Chapter 01

199 46 9
                                    

Menjadi seorang petani mungkin sudah takdir, membuatku harus siap berkutat dengan tanah, cangkul dan teriknya matahari. Kutatap hamparan pohon-pohon cabai yang telah tiba masa panennya, rumput-rumput liar tak lagi mengrogoti batang-batangnya. Setelah memastikan tak ada lagi rumput liar yang mengganggu, aku memutuskan pulang--tentu dengan berlari. Aku akan kembali besok untuk memanen mereka. Langkah kaki kuayun menyusuri jalanan dengan cepat, beberapa kali harus melambat ketika menghindari lubang-lubang pada aspal. Saat hampir tiba, aku melewati tiga lelaki dewasa. Mereka sesekali melirikku sembari tetap menyesap kopi, sepertinya orang baru.

"Tampaknya desa kita kedatangan orang baru lagi. Apa Ibu kenal?" tanyaku saat tiba di rumah.

"Setahu Ibu, mereka anak Pak Warman. Kabarnya, ke sini untuk mengurusi perkebunan keluarga mereka," jawab Ibu.

"Oh."

***

Aku membuka daun jendela sedikit lebar, malam ini bintang dan bulan alpa membuat langit sepi akan kehadirannya. Mendung sejak sore belum kunjung menghadirkan hujan. Suasana seperti ini menurutku begitu nyaman, menenangkan seperti biasa. Namun, tidak setenang dulu saat warga desa belum mengenal kendaraan. Keheningan malam sedikit menyusut, dan aku tak menyukainya. Beberapa kendaraan bersuara bising kerap kali lewat di depan rumah.

Mataku menyusuri setiap sudut yang bisa terlihat di luar, tak ada yang beraktifitas di halaman rumah. Kecuali ... tiga bersaudara itu. Mereka berada di posisi yang sama seperti yang kulihat tadi sore, hanya saja baju mereka sudah berganti dan terdapat sebuah api unggun kecil yang melengkapi mereka. Rintik hujan mulai berjatuhan, senyumku merekah. Menjadi jaminan untuk tidurku yang lebih nyenyak malam ini. Kulirik kembali ke arah tiga bersaudara, mereka sudah tak di sana. Hanya tersisa api unggun yang tetap menyala walaupun tetes air kian ramai. Aku berbalik dan menjatuhkan diri di kasur.

"Ah ... malam yang sempurna."
Aku menarik selimut hingga telinga, dan mulai masuk ke alam mimpi.

***

Tubuhku begitu segar, tidurku begitu nyenyak semalam. Namun, saat mendekati pagi aku terbangun dan memutuskan kembali tidur. Hujan di luar sana belum juga reda, membuatku enggan menyingkirkan selimut tebal yang kini menutupi seluruh tubuh. Hingga suara Ibu memaksaku keluar dari selimut dan langsung menuju kamar mandi, tak mau melihat wajah datarnya akan semakin datar di saat marah nantinya. Aku teringat mimpi pagi ini, mimpi yang aneh. Isinya hanyalah aktivitas yang kulakukan kemarin sore, tak ada yang spesial.

Hari beranjak siang, rinai hujan sudah tak terlihat melalui kaca jendela. Suapan nasi terakhir telah lumat kukunyah. Aku diam untuk beberapa menit, lalu berpamitan pada Ibu. Tanaman cabai di kebun sudah menunggu untuk kupanen.

Jarak rumah ke kebun cukup jauh, aku ke sana hanya dengan berlari. Ibu bisa saja membelikan sebuah kendaraan--yang-bising-- juga untukku, tetapi aku tak mau. Selain membuat kebisingan, benda itu juga akan menimbulkan polusi di udara. Aku benci suasana dan udara seperti yang di kota, sangat kotor!

Aspal jalan sedikit lembab karena hujan semalam. Embun juga belum hilang semua, padahal sudah menunjukkan pukul 8.30. Aku terus berlari, kecepatan kukurangi sedikit dari biasanya. Takut terpeleset. Ribuan pohon apel milik keluarga Warman terhampar sepanjang jalan yang kulalui, sepertinya sebentar lagi mereka akan panen. Aku tiba di kebun cabai berukuran kecil milik keluargaku setelah berlari sejauh satu kilometer. Hamparan pohon cabai yang sudah merah buahnya menyambutku. Kuambil keranjang lalu mulai memetik satu per satu, udara sejuk membuatku semangat.

Hari beranjak siang, panas matahari tak terlalu menusuk karena hawa sejuk khas pegunungan. Aku duduk di bawah pohon jambu yang kini tengah dipenuhi bunga yang sebentar lagi akan berubah menjadi buah jambu sungguhan, empat bakul sudah penuh dengan cabai. Hanya tersisa beberapa lajur pohon, mungkin tak akan lama saat kulanjutkan sehabis istirahat.

Beta & Omega (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang