Aku juga beranjak mengambil jaket berwarna abu milikku setelah membawa gelas-gelas kotor ke dapur. Berjalan-jalan di desa yang jarang penduduk ini mungkin menyenangkan, sedikit rindu pada lahan berisi pohon-pohon cabai milik keluarga juga menjadi alasanku pagi ini. Sinar mentari menyambut tubuhku, walau hari kian beranjak siang dan matahari sudah meninggi, suhu lingkungan tetap membekukan. Kaki panjangku mulai melangkah, tidak berlari, aku mulai dengan jalan menuju ladang milik keluargaku. Kujejali jalanan beraspal yang sudah retak di beberapa bagian, di pinggiran air mengalir ramai pada got yang sedikit lebar. Setelah tanjakan yang tak begitu tinggi, perkebunan apel milik Pak Warman yang terbentang luas menyambutku. Sepi, tak ada satu pun pekerja di perkebunan ini. Netraku menatap langit di atas hamparan perkebunan, di situlah tempat munculnya seekor elang hitam berukuran besar yang datang di mimpiku. Sedikit bergidig, tapi tetap saja itu hanyalah mimpi. Kulanjutkan langkah membelah jalanan lurus, tubuhku bahkan belum terasa hangat sekarang. Sedikit jauh meninggalkan perkebunan apel, aku sudah memasuki lahan kosong yang juga berukuran luas. Lahan itu masih seperti hutan, pohon-pohon besar mendominasi.Bertahun-tahun pemilik lahan ini tidak kembali, menurut yang kudengar lahan ini dititipkan pada Pak Reimon, kepala desa di sini. Aku merapat ke bibir hutan tersebut, di sini terasa benar-benar layaknya hutan. Burung-burung dengan suara kicauan indahnya meramaikan, membuatku terbuai ingin masuk ke dalam untuk menjelajahinya lebih dalam. Mungkin memotong jalan di sini untuk ke kebun adalah ide yang bagus sembari menikmati suasana alam.
Rumput liar setinggi pinggangku sedikit menyulitkan, mengharuskanku membuat sendiri jalan dengan cara menerobos. Beberapa pohon talas yang sudah berukuran besar menyambut netraku ketika tiba di balik semak belukar. Ekspektasiku salah seratus persen, di sini tidak seperti yang tampak jika dilihat dari jauh. Pohon jati tumbuh rapi berjejer dengan daun gugurnya yang memenuhi permukaan tanah, ini nyaris seperti hutan lindung.
Aku masuk lebih dalam, sesekali berhenti untuk menaruh potongan kecil ranting di sepanjang jalan yang kulewati, berjaga-jaga agar tidak tersesat di saat pulang nantinya. Beberapa monyet bertubuh kecil bergelantung indah di dahan kokoh, mereka terlihat bersahabat.
Jika ditanya apakah aku takut pada hewan-hewan liar, jawabanya tentu tidak. Menurutku, selama kita belum tampak seperti hewan bagi hewan lainnya, hewan tersebut tidak akan menyerang. Hingga kini hal buruk seperti itu belum pernah terjadi padaku, dan semoga saja tidak akan pernah.
Keberagaman hayati negeri Indonesia begitu memukau, hutan-hutan luas dipenuhi hewan dan tumbuhan yang khas. Entah bagaimana jadinya jika desa kecilku ini kelak menjadi sebuah kota, hutan-hutan beserta isinya tentu akan musnah dan tergantikan bangunan-bangunan tinggi bertingkat.
Aku meringis mendapati luka pada pipiku, tak sengaja menyenggol ranting pohon yang sedikit rendah. Kuusap pelan, perih mulai terasa. Cairan merah membasahi sebagian ujung jemariku, tentu bukan hal serius kuanggap ini adalah oleh-oleh untuk petualanganku. Konyol memang.
Aku berlindung pada salah satu batang pohon, di depan sana ada sepasang merak. Bulu merak jantan merekah indah, hal yang lumrah dilakukan untuk menarik perhatian si betina. Aku memilih mencari jalan yang sedikit jauh dari hewan yang sedang kasmaran itu, tak ingin mengganggu.
Aku melangkah pelan sembari tetap menabur potongan ranting kecil pada tanah, berbelok ke barat dan nantinya kembali menyusuri hutan ini ke arah selatan, tempat kebun keluarga. Udara di sini cukup dingin, daun-daun jati saling merapat membuat sinar matahari tidak masuk secara maksimal.
Aku berisitirahat sebentar, daun-daun jati kering itu membuatku tidak khawatir jika nantinya celanaku akan kotor. Tanganku masih sibuk mematahkan ranting menjadi potongan-potongan kecil, sementara netraku terus menikmati indahnya hutan ini.
Suara seperti aliran air terdengar samar, aku tercenung tak menyangka jika di wilayah ini terdapat sebuah sungai. Kebutulan, arah datangnya suara itu dari selatan, searah dengan daerah kebun. Setidaknya aku harus mempersiapkan diri untuk menyeberangi sungai agar dapat sampai ke sana. Beberapa kali anak-anak kancil berlarian tak jauh dariku, mereka terlihat begitu menggemaskan. Aku tiba di tepi sungai yang kuyakini cukup dalam itu, membuatku ragu untuk menyeberang.
Kuputuskan mengikuti aliran aliran sungai yang mungkin saja di sana lebih dangkal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Beta & Omega (On Going)
RandomTidak ada penjabaran. Langsung cek aja, pasti kepincut sama cerita ini :" Best cover karya @seaaddison 💕 221219