HARUSKAH MENYERAH?

4.6K 209 7
                                    

Aku melangkah meninggalkan rumah Yumna sambil menggandeng Uwais. Ada perasaan tidak enak di hati, saat hendak pulang, Yumna kembali memintaku memikirkan tawarannya. Sungguh, itu hal yang mustahil bagiku. Aku selama ini tidak tahu kalau Faruq ...

"Tania? Sudah mau pulang?"

Langkahku tertahan saat berpapasan dengan Faruq di gerbang kompleks perumahan. Kucoba tersenyum sebiasa mungkin, walau hati rasanya sudah agak janggal setelah mendengar cerita Yumna. "Eh, iya, Mas. Aku mau pulang, Uwais juga udah ngantuk sepertinya," sahutku memberi alasan.

"Sudah makan siang?"

Duh, pertanyaan itu biasa, tapi kedengarannya agak berlebihan di telinga. Ge-er? Mungkin juga, tapi ... keterlaluan jika memang itu yang kurasakan!

"Sudah, Mas. Tadi bareng Yumna," jawabku sedikit gugup.

"Tania, kamu baik-baik saja?" Faruq mengerutkan dahi.

'Tidak baik sejak aku tahu kalau Mas pernah mencintaiku,' batinku menjawab, 'dan itu kudengar dari istrimu sendiri.'

"Tania!" Faruq mengibas tangan di depan wajahku.

Aku terkesiap dan langsung terlempar dari lamunan sesaat. "Eh, iya, aku ... aku izin pulang dulu ya, Mas. Assalaamu'alaykum!" Segera kutarik tangan Uwais dan berlalu begitu saja dari hadapan pria itu. Aku tidak mau tampak konyol di depannya. Lagian Yumna pake ngasih tahu segala, aku jadi sungkan sama Faruq. Lebih baik aku tidak tahu sama sekali, jadi semua pasti akan terlihat biasa.

"Wa'alaykumussalaam," jawab Faruq. "Tania, tunggu!" cegahnya, namun tak kuhiraukan. Aku terus saja melangkah meninggalkan tempat itu.

Begitu melewati sebuah ruangan gedung pesantren, tiba-tiba tanganku ada yang mencekal. Aku menoleh dan mataku terbelelak. "Ustazah?"

Wanita itu tersenyum dan mengangguk. "Jangan panggil aku dengan sebutan itu, aku tak pantas mendapat panggilan itu dari seorang wanita yang telah kurebut suaminya," lirihnya tajam.

Aku terkejut. "Ustazah?"

"Aku ingin bicara denganmu, bolehkan?" pintanya memelas.

Aku terdiam, menatap wajah cantik itu dengan tanda tanya besar. Kulirik Uwais yang juga tengah menatapku. "Bunda ngobrol sebentar sama ustazah, boleh?" tanyaku padanya.

Uwais menatapku dan Khadijah bergantian sebelum akhirnya mengangguk.

"Kita bicara di dalam saja, ayo silahkan masuk!" Khadijah masuk dan aku mengiringi. Wanita itu menutup pintu dan menguncinya. Kemudian kami duduk berseberangan di kursi tamu. Sedangkan Uwais duduk di sampingku.

Suasana hening. Khadijah pun masih bergeming, ia menundukkan kepala.

"Maaf, ustazah, mau bicara apa? Apakah penting?" tanyaku penasaran.

Terlihat ia menghela napas panjang, sepertinya ia menyimpan kesedihan yang teramat sangat. Bisa kulihat dari gurat wajahnya.

"Tania ... aku ... aku minta maaf," ucapnya begitu pelan. Satu persatu butiran bening meluncur di pipi putihnya. "Maafkan jika aku baru menyadari dan baru mengetahui bahwa ... bahwa kamu ... kamu adalah istri pertama Ilham."

Aku terbelalak. Dari mana dia tahu?

"Maafkan atas keegoisanku!" tangisnya pecah, bahunya berguncang hebat.

"Ustazah, ada apa ini?" tanyaku tak paham.

"Berhenti memanggilku ustazah, aku tak pantas kamu panggil seperti itu. Panggil saja aku Khadijah, seperti namaku," sanggahnya dalam tangis, dan aku semakin tak paham situasi ini.

MENCOBA SETIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang