Chapter 07

54 3 0
                                    

Di sekitaran sini memang jarang ditumbuhi pepohonan, tapi semak belukar ada di mana-mana. Beberapa kali aku shock kala melihat ular-ular berukuran besar yang melewati atau bahkan hampir terinjak olehku. Namun, aku sangat bersyukur hewan itu sama sekali tidak menyerangku.

Aku terus menyusuri, hingga tiba pada tempat yang dipenuhi oleh pepohonan. Persis seperti yang kulewati ketika ke sini, setidaknya keberadaan air terjun itu tak jauh. Walaupun sedikit ragu, sebab suara aliran air sejak tadi terdengar cukup dekat. Namun, aku sudah jauh berjalan tak menemukan bahkan setetes pun air. Semoga saja kali ini aku benar-benar tiba di air terjun itu.

Aku berhenti sejenak dan bersandar pada salah satu pohon, mataku terpejam, cukup lelah.

"Woaaah ...!"

Mataku terbuka, aku terdiam sejenak. Baru saja kudengar suara teriakan seseorang, tak jauh dari sini. Aku melangkah cepat ke arah yang kuyakini tempat berasalnya suara itu, orang itu berteriak lagi beberapa kali membuatku yakin dengan jalan yang kuambil.

Dengannya aku bisa meminta tolong, atau justru aku yang akan menolongnya juga? Bisa saja orang itu sedang dalam masalah sepertiku atau lebih parah.

Sedikit jauh berjalan aku bersorak riang. Ya, aku sampai di  hutan yang penuh dengan pohon-pohon jati yang artinya aku sudah berada sangat dekat dengan air terjun. Aku akan pulang!

Teriakan sekali lagi terdengar, arahnya tepat berada di depanku. Kudengar juga aliran air yang begitu kentara, ya, aku hampir sampai.

Sedikit berjalan aku aku pun tiba di aliran sungai yang mengarah langsung pada air terjun. Kusebar pandangan ke sekitar, tak ada seorang pun di sini. Lantas siapa yang sedari tadi berteriak?

Aku melangkah mendekati bibir sungai, di sana ada ranting kecil yang kutabur. Tentu dengan waspada, bisa saja teriakan tadi adalah satu jebakan untukku. Netraku tetap mengawasi.

"Woah!" Seseorang mengagetkan dengan memegang kedua bahuku, seketika badanku panas dingin.

"Aaah ...! Tolong pergi! Kumohon pergi, jangan ganggu aku! huhuhu ...." Aku memohon, air mata membanjir keluar melalui mata yang kututup.

"Hahaha ... hei, Niana! Tenanglah ini aku, Kemal!" Orang itu memutar arahku berdiri, kami berdua saling berhadapan.

"Kemal ...?" tanyaku.

"Iya, ini aku. Buka matamu!" serunya mencoba meyakinkanku.

Perlahan mataku terbuka, tangisku seketika berhenti. Dia benar Kemal, ini sangat memalukan!

"Kemal?! Itu tidak lucu, tahu! Aku hampir mati dibuatmu!" ujarku, jantung di dalam sana belum bisa kukontrol. Aku masih ketakutan.

"Iya-iya, maafkan aku." Ia menarikku ke dalam pelukkannya.

Badanku begitu kaku, sekarang aku sedang marah padanya. Namun, ketika dipeluknya tak ada sedikut pun perlawanan dariku. Pelukkannya hangat, membuatku sangat nyaman. Ribuan kupu-kupu serasa terbang di perutku, pipiku juga menghangat. Ini adalah kali pertamaku dipeluk oleh lelaki. Jemarinya sibuk mengelus rambut hitam panjangku, yang kuyakin sudah sangat kacau.

Tiba-tiba terlintas begitu saja tentang mimpiku, di mana aku dan Kemal berpelukan. Sangat persis dengan keadaan sekarang. Cepat-cepat kulepas pelukannya dan mundur dua langkah, Kemal menatapku tak enak.

"A-apa kau yang berteriak tadi? Apa sesuatu terjadi padamu? Katakan!" selidikku.

"Ya, aku yang berteriak. Tidak, aku hanya kagum pada keindahan air terjun di situ. Aku berteriak sebagai bentuk ungkapan kekaguman," jawabanya, sesekali ia terkekeh.

"Orang-orang kota memang aneh! Kukira kau sedang dalam masalah tadi." Aku mencebik kesal, itu tadi adalah cara aneh dan bodoh menurutku untuk mengungkapkan sebuah kekaguman.

"Hmm ngomong-ngomong, kenapa kaubisa ada di sini?" Ia balik bertanya. "Dan kenapa kau terlihat begitu kacau?"

Kulirik tubuh bagian bawahku, sangat kotor. Jaket abu kesayanganku terdapat banyak sekali duri-duri rumput yang menempel, sedang celana pendekku terdapat krim lumpur yang sudah sedikit kering bekas dari terpeleset. Jemari menggaruk tengkuk yang sama sekali tidak gatal, aku teramat malu sekarang.

"Dan lihat juga yang ini." Jemarinya menyentuh luka yang ada pada sikutku.

"Au! Jangan menyentuhnya! Ini masih terasa nyeri dan keram," balasku, ini benar-benar keram.

"Maaf-maaf. Baiklah, sekarang jelaskan mengapa kau berada di tempat ini?" Lagi, dia menyelidik.

"Alasannya sederhana, hanya ingin jalan-jalan. Aku tak menyangka akan tersesat." Mataku memincing ke arahnya, ia juga punya tujuan apa ke sini?

"Hahaha kau tersesat? Sulit dipercaya, padahal kau adalah warga asli di sini," ejeknya.

"Ish! Sekarang giliranmu. Kau ...  sedang apa kau di sini?"

"Sama sepertimu." Ia berjongkok dan mengambil beberapa ranting kecil yang kutabur di tanah. "Aku ke sini dengan petunjuk ranting-ranting kecil ini. Apa kau yang menaburnya?"

Aku mengangguk saja.

"Baiklah, mari kita pulang. Kaubisa menceritakan kisah tersesatmu di perjalanan nanti." Ia kembali berjongkok dengan membelakangiku. "Naiklah, keadanmu tak memungkinkan untuk perjalanan pulang yang lumayan jauh."

"E-eh? Tidak perlu, aku masih sanggup," elakku, baru saja pipiku terasa menghangat.

"Cepatlah, Niana." Dasar! Ia tak mempedulikan penolakanku.

Aku pun terpaksa melakukan hal bodoh itu. Bahunya yang bidang terasa nyaman untuk kepalaku. Kami mulai berjalan, tidak, tepatnya Kemal. Haha. Syukurlah, aku benar-benar akan pulang!

Beta & Omega (On Going) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang