Malam ini Aysel tidak ada kegiatan. Ia memilih untuk menetap di dalam kamarnya sembari memainkan laptopnya. Karena merasa bosan, ia pergi keluar dari kamarnya. Balkon, adalah tempat terindah, ternyaman, dan terdamai baginya.
Di sini, ia dapat melihat hujan, pelangi, senja, sunrise, siang yang terik, subuh, malam, bintang, bulan, dan mentari. Berbagai warna juga dapat dilihat seperti, ungu, abu-abu, merah, jingga, pink, hitam, dan dongker.
Entah sebutan apa yang cocok untuk tempat ini. Lebih dari sahabat, tempat ini selalu ada untuk menemaninya. Selalu menjadi saksi bisu setiap perasaan Aysel. Aysel menyenderkan tubuhnya pada pagar yang membatasi. Menghirup udara malam yang menenangkan hatinya, tersenyum ketika melihat langit kedongkeran yang dihiasi bulan dan kerlipan bintang.
Ia kaget saat mendengar klakson mobil. Aysel mengarahkan padangannya ke bawah. Setelah suara garasi yang menutup, melajulah mobil yang keluar dari rumahnya. Berbagai fikiran menghampirinya.
Siapa yang pergi tadi? Entahlah, Aysel langsung mengalihkan fikirannya, karena percuma juga ia fikirkan, tidak ada gunanya. Aysel terduduk membelakangi pagar dan menyederkan tubuhnya ke sana. Tak ada yang difikirkannya untuk sekarang ini.
Berkali-kali Aysel merenungkan untuk apa kehadiran dirinya di dunia ini. Untuk apa dia dilahirkan. Apa yang telah dia lakukan untuk keluarganya. Membuat kedua orang tuanya bangga saja tidak pernah. Bahkan membuat orang tuanya tersenyum atas dirinya pun juga tidak.
Saudara. Apa gunanya saudara. Untuk apa ia mempunyai banyak saudara. Apa yang pernah ia lakukan untuk membuat semua saudaranya senang terhadap dirinya.
Semua fikiran tentang itu sudah sering berputar di dalam otaknya. Tak pernah ada jawaban sedikit pun tentang semua itu. Bahkan sampai ia marah pada dirinya sendiri dan menangis meratapi semua itu. Tak guna dan tidak akan ketemu apa yang menjadi masalahnya.
Cepat-cepat Aysel menghilangkan semua fikiran yang selalu datang saat dia termenung. Ia tak ingin nantinya akan membenci keluarganya, itu adalah hal yang paling ia takuti akan terjadi. Ia juga selalu berfikir positif dengan semua yang terjadi.
Aysel pergi keluar kamar dan menuju ruang makan karena dirasa perutnya lapar. Tak ada makanan yang tersaji di atas meja makannya. Ia bingung sendiri, tak biasanya tidak ada makanan saat jam makan malam. Yang Aysel takuti adalah nanti mamanya akan marah kepada Mbak Tika.
Aysel pergi ke kamar Mbak Tika. Ternyata di dalam Mbak Tika sedang melipat pakaian yang tadi sore diangkatnya dari jemuran. "Mbak Tika, kenapa enggak masak? Takutnya mama marah."
"Loh, Neng Aysel tidak ikut dengan yang lain?" Tika seperti kaget melihat kedatangan Aysel ke kamarnya. Kebiasaan Aysel jika masuk kamar orang tanpa mengetuk pintu dan permisi terlebih dahulu.
"Emang yang lain pada kemana, Mbak?"
"Yang lain sedang makan diluar. Tadi sore mama Neng Aysel bilang kalo Mbak tidak usah masak, karena nanti ia akan mengajak semua makan diluar."
Aysel terdiam mendengar itu, "tapi bukannya mama belum pulang, Mbak?" Aysel memang belum melihat kedua orang tuanya di rumah malam ini. Jadi, difikirnya kalau kedua orang tuanya belum pulang berkerja.
"Iya, tadi mama Neng Aysel menghubungi ke orang rumah dan membuat janji untuk langsung bertemu di restoran. Mereka berdua tidak sempat jika harus pulang terlebih dahulu. Neng laper ya?"
"Enggak kok, Mbak, tadi udah makan. Aku cuma mau ingetin Mbak Tika aja, takutnya nanti dimarahin mama. Yaudah Mbak, aku ke kamar dulu," pamit Aysel dan pergi meninggalkan Tika di kamarnya.

YOU ARE READING
Cinta Yang Jauh
Teen FictionCinta dari jarak jauh untuknya. Memang tak asli tetapi rasanya tulus. Penuh dengan kasih. Memberikan kenyamanan yang tak terkira. Sudah terjatuh sangat dalam padanya. Semua rasa ada padanya, manis, asin, asam, sampai pahit. Menjadi saksi atas semua...