Nasehat Keliru yang sering Diterima Penulis

158 17 10
                                    

Tidak semua nasehat tentang kepenulisan yang kalian dengar adalah nasehat yang bagus.  Terkadang beberapa nasehat malah menjerumuskan penulis pada kekeliruan.

Bukannya membaik, novel kita malah terlihat tidak profesional.  Berikut adalah beberapa nasehat keliru yang sering didengar penulis.

***

1. "Teknik Show Selalu lebih baik daripada Teknik Tell."

Biasanya penulis terlalu mendewakan teknik show sampai-sampai anti banget menggunakan teknik tell.  Padahal Tell sama pentingnya dengan Show.

Keduanya punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.  Jika teknik show menonjolkan "rasa" dalam narasi, teknik tell digunakan jika narasi sudah terlalu banyak bertele-tele.

Penulis harus ingat satu hal.  Show memang metode yang lebih baik dan lebih banyak disarankan.  Namun bukan berarti kalian menjadikan teknik Tell sebagai musuh bebuyutan.

2. "Genre Romance "Harus" Happy Ending."

Seseorang pernah bilang padaku kalau genre Romance harus, kudu, mesti, wajib happy ending.

Seseorang pernah bilang padaku kalau genre Romance harus, kudu, mesti, wajib happy ending

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Menurutku itu sangat keliru.  Genre Romance itu terbagi menjadi beberapa sub genre lagi, seperti dark romance, historical romance, religious romance, tragic romance, dan banyak lagi.  Rasanya tidak mungkin kalau semuanya harus Happy Ending.

Lagipula arti dari genre romance itu sendiri apa sih?  Kisah tentang sepasang manusia yang saling mencintai, kan?  Itu intinya, kan?  Terus bagaimana kalau musibah terjadi, atau sesuatu yang buruk terjadi pada pemeran utama sampai akhirnya dia mati?  Apakah itu membuat genre tersebut tidak romance lagi?

Lalu bagaimana dengan pengelompokan ending, seperti sad ending, happy ending, cliff-hanger ending, DLL?  Apa hanya karena kisah romantis tersebut tidak berakhir bahagia, otomatis kisah itu bukan kisah romantis lagi?

Jadi ... aku rasa nasehat itu kurang bisa diterima, kalau melihat banyaknya literasi romansa dengan ending beraneka rupa dan bukannya happy ending saja.

3. "Mempersingkat kata membuat kalimat lebih baik."

Nasehat ini banyak diterima penulis baru, termasuk aku saat pertama terjun ke dunia kepenulisan.  Sebenarnya ini saran yang baik, supaya tidak terjadi pengulangan kata, atau kalimat yang bertele-tele.

Namun, sebagian penulis keterlaluan memangkas kalimatnya, dan malah mengubah arti dari kalimat itu sendiri.

Contoh, ada sebuah kalimat :

Aku berbalik membelakangi gadis itu, kesal dengan sifatnya yang tidak pernah mau tahu.

Agar singkat, penulis mengubahnya menjadi :

Aku balik membelakangi, kesal dengan sifat yang tidak mau tahu.

Tentu saja kalimat yang lebih singkat malah jadi rancu.  Membelakangi apa?  Kesal dengan sifat siapa?  Aku lupa apa sebutan materi ini di pelajaran Bahasa Indonesia.  Kayaknya tentang SPOK

Di mana sebuah kalimat harus mengandung. Subjek, Predikat, Objek, dan Keterangan.  Buatlah kalimat sesingkat mungkin, tapi perhatikan juga SPOK-nya.  Jangan sampai kalimat malah jadi rancu.

4. "Deskripsi tokoh gak perlu terlalu detail.  Setiap kepala kan beda-beda."

Nah, ini nasehat paling malas yang pernah kuterima saat awal-awal menulis.  Bahkan beberapa penulis yang berpedoman pada nasehat ini lebih memilih menggunakan ilustrasi gambar atau foto daripada mendeskripsikan rupa tokohnya.

Bukan berarti itu salah, tapi bukankah kelebihan penulis itu, bisa menggambarkan sesuatu dalam bentuk tulisan?  Kalau ternyata seorang penulis malah malas menggambarkan sesuatu lewat tulisan ... kelebihannya apa lagi, dong?

Setiap kepala memang berbeda, tapi setidaknya beri gambaran seperti apa pembaca harus membayangkan tokoh cerita kita di dalam kepalanya. Jabarkan warna matanya, warna kulit, bentuk hidung, postur badan, DLL.

Barulah kita serahkan kepada pembaca untuk membayangkan sendiri, seperti apa tokoh tersebut di dalam kepalanya.  Jangan membiarkan mereka "buta" apa lagi memaksa membayangkan orang yang sama lewat sebuah foto.

5. "Jelaskan kepada pembaca hal sekecil apapun."

Satu hal yang harus penulis ingat adalah :  menjadi penulis tidak lantas menjadikan kalian seorang guru.  Pembaca kalian bukan murid-murid kalian.  Kalian tidak perlu menjelaskan hal-hal kecil yang tidak perlu lagi dijelaskan.

Contoh kecil :

"Masa sih?" tanya si anu tidak percaya.

"Iya beneran, yakin deh sama gue!" jawab si anu meyakinkan.

"Emang dia itu siapa, sih?" tanya si anu tak ingat.

Ayolaaaaah ... kita tahu di dialog pertama si anu bertanya tidak percaya!  Kita tahu di dialog kedua si anu sedang meyakinkan!  Kita tahu di dialog ketiga si anu sedang tidak ingat!

Penulis tidak harus menjelaskan sesuatu yang sudah tidak perlu lagi penjelasan.  Pembaca tidak bodoh, pembaca bisa menalar sendiri apa yang sedang terjadi, tanpa harus dituntun-tuntun seperti bocah 3 tahun.

_______________________________

Nasehat biasanya diberikan oleh orang yang lebih "ahli".  Tapi perlu diingat "orang ahli" juga manusia, yang tidak selalu benar.  Jangan langsung menelan mentah-mentah sebuah nasehat.  Bahkan dari seorang "guru".

Mungkin segitu saja info yang bisa kuberikan hari ini.  Kalian bisa ikut komen nasehat keliru apa yang pernah kalian dapatkan dari penulis lain.

Daaaann....jangan lupa mampir ke cerpen-cerpen anggota STF, karena di sana ada banyak cerita seru.  Sekian dan terima gajih.

Sampai jumpa lagi ^o^/

***

All About WritingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang