TENTANG SEBUAH RASA

4.6K 195 8
                                    



"Bunda?"

Kami terkejut, spontan melepas pelukan saat mendengar suara serak Uwais menyapa.

Segera kudekati putraku. "Uwais ... kamu udah bangun Sayang?" tanyaku sedikit tergugup.

"Bunda sama siapa?" Uwais mengarahkan pandangan pada Ilham yang masih berdiri terpaku. Namun raut wajah pria itu terlihat tenang. Ia tersenyum pada Uwais.

"Ustaz?" celetuknya dengan pupil yang melebar. "Kok ustaz di sini?" Uwais mendekati Ilham. Aku tak tahu harus berbuat apa kali ini.

"Iya, Sayang. Ustaz ada perlu dengan bundamu," sahutnya santai. Lalu ia berjongkok, meraih tubuh Uwais dan menggendongnya.

"Kenapa memeluk Bundaku?"

Huft, pertanyaan Uwais membuat jantungku mau copot rasanya. Ilham dan aku saling pandang.

"Uwais, bunda dan ustaz hanya ...."

"Karena aku adalah suami bundamu, dan aku juga seorang Ayah," potong Ilham. Aku menatap tak suka pada pria itu. Jangan-jangan Ilham akan mengatakan semuanya pada Uwais.

"Suami? Ayah? Apa itu?" tanyanya polos.

Ilham tertawa renyah, lantas duduk di kursi sembari memangku Uwais. "Suami itu adalah lelaki yang menyayangi bundamu. Sedangkan Ayah adalah panutan bagi seorang anak lelaki sepertimu, dan menyayangimu sepenuh hati."

Uwais mengerutkan dahinya. Anak seusia Uwais takkan paham dengan penjelasan seperti itu. Aku pun ikut duduk berseberangan dengan mereka.

"Ayah sangat mencintai bunda, dan bunda juga sangat mencintai ayah." Ilham menatapku dengan senyuman penuh arti.

"Sudahlah, Uda. Uwais takkkan paham! Aku tak pernah bercerita tentang seorang ayah padanya."

" Suatu saat dia akan paham, ketika kita sudah kembali bersama," tampiknya.

Aku mendengkus. "Entah kapan itu akan terjadi," gumamku pelan.

"Tania ...." Wajahnya memelas. Aku terdiam.

Pandangan Ilham kembali pada Uwais. "Jadi ... Uwais boleh panggil ustaz dengan sebutan Ayah."

Aku tersentak. "Uda!" tegurku. "Uda bicara apa?"

Seolah tak peduli dengan perkataanku, Ilham terus saja bicara dengan Uwais. Sehingga aku tak tega lagi untuk menghalangi kedekatan mereka. Membiarkan dua lelaki kesayanganku berbicara apa saja. Aku bahagia melihat tawa Uwais yang begitu lepas. Karena tanpa disadari, bocah berusia lima tahun itu telah menemukan kasih sayang yang selama ini tak pernah ia rasakan.

"Uda, sudah hampir pukul sembilan!" Aku mengingatkan sambil menaruh secangkir teh hangat dan beberapa potong kue bolu.

Ilham melirik jam di pergelangan tangan. Ia menghela napas kecewa.

"Ayah mau pergi?" tanya Uwais begitu polosnya.

"Iya, Sayang. Ayah mau kembali ke pesantren dulu, banyak pekerjaan di sana." Ilham menggeser tubuh Uwais, sehingga ia kini duduk di sisi Ilham. Pria itu meraih cangkir teh, menyesapnya perlahan dan menaruhnya kembali. Lantas ia mengambil sepotong kue, lalu melahapnya dengan cepat. Sepertinya dia lapar. Aku tertawa dalam hati.

"Ayah nanti akan ke sini lagi kan?"

Lagi-lagi Ilham tersenyum, ia mengusap dan mengecup puncak kepala Uwais. "Insyaa Allah. Ayah pasti datang lagi."

"Pastikan kedatanganmu sekali lagi, membawa keputusan tepat untukku," ucapku penuh harap.

Matanya beralih memandangku, namun ia tak menimpali permintaan istrinya ini. Tangannya kembali meraih cangkir teh dan menghabiskan isinya.

MENCOBA SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang