MENYERAH

5.2K 241 10
                                    

Semua baju sudah masuk ke travel bag. Tiket pesawat pun sudah dibooking oleh Faruq, untukku dan Uwais. Keberangkatan pukul lima sore. Travel ke bandara akan menjemput pukul 12 siang, berarti aku akan salat Zuhur di perjalanan, atau mungkin di bandara saja.

"Kamu yakin dengan semua ini, Tan?" tanya Faruq. Sedangkan Yumna terlihat sedih di sampingnya.

"Iya, Mas, aku yakin. Setidaknya aku akan mulai berpikir untuk kebahagiaanku dan juga Uwais. Aku tidak mau lagi mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Apalagi setelah mendengar semua dari Khadijah," jawabku lirih.

"Tapi semua belum tentu benar bukan?"

"Terlepas dari benar atau tidaknya ... yang jelas aku tetap akan kembali ke Jakarta. Karena sepertinya aku perlu berpikir ulang untuk melanjutkan pernikahanku dengan Ilham, atau justru mengakhirinya segera. Mungkin selama ini aku terlalu bodoh, menerima semua begitu saja ... hanya karena cinta yang terlalu dalam padanya. Hingga aku tak sadar, jika aku telah dibodohi oleh semua orang di sini."

Faruq terdiam.

"Aku ingin Uni tetap di sini, seperti yang kita bicarakan kemarin ...."

"Tidak, Yum!" potongku cepat. "Sudah, jangan bicarakan itu lagi!"

"Ada apa ini? Apa yang sudah kalian bicarakan kemarin?" tanya Faruq heran.

Aku dan Yumna saling pandang, tanpa berani menjawab pertanyaan pria itu.

"Kenapa kalian diam? Apa kalian menyembunyikan sesuatu dariku?" Faruq menatap kami bergantian.

"Aku meminta Uni Tania untuk mau menjadi maduku," jawab Yumna sambil menunduk.

Kulihat wajah Faruq amat sangat terkejut. Ia memandang istrinya yang tak berani mengangkat kepala. "Yumna," lirihnya dengan raut tak percaya.

"Aku serius, Mas." Yumna mengangkat kepala, mereka saling menatap.

Faruq menggeleng pelan. "Apa yang kamu lakukan?"

"Aku ...."

"Sudah waktunya aku berangkat," potongku mengakhiri drama ini. Aku bangkit, menghampiri Uwais yang masih asyik dengan mainannya. "Ayo, Nak, kita pergi!" ajakku seraya memasukkan mainan ke dalam tas miliknya.

"Kita mau ke mana sih, Bun?" tanya Uwais polos.

"Kita mau ke tempat Nenek, Sayang," jawabku sambil tersenyum.

"Ayah ikut?"

Aku tersentak. Sesuatu menyekat di tenggorokan. Aku memandang Faruq dan Yumna sejenak, lalu kembali menatap wajah pangeran kecilku. "Ayah banyak pekerjaan, insyaa Allah nanti Ayah nyusul, ya?"

"Bunda nggak bohong, kan?" Ah, mata bening itu meminta kepastian padaku.

Kuhela napas singkat. "Kita berangkat!" ucapku tanpa menjawab pertanyaannya. Dengan patuh, Uwais mengikutiku. Faruq membantu membawakan barang-barang ke luar dari gang sempit menuju jalan raya untuk menunggu mobil travel. Sementara Yumna duduk menunggu di teras, lelah katanya. Ia memelukku erat, dan menangis. Namun aku mencoba menghiburnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Kembalilah jika Uni berubah pikiran," bisiknya. Hanya kubalas dengan senyuman, dan melangkah meninggalkannya, menyusul faruq yang sudah duluan bersama Uwais.

"Seharusnya aku bisa mengantarmu, Tan," ujar Faruq sambil memandang ke ujung jalan.

"Terima kasih, Mas, tapi aku bisa sendiri."

Entah mengapa, wajah Faruq tampak gusar. Berulang kali kulihat dia mengusap wajah.

"Mas, kenapa?" tanyaku akhirnya.

MENCOBA SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang