Chapter 03

82 36 12
                                    

Aku terpaku. Seluruh tubuh tak terkecuali bibirku, semuanya bergetar. "Maksudmu, kalian semua adalah siluman?"

"Semacam itu. Tapi menurutku sebutan siluman itu terlalu buruk. Tak perlu takut, tak ada yang ingin melukaimu di sini."

Aku diam, rasa takut bercampur dengan ribuan tanya kian memenuhi otak. Aku merasa seperti dipermainkan, ini semua tidak logis menurutku.

"Ayo masuk! Kita sudah sampai."

Di dalam, seorang kakek yang hampir berusia sepu menyambut, mengajak kami duduk melantai di lantai rumah yang terbuat dari batang pohon seukuran pergelangan anak remaja yang dirapatkan satu sama lain. Kami duduk beberapa meter dari sang kakek.

"Manusia ...." Kakek sepu itu seperti mengendus, kedua matanya menutup. "Lintang, ke mari!"

Wanita paruh baya yang sedari tadi bersamaku bangun dan menghampirinya. Mereka duduk berhadapan, sedikit rapat.

"Iya, Jlis," ujar Lintang, sepertinya mereka ingin membahas sesuatu yang mungkin serius, terbukti dengan cara mereka berkomunikasi, berbisik. Sungguh tak sopan!

Seperti tersadar akan sesuatu, tanganku terulur menyentuh telinga. Mereka berjarak beberapa meter, tetapi aku bisa mendengar apa yang mereka bisikkan. Bagus juga.

"Dia manusia? Kenapa kau membawanya ke rumahku?" Kakek sepu itu mulai menyelidik,  tentu dengan nada berbisik.

"Ngomong-ngomong aku mendengar semua percakapan kalian." Sengaja kukeraskan suaraku.

Lintang berbalik, mereka menatapku. Aku mulai terbiasa dengan tatapan tajam dari keduanya. Setelahnya mereka bersitatap, penglihatanku tak luput dari keduanya. Mereka seperti saling bertelepati, entahlah.

"Nona, kemarilah!" Suara berat itu menginterupsiku. Apa mungkin kakek sepu itu akan menghukumku? Rasa ketakutan yang begitu kubenci kembali hadir.

Detak jantungku semakin cepat, seiring wanita aneh itu--Lintang--menoleh dan menyuruhku untuk melakukan apa yang dikatakan sang kakek. Aku melangkah dengan kaki bergetar. Andai saja keberanianku ada walau sedikit, kupastikan tubuhku sudah tak di sini, tentu dengan berlari sejauh mungkin. Namun, itu hanyalah sesuatu yang mustahil.

Aku tiba di hadapan sang kakek dan ikut duduk bersila. Kuteliti setiap garis-garis keriput di wajahnya, sedikit menyeramkan.  Degub jantungku masih meronta di dalam sana, keringat dingin pun kuyakin akan hadir sebentar lagi. Aku benar-benar ketakutan saat ini.

"Tutup matamu, Nona!" pintanya.

Kulihat, tangannya mulai terangkat. Hingga kami bersitatap, tatapannya seakan ingin membunuhku, sangat tajam. Cepat-cepat kututup mata ini, mencoba meyakinkan diri bahwa mereka tak akan melakukan sesuatu yang bisa mencelakaiku. Walau ketakutan masih dominan berkuasa. Sesuatu yang dingin menyentuh kening, perlahan tubuhku seperti melayang dan kembali memijak bumi.

"Niana, bangun!" Suara serta guncangan tangan Ibu datang bersamaan dengan cahaya putih yang perlahan berubah menjadi seperti ruang kamarku.

"Syukurlah. Kukira kau akan terus pingsan setelah tak sadarkan diri semalaman," sambungnya dengan ekspresi datar yang selalu ia tunjukkan.

"Aku pingsan?" ucapku, sembari kembali membuka memori untuk mengingat apa yang terjadi sebelum ini. Sedikit memaksa, dan yang teringat hanyalah sebuah mimpi di mana aku dibawa oleh seorang wanita.

"Ya, semalam anak-anak Pak Warman mengantarmu pulang dalam keadaan pingsan. Katanya, mungkin karena kau terlalu lelah," terangnya dan berlalu setelah meletakkan sebuah nampan berisi menu sarapan.

Kebetulan sekali, perutku sedang benar-benar lapar. Terakhir kali kuisi pagi hari kemarin. Aku berusaha bangkit, sakit di seluruh tubuhku begitu terasa. Aku masih tak mengira akan selelah ini.

Aku mendudukkan diri pada pinggiran ranjang dan mengambil piring dari nampan. Suapan demi suapan memenuhi mulut dan perutku. Pandanganku terarah pada kedua kaki, mencari goresan dan darah. Namun, tak ada sedikutpun lecet di sana. Entah mengapa, mimpi semalam rasanya begitu nyata.

Aku kembali ke kasur, tidak berbaring. Separuh tubuhku tertutup selimut, hari ini hujan datang begitu pagi membuat suhu udara lebih dingin.

Tanganku menopang dagu, kembali mengulik mimpi demi mimpi beberapa hari ini, aneh, dan tentu di luar nalar. Mulai dari memimpikan aktifitasku sendiri, dibuntuti oleh seekor elang hitam berukuran besar, berpelukan dengan orang asing bernama Kemal, dan mimpi yang semalam .... Mungkin yang pertama dan kedua ada hubungannya. Namun, dua mimpi yang lain sama sekali tak ada pautan satu sama lain. Membingungkan.

"Clan Hepsin." Aku terkekeh sebentar, mimpi yang bodoh. Di jaman seperti ini mana ada siluman.

Sinar mentari menyelinap masuk melalui cela ventilasi, sedikit menyilaukan mata. Rinai di luar sudah berlalu. Aku beranjak, mandi mungkin satu-satunya solusi agar tubuhku kembali terasa ringan.

Beta & Omega (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang