Vampir Menara Selatan: Part 1

74 5 0
                                    

Aku memandang rintikan hujan dari kafe favoritku. Suaranya terdengar sayup terendam musik lembut dari radio kafe. Di tengah zaman yang penuh teknologi seperti ini, kafe ini masih memakai radio manual, sungguh menambah aksen klasik di kafe yang dominan bernuansa coklat.

"Yuri," seorang pegawai berambut oranye meletakkan secangkir teh dan sebuah lemon di atas meja. Terlihat kerutan heran di dahinya. Ah ralat, dia bukan pegawai walau pakai seragam. Dia adalah pemilik kafe ini, Nico, yang juga adalah kekasih hatiku. Tapi kalau aku bilang begitu di depan mukanya, pasti dia akan marah secara lucu. "Tumben kau tidak sibuk dengan tablet." Dia hanya berdiri di depan meja.

"Hmm.." Aku mengambil lemon lalu memerasnya ke dalam teh, menambah beberapa sendok gula, garam, lalu bubuk kayu manis. Aku tahu Nico sudah menatapku dengan muak, tapi aku tidak menggubris emosi sesaatnya itu. "Sampai email yang kutunggu datang, aku luang," jawabku sambil mengangkat cangkir teh. Kuberikan senyum manis pada Nico, "bagaimana kalau kau menemaniku minum teh? Aku terlihat menyedihkan dengan kursi kosong di depanku."

"Jangan bercanda," Nico menghela napas pendek, "ini jam kerja."

Aku hanya tertawa kecil iseng.

Sekali lagi Nico menarik napas dan tersenyum simpul. "Nikmati tehmu yang aneh itu," ujarnya sebelum akan melangkah pergi.

"Prang!"

Mendengar suara pecah, Nico langsung berhenti dan berbalik lagi padaku. Baru saja ia akan berseru, entah ingin memarahiku atau mengkhawatirkanku, walau sebenarnya aku ingin yang kedua, Nico terheran-heran melihatku yang tengah tidak berkedip dengan mata yang tidak percaya.

"Yuri?" Kali ini Nico terdengar agak takut. "Kau baik-baik saja?"

"Ah..." Aku akhirnya tersadar, "maafkan aku, Nico. Aku memecahkan cangkirmu."

Nico pun memanggil karyawan dan memerintahkannya untuk membereskan kekacauan yang aku buat. Walau masih heran, Nico mengajakku ke kursi di bar dan membuatkan secangkir teh yang baru.

"Lagu ini..." Aku membuka suara ketika Nico meletakkan secangkir teh di hadapannya. "Lagu siapa ya?"

"Hee?" Nico makin terheran-heran, "ini lagu dari band Orkadia kan? Kau tidak tahu?"

"Band?"

"Sunspot Cycle namanya."

"Sunspot Cycle...." Aku mengulang. Rasanya aku pernah mendengar nama itu tapi entah kapan dan di mana. Ingatanku mengkhianatiku kali ini.

"Kesampingkan itu," ujar Nico, "aku heran kau sampai menjatuhkan cangkir. Ada hubungannya dengan lagu ini ya?"

"Ah...." Aku mengatupkan kedua tangan di atas meja dan menunduk, mengeluarkan tawa angker. Tentu saja, aku tidak bisa mengingat hal yang baik dari lagu ini. Bisa dibilang lagu ini telah membuatku trauma.

"Yuri?" Nico terdengar makin gelisah, mungkin takut kalau-kalau aku sudah gila. "Jangan gila." Benar saja keluar juga kata itu.

Aku pun menegakkan kepala dan tersenyum simpul, bukan senyum biasanya yang cerah riang tidak ada beban. "Maukah kau mendengarkan ceritaku?"

Nico terdiam sejenak dan melihat ke arah karyawannya yang tengah melihati kami berdua.

"Tenang, Bos," seorang barista yang juga ada di bar mengacungkan jempol, "serahkan kafe padaku." Lalu dia memberi isyarat pada karyawan lainnya agar kembali bekerja dengan tenang.

Nico menghela napas pendek sebelum keluar dari bar dan duduk di sampingku. "Aku anggap ini bukan jam kerja. Untuk kali ini saja, oke?"

"Terima kasih," aku kembali dengan senyumku yang ceria.

12 Legenda di SekolahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang