Part 7

2.5K 52 2
                                    

Bulan pertama hubungan kami menjadi sepasang kekasih sangatlah indah. Pak Rangga sering memberikan kejutan-kejutan tak terduga padaku, aku merasa kalau aku adalah wanita paling beruntung saat ini. Dia sangat perhatian, dan penuh dengan pengertian.

Aku sangat ingat dengan ucapannya seminggu yang lalu, terus terang aku sangat kaget dengan penuturannya yang penuh dengan tiba-tiba.

“Sayang ... Aku berencana mengikat hubungan kita dalam ikatan yang lebih serius, aku ingin kita tunangan,” dia memanggilku dengan sebutan “Sayang” semenjak aku memberikan jawaban atas cinta dan perasaannya.

“Apa???”

“Kok kaget sih? Ada yang salah dengan ucapanku yah, Sayang?”

“Jelas kaget dong, Mas. Kita pacaran baru juga tiga minggu, tiba-tiba ngomongin tunangan,” jawabku tidak percaya.

“Aku menjalin hubungan serius denganmu, bukan untuk main-main. Apa salahnya kita tunangan aja.”

“Tapi ... Orangtuamu belum mengetahui hubungan kita, Mas, aku enggak yakin kalau mereka akan merestui hubungan kita.”

“Kenapa harus ngomong seperti itu sih. Orangtuaku pasti setuju dengan wanita pilihanku. Aku yang jalanin, jadi aku yang menentukan siapa yang akan menjadi pendamping hidupku.”

“Itu menurut kamu, Mas. Kita belum tau apa yang terbaik menurut orangtuamu.”

“Kenapa sih, Sayang, selalu berfikiran seperti itu? Kamu belum mengenal orangtuaku, mereka sangat baik, dan selalu memenuhi segala permintaanku.”

“Tapi hal ini beda, Mas.”

“Apa yang beda, Sayang? Apa aku salah ingin menjalin hubungan yang sangat serius dengan wanita yang kucintai? Apa aku enggak boleh memberikan kebahagiaan pada wanita pujaan hatiku? Apa yang salah, Sayang?”

“Yang salah ... Karena aku bukan wanita yang pantes mendampingi hidupmu, Mas. Kamu anak tunggal dari orangtuamu, sudah sewajarnya mereka menginginkan yang terbaik untukmu.”

“Tapi bagiku, kamu adalah yang terbaik.”

“Terserah kamu, Mas. Sekarang kita jalani aja apa adanya, jangan terlalu berfikir pada sesuatu yang tidak mungkin.”

“Aku sangat mencintaimu, Sayang. Tiga bulan lamanya aku memendam perasaanku padamu, sekarang setelah kita bisa bersama, kenapa kamu tidak yakin dengan hubungan kita?”

“Apa bedanya denganku, Mas. Aku juga sangat mencintaimu, tapi aku tidak berani untuk berharap banyak, karena aku sadar dengan keadaanku.”

“Ssstttt .... Jangan pernah ngomong seperti itu lagi, aku enggak suka.” Dia meletakkan jari telunjuk kanannya dibibirku.

“Jangan pernah berfikir sedikitpun kalau kamu dan aku berbeda. Bagiku kamu sangat istimewa, kamu wanita pilihanku. Tidak ada seorang pun yang berhak melarangku untuk mencintai wanitaku.” Dia mengecup dahiku lalu memelukku.

Aku bahagia dengan cinta dan kasih sayangnya padaku, tapi aku takut membayangkan kalau kami harus berpisah karena adanya perbedaan status sosial. Bayangan perpisahan itu selalu menghantui perasaanku.

.
.
.
.

Dua bulan berlalu semenjak kami menjalani hubungan, tidak kusangka dan tak kuduga sama sama sekali, Bu Sandra berkunjung ke kantor. Hatiku deg-degan tak karuan, jantungku berdetak sangat kencang, aku bingung harus seperti apa untuk menghadapi Bu Sandra.

Mungkin situasinya akan sangat berbeda jika aku dan anaknya tidak menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Aku pasti akan lebih nyaman dan santai untuk menyambut kedatangan Bu Sandra.

I LOVE YOU PAK DIREKTURWhere stories live. Discover now