Hujan.
Deskripsi apa yang harus gue jabarkan untuk menggambarkan situasi saat ini? Pada prinsipnya, tidak ada yang istimewa. Hanya air yang turun dari langit membasahi bumi. Well, if only it could be that simple. Kenyataan bahwa di siang hari sepulang sekolah ini; Devan dan Aldric berdiri bersebelahan, berteduh di bawah atap parkiran motor, menjadikan kondisi sekarang menjadi sedikit luar biasa.
Bayangkan. Mereka—Devan dan Aldric—berdiri berdekatan. S.E.B.E.L.A.H.AN.
Like, really close. Sudut lengan kemeja mereka saja hampir bersentuhan.
Organ dalam Devan menjerit-jerit minta ampun sejak beberapa menit lalu. Tolong jangan berikan ia cobaan—dan godaan—yang belum tentu sanggup ia tanggung.
Dalam hati, Devan mengutuk Gilang dan Trian. Semua gara-gara mereka berdua. Kalau saja Gilang tidak sok-sokan menjabat di OSIS, seandainya saja Trian bisa menahan diri untuk tidak tidur di kelas yang membuat ia harus menerima hukuman, mereka berempat pastilah sudah berada di studio sekarang, memulai latihan mereka.
Tetapi sayang, semesta mengharuskan Devan dan Aldric berduaan di situasi yang sedemikian.... syahdu?
Devan menelan ludah.
Devan dan Aldric sebenarnya ingin langsung ke studio, namun hujan mendadak turun, memaksa mereka untuk berteduh karena di punggung Aldric sekarang tersandang sebuah gitar akustik milik abangnya Devan yang terbungkus dalam tas. Aldric menolak untuk hujan-hujanan selama ia membawa gitar tersebut.
"Nope. Nanti basah, lalu rusak, dan saya belum tentu bisa ganti gitar kakaknya Kak Devan," Aldric menolak mentah-mentah ide Devan untuk 'ya udah sih terabas aja, kalau naik motor nggak sampai sepuluh menit'.
Devan mengalah. Tapi posisi kita harus begini banget nih, Al??? Tempat ini luas banget kenapa mesti sedekat ini???
Devan bergeser sedikit ke kanan, memperpanjang jarak antara dirinya dan Aldric yang berdiri di samping kirinya. Bukan apa-apa, kalau satu menit lagi mereka berdiri sedekat ini, kaki Devan bisa meleleh.
Aldric melirik Devan yang beringsut menjauh, dan mengernyitkan kening. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ia bergerak ke arah Devan, kembali memperpendek ruang di antara mereka.
Devan tersedak. Maunyaaa apaa?? Mau nyiksa guee??
Devan bergeser lagi, yang langsung diikuti oleh Aldric. Degup jantung Devan naik satu tingkat. Ia mengulangi hal yang sama, dan entah mengapa, Aldric juga mengimitasi gerakan Devan, kali ini makin terang-terangan. Devan memelototi Aldric, yang dibalas laki-laki itu dengan sebelah alis terangkat, dan seringai yang tersungging.
Kalau dia senyumin gue kayak tadi sekali lagi, gue mau semedi di Palung Mariana dan nggak akan muncul lagi ke permukaan, pikir Devan.
Ia mengambil satu langkah ke samping lebar-lebar, menunjukkan pada Aldric bahwa ia memang berniat menjauh. Kalem, Aldric merendengi langkah Devan. Begitu terus hingga mereka sudah bergeser nyaris tiga meter dari tempat mereka berdiri semula.
Skenario macam apa ini?
"Apa?" tanyanya setelah lelah main jauh-jauhan. Nada suaranya sedikit sengit.
"Kenapa?" balas Aldric. Cuek. Tenang. Kalem.
"Apanya?" sahut Devan, bingung. Apakah hobi Aldric membalas pertanyaan dengan pertanyaan?
"Kabur."
"Siapa?"
"Kakak."
Bangsat! Not that 'kakak' again!
Devan menghembuskan nafas kesal. Kesal ke dirinya sendiri sih lebih tepatnya. Sejak bersinggungan dengan cowok bernama Aldric ini, logikanya seperti diaduk-aduk. Devan bahkan tidak mengenal dirinya sendiri, seolah-olah ia keluar dari raganya dan memperhatikan tubuhnya melakukan tindakan-tindakan seperti; menahan nafas setiap kali di dekat Aldric, pipi bersemu merah saat Aldric berbicara padanya, atau merinding kalau mereka bersentuhan.
Be normal, Van, be a fucking normies.
"Ya udah, gue diem di sini nih. Puas?" ujar Devan ketus.
Aldric tersenyum kecil. "Kalau Kakak geser lebih jauh lagi, nanti Kakak kehujanan," kata Aldric seraya melirik Devan yang berdiri nyaris di penghujung atap parkiran.
Fix. Si Aldric alus pisan. Devan sampai lupa apa yang ingin ia katakan. Akhirnya ia cuma mengangguk patuh, dan beringsut mendekati sisi Aldric.
Aldric, seperti tidak menyadari Devan yang berdiri rapat di sampingnya, mengeluarkan earpod dari kantung celana, dan bertanya. "Suka lagu apa?"
"Huh?" Devan heran mendadak ditanya seperti itu. Ia lebih bingung lagi saat Aldric memasang sebuah earpod di telinga kirinya, sementara pasangannya sudah terletak dengan aman di telinga kanan Aldric.
Aldric mengeluarkan iPhone-nya, dan membuka Apple Music. "Kak Devan lagi pengen denger lagu apa?" ulangnya sambil memilih-milih lagu.
Devan tercengang. Ini.... tidak seperti yang ia bayangkan sedang terjadi kan? Dua anak manusia berteduh kala hujan sambil mendengarkan musik bersama-sama? Ini scene wajib di setiap film romantic comedy yang pernah ia tonton.
"A-apa aja," jawabnya setelah melongo beberapa saat.
"Oke."
Sejurus kemudian, intro Fake Plastic Trees dari Radiohead terdengar di telinga Devan. Aldric memejamkan mata, sementara Devan memperhatikan adik kelasnya dengan perasaan yang tak terdefinisi.
Pada akhirnya, menurut hemat Devan, hujan siang ini bukan hujan biasa.
***
***
***
Dengerin Radiohead siang-siang pas hujan = waktunya untuk galau.
See you next chapter youu guuuyys, happy mellow!!! Jangan lupa vote, comment.
Love, Ren.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love You (Platonically)
Teen FictionFIRST OF ALL, I WOULD LIKE TO WARN YOU THAT THIS IS A SHOUNEN-AI, AKA BOYS LOVE, AKA A STORY ABOUT A MAN LOVING ANOTHER MAN. PLEASE PROCEED WITH CAUTION. THANK YOU. Cover is created by the most talented @brtelur. +++ Platonic /pləˈtänik/ adj. (of lo...