebih kekasih itu adalah adik Jena sendiri. Tapi Jena juga tidak menepis perlakuan Jeno ke dirinya masih sama seperti saat Jeno belum mengenal Dea. Mungkin karena itu, Jena sedikit memiliki rasa lega dihatinya. Bahwa Jeno tidak seutuhnya pergi.
"Kalian baru saja kenal. Kamu yakin langsung lamaran? Dan menikah?" Jena berbalik badan menatap Jeno dalam.
Jeno mengangguk semangat, "Dari awal aku udah yakin sama Dea. Dan Dea juga dari awal bilang dia nggak mau cari pacar, dia cari suami" jelas Jeno.
"Udah bilang keluarga?"
"Udah. Semua udah tau. Udah atur jadwal juga"
"Segala tentang Dea selalu kamu sembunyiin dari aku ya, Jen" lirih Jena sembari memilih baju kembali.
"Eh aku nggak maksud gitu" Jeno menggeleng dengan cepat.
Jena tersenyum tipis, "Iya aku ngerti kok. Aku cuma bercanda" bohong Jena.
Dalam hatinya telah berkecamuk berbagai perasaan. Sedih, kesal, kecewa, sakit hati, tapi juga ada rasa senang. Senang mengetahui bahwa yang akan menikahi adiknya adalah Jeno. Jeno dan keluarganya adalah orang-orang yang baik. Tapi kalau boleh Jena berharap, ia sangat ingin dirinya yang mendampingi Jeno. Dimanapun dan kapanpun. Jena ingin menjadi rumah bagi Jeno. Tempatnya tertawa, berkeluh kesah, manja, senang, sedih, apapun itu. Jena sangat ingin.
***
Jena menggerutu dengan berjalan cepat menuju pintu. Dia sedang berada di kamar mandi dan direpotkan oleh bel rumah yang berbunyi tidak sabaran. Bahkan Jena sudah tidak ingat untuk melihat ke layar intercom, siapa tamu brutal yang mendatangi rumah Jena kali ini. Jika itu Daniel hanya sekedar iseng atau ingin curhat, demi Tuhan Jena akan menendang tubuh Daniel dari balkon kamar.
"Jaemin?" lirih Jena dengan heran. Kapan Jaemin menjadi bar-bar seperti ini? Oh iya, dari dulu. Hanya saja tidak separah ini.
"Maaf. Kau tidak mengangkat telfonku. Dan tidak kunjung membuka pintu. Aku khawatir" jelas Jaemin.
Jena berdehem pelan, "Ayo masuk dulu". Jena menyingkir memberi jalan pada Jaemin agar masuk ke dalam rumah. Mempersilahkan Jaemin duduk dan menyuguhkan minuman.
"Ada apa, Jaem?" tanya Jena.
"Tidak. Aku hanya takut kamu ada apa-apa"
"Maksudmu?" dahi Jena sedikit mengerut.
"Jeno," ucap Jaemin menggantung. Dan Jena paham kemana arah pembicaraan Jaemin.
"Jeno? Akan melamar kekasihnya, maksudmu?"
Jaemin sedikit melebarkan matanya, "Kau sudah tau?"
"Ya, Jeno memberitahuku" angguk Jena.
"Ck. Anak itu" gumam Jaemin sangat pelan.
"Apa, Jaem?" tanya Jena karena ia tidak bisa mendengar ucapan Jaemin.
"Kau baik-baik saja?"
"Aku baik. Kenapa?" heran Jena.
![](https://img.wattpad.com/cover/193615784-288-k543907.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
MAZE | LEE JENO✔️
Hayran KurguBagiku, Jeno adalah rumah. Namun, dalam beberapa hal dan keadaan, laki-laki yang ku cinta hampir dua tahun tak bisa lagi ku sebut rumah. Jeno tidak memilihku. "Aku tak pernah mengira akan meninggalkanmu, Jena." ujar Jeno kala itu ditengah hujan yang...