Bab 8: Creep

664 117 24
                                    

Berkat hujan, Devan jadi mengenal sisi baru dari Aldric. Yang pertama; Radiohead adalah band kesukaan Aldric. Selama setengah jam mereka menunggu hujan reda (dan menunggu dua cecunguk ingkar janji itu), telinga Devan disumpal lagu-lagu Radiohead. Sungguh old school.

Somehow, Devan berpikir, meskipun Aldric lebih muda darinya, tetapi jiwa Aldric seumuran Bang Davi, sebab Radiohead juga band kesukaan kakak laki-laki Devan tersebut.

Hal kedua; sepertinya Aldric sering berantem? Tawuran? Anak geng? Berdiri berdekatan seperti ini, Devan bisa melihat memar yang sudah samar di tulang pipi kanan Aldric. Kemarin di bibir, sekarang di pipi. Saat ditanya, Aldric cuma tersenyum dan menggeleng kecil.

Yang mengantarkan Devan pada kesimpulan ketiga; Aldric menyimpan rahasia. Dan fakta bahwa ada sesuatu yang tidak diketahui Devan tentang Aldric ternyata cukup mengusik perasaan.

Kesimpulan keempat; saat mendengarkan lagu Creep, sesuatu terlintas di pikiran Devan. "Am I a creep? Am I a weirdo? Having this thought towards my underclassman?"

Devan melirik Aldric untuk yang kesekian kalinya, dan untuk yang entah keberapa kali juga, Aldric membalas tatapan Devan.

"Bagus, kan?" tanyanya.

Devan mengangguk. Iya. Bagus banget. Elo, dan lagunya, dua-duanya bagus.

"Mau coba nyanyi lagu itu nggak nanti?" tanya Aldric.

"Creep? Boleh," jawab Devan.

Ditilik dari pikirannya yang melantur ke mana-mana, membayangkan berbagai macam skenario antara dirinya dan Aldric, Devan menarik kesimpulan terakhir; Yes. I am a creep.

+++

Maka Creep menjadi lagu pertama pembuka latihan mereka.

Seperti yang sudah diduga, kemampuan Aldric bermain gitar melebihi gitaris-gitaris cabutan yang sempat menggantikan Remi. Devan, Gilang, dan Trian tampak sangat puas. Dalam sekejap saja, Devan melupakan perasaannya yang berkecamuk dan larut dalam tempo musik.

You float like a feather, in a beautiful world...

Devan memperhatikan jari-jari panjang Aldric yang bergerak anggun di atas senar, membentuk kunci demi kunci mengiringi alunan suara Devan.

I wish I was special, you're so fucking special...

Devan sepertinya harus mengalah pada kenyataan bahwa Aldric, dan segenap keberadaannya, adalah spesial di mata Devan. Aldric yang saat ini sedang memetik gitar, Aldric yang saat ini bolak-balik menengadah karena matanya tertutup rambut yang mulai panjang, Aldric yang beberapa kali menoleh pada Devan dan tersenyum lebar.

Indeed.... You're so fucking special...

+++

"Aldric, mulai saat ini, elo adalah gitaris favorit gue," puji Trian saat mereka istirahat.

Gilang mengangguk setuju. "Main kita kawin banget."

Devan yang sedang minum, nyaris tersedak mendengar kata 'kawin'. Ia melempar tatapan keji pada Gilang yang memilih kosakata tersebut padahal ada jutaan kata sifat lain yang bisa dipakai.

Sementara itu, yang dipuji, cuma bisa senyam-senyum malu. Semburat kemerahan muncul di pipi adik kelasnya itu. "Makasih, makasih," gumamnya salah tingkah sambil membungkukkan badan.

"Gimana menurut lo, Van? Tumben diem aja, biasanya bacot mulu," ujar Trian.

"Ya pasti oke lah, kan gue yang milih Aldric," tanpa berpikir panjang-lebar, kata-kata itu meluncur dari mulur Devan. Penuh dengan kebanggaan, penuh rasa kagum.

"Seandainya lo sejago ini memilih pasangan, lo bisa mengakhiri status lo sebagai jomblo seumur hidup," ledek Trian.

Devan melempar botol kosong yang ia pegang ke arah Trian, yang langsung ditangkap oleh cowok itu sambil mengulurkan lidah dan terkekeh. Gilang yang sudah biasa melihat pemandangan ini, mengabaikan mereka berdua. Tetapi Aldric si anak baru, menyimak interaksi antara Devan dan Trian dengan rasa ingin tahu.

"Kak Devan belum pernah punya pacar?" tanya Aldric heran.

Tawa Trian semakin keras. "Gimana mau pacaran kalau semua cewek dia tolak? Gue curiga antara lo yang emang jual mahal, atau jangan-jangan lo... diam-diam... suka... gue???" canda Trian.

Trian, sejak pertama mereka bertemu, memang suka melontarkan pernyataan-pernyataan 'menjurus' seperti barusan. Salah satu orang yang kerap menerima candaan gay Trian adalah Devan, yang selalu berhasil ia abaikan.

Tetapi kali ini, Devan dibuat terdiam. Omongan Trian menusuk tepat ke jantung. Ia tidak suka Trian, tentu saja, tapi ia mungkin suka Aldric. Refleks, ia melirik Aldric, yang tidak ikut tertawa, namun juga tidak menunjukkan reaksi apapun.

"Bebeb Devaaan, bilang aja lo suka sama guee yee kaaann? Sampai cewek kayak Hana aja lo tolak," Trian sepertinya lupa bagaimana cara menutup mulut.

"Gue nggak pa-pa koook pacaran sama cowok cute kayak lo," Trian tidak hanya lupa cara berhenti bicara, ia juga tidak paham cara membaca suasana.

Wajah Devan sudah merah padam, ditambah lagi dengan mendengar kata cute keluar dari mulut Trian.

Tiba-tiba... JREEEEENGGG!!!!

Suara gitar terdengar keras dari speaker. Kaget, ketiga orang yang ada di studio selain Aldric, menoleh ke arah datangnya suara.

Aldric, sang pelaku, hanya mengangkat bahu. "Sori, lagi nyetem."

"Nyetem sih nyetem, tapi nggak harus bikin jantung gue copot kali, Al," omel Trian.

***

***

***

Author's Note: RIP akal sehat Devan. And Trian, my baby, learn how to read the atmosphere, okay.

I Love You (Platonically)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang