FARUQ

5.3K 199 9
                                    

Aku memeluk Uwais dengan erat dalam pangkuan. Berjalan menyusuri lorong demi lorong bangunan untuk sampai ke dapur pesantren. Rasanya aku tak punya air mata untuk diteteskan, meskipun hatiku tengah terluka. Entahlah, apa yang harus kuperbuat saat ini. Aku butuh penjelasan dari Ilham. Kenapa dia setega ini padaku? Padahal aku telah mengorbankan masa muda dan pendidikanku.

"Bunda, kenapa?" Uwais memegang kedua pipiku sambil menatap dengan mata beningnya.

Aku menghentikan langkah, mencoba memberikan senyum terindah untuknya. "Bunda baik-baik saja, selama ada kamu bersama Bunda." Kucium kedua pipinya bergantian, membuat Uwais tersenyum girang. Lalu kuturunkan ia dari pangkuan, karena merasakan kram di kedua tangan. Maklumlah, tubuh Uwais lumayan berisi. Ia mewarisi tubuh Ilham. Ah, dia lagi! Sudahlah!

Uwais segera berlari duluan masuk ke dapur. Pasti ia merasa lapar dan akan meminta makanan pada Rosi. Dengan wanita itu ia lumayan dekat, karena Rosi sangat sayang padanya.

Entah mengapa, mataku tiba-tiba berembun. Tangis yang tadi tak mampu kukeluarkan akhirnya pecah. Aku menyandarkan punggung ke dinding, menangkup kedua tangan ke wajah. Rasanya aku hampir tidak kuat menerima semua kenyataan ini. Suami yang kutunggu selama bertahun-tahun untuk meresmikan pernikahan kami, malah menikah lagi dengan perempuan lain. Perempuan yang begitu sempurna dibanding diri ini. Lantas bagaimana dengan Uwais?

"Permisi, assalaamu'alaykum!"

Sebuah suara menyapa. Aku segera menghapus air mata di pipi dengan kasar menggunakan punggung tangan. "Wa-wa'alaykumussalaam." Aku tergugup. Tak berani mengangkat kepala, hanya bisa menunduk menatap lantai. Apalagi suara yang kudengar menyapa adalah suara seorang laki-laki.

"Tania? Kamu Tania 'kan?"

Aku terkesiap, langsung saja kuangkat kepala dan menemukan seraut wajah yang sama sekali tak asing bagiku. "Mas Faruq?" Mataku terbelalak, seakan tak percaya bisa bertemu dengan sahabat Ilham sewaktu di Jakarta dulu.

"Iya, ini aku." Lelaki yang notabene adalah orang Jawa asli itu meyakinkanku. "Kamu ... kamu di sini?" Ada nada khawatir dalam tanyanya.

"Iya, aku salah satu juru masak di sini, Mas."

"Sudah ketemu Ilham?"

Aku terdiam.

"Tania ...."

"Sudah, Mas. Aku sudah ketemu sama dia," sahutku lirih.

"Lalu?"

"Kenapa Mas Faruq tidak memberitahuku? Padahal Mas juga di sini kan?"

"Maaf , Tan, bukan aku nggak mau kasih tahu kamu. Aku nggak punya nomor telepon kamu. Aku juga kaget saat ketemu dia di sini, dan aku juga pernah bicara empat mata dengannya mengenai ini. Akan tetapi Ilham tak mau memberi alasan yang jelas. Terakhir dia hanya bilang untuk tidak mencampuri urusan pribadinya." Jelas Faruq panjang lebar.

Kuhela napas yang begitu sesak di rongga dada. Lalu mencoba tersenyum. "Oh ya, Mas Faruq bagaimana bisa sampai ke sini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ilham yang menghubungi, karena katanya pesantren butuh tenagaku. Kebetulan waktu itu aku belum punya pekerjaan tetap. Mau tak mau aku pindah ke sini, dan alhamdulillaah dapat orang sini juga." Lelaki itu tertawa kecil.

"Waah, alhamdulillaah. Selamat ya, Mas."

"Terima kasih, Tan. Nanti aku ajak kamu ke rumah ya? Aku kenalin sama istriku. Dia seusia kamu juga kok. Pasti dia senang aku kenalin sama kamu," tuturnya antusias.

"Insyaa Allah," sahutku.

Hening menyeruak.

"Kamu sendiri tinggal di mana?" Faruq memecah keheningan.

MENCOBA SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang