3. Dibawah Naungan Hujan

28 5 0
                                    

"Yang penting itu kita seneng seneng dulu. Ngabisin moment yang kita sendiri gak tau bisa ngulanginya lagi atau enggak"
-Sopia-

Ren...ren...ren...ren...Kira kira seperti itu bunyi yang ditimbulkan dari sebuah motor Jupiter Z1 yang kini sedang melaju dengan kecepatan sedang, dengan Amsan sebagai pengendalinya. Sedang Sopia hanya penumpang yang menikmati kesempatan bahagia itu dengan cuma cuma. Kendaraan roda dua itu kini tengah mengarungi jalan Candan, dibawah naungan langit yang kini mendadak mendung. Urusan luka lebam yang tadi menghambat Sopia untuk pergi ke sekolah itu tak lagi terpikirkan. Yang ada hanya Amsan, Amsan, dan Amsan. Kini sosoknya nyata. Nyaris didepan organ tubuhnya yang hanya di halangi jarak setengah jengkal. Mata dan hatinya kini mulai memperdayai pikiran dan tangannya agar mau memeluk erat makhluk hidup yang ada didepannya saat ini. Tapi Sopia mampu menepis keinginan bodoh itu dengan menyatakan bahwa dirinya adalah orang baru dalam kehidupan Amsan.

Hening sempat tercipta diantara mereka. Keduanya saling bungkam, suasana tak secair saat dirumah Amsan tadi.
Mungkin Amsan ingin fokus mengendalikan motornya. Mungkin Amsan sedang ada masalah. Mungkin Amsan sedang tak mau diganggu. Mungkin Amsan bosan.
Mungkin.
Mungkin.
Dan mungkin.
Hanya kata 'mungkin' yang kini menyelimuti benak Sopia.

Seakan tak mau membuang sia sia waktu indahnya bersama Amsan, Sopia angkat bicara, menanyakan sesuatu yang sebenarnya ia sendiri tak terlalu membutuhkan jawabannya.
"Lo kelas berapa?
"Kelas 11. Udah...gak usah pakek Lo gue, aku kamu aja" Pinta Amsan berusaha mengubah cara pandang keduanya. Nampaknya ia ingin hubungan mereka lebih dari sekedar kenal.

Sopia tersenyum tipis, Amsan tak menyadari hal itu terjadi.
Sopia menyetujui permintaan Amsan dengan mengatakan "Ok" Karena memang itu yang ia harapkan sejak dirumah tadi. Tapi apa daya, ia hanya perempuan yang jika menyatakan lebih dulu pasti akan malu.

"Kalau kamu? Tanya Amsan lagi.
Sopia termenung. Ia tak begitu menyimak pembicaraan yang kini tengah berlangsung diantara keduanya. Merasa Amsan mulai nyaman dengannya, yang ada dipikirannya saat ini hanya bagaimana ia bisa melingkarkan kedua tangannya keperut laki laki yang kini bersamanya.
"Gimana tadi, kelas berapa?" Tanya Amsan ulang, membuat lamunan Sopia buyar seketika
"Apa" tanyanya bingung.
"Kamu kelas berapa...? Masak satu pertanyaan butuh 3 pengulangan?" Ledek Amsan seraya mengarahkan iris matanya kebelakang. Tapi tentu benda itu tak sanggup melihat arah sasarannya. Hanya sampai samping saja.
"Oh...Sama"
"Kelas 11?"
"Iya. Kamu jurusan?"
"IPA"
Sopia bergumam singkat.
"Kamu?"
"Sama"
"Jadi aneh. Kok semua sama. Jangan jangan jodoh lagi" celetuk Amsan berusaha menggombal dengan gaya lama. Tapi usahanya tak sepenuhnya berhasil. Ia tak mendengar ada suara sedikitpun yang keluar dari mulut Sopia. Sedang Sopia hanya terpaku mendengar gombalan yang dilontarkan kepadanya. Kedua bibirnya membentuk lengkungan senyum. Pipinya pun ikut memerah.

Tapi itu hanya sekejap. Tiba tiba Sopia mengerutkan wajahnya, sedih. Ia kembali teringat akan masa lalunya, berkendara motor berdua yang tujuannya hanya sekedar jalan jalan. Saat itu ia ingat betul, laki laki yang mengisi hidupnya dulu mengajak kesebuah tempat makan baru yang ia bilang enak. Tapi Sopia tak mau ambil pusing, kini ia tersenyum kembali, dan berusaha bersyukur pada keadaan. Akhirnya ia temukan lagi sosok yang baik, sosok yang perhatian, dan sosok yang bijak. Pengganti dari pujaan hatinya dahulu ketika masih duduk di bangku kelas 10. Angga. Sopia kini menemukan kembali sosok Angga. Angga yang perhatian, Angga yang bijak, dan Angga yang tak suka dengan hal yang berkaitan dengan kejahatan. Bedanya Angga lebih pandai membuatnya tertawa dari hal yang sepele.

"Ah. Kenapa gue jadi inget Angga sih. Dia kan udah lama gak ada. Ini tuh kesempatan Lo buat Deket sama Amsan, Sopia. Ngapain mikirin Angga." Batin Sopia yang ditujukan ke dirinya sendiri.

Triangga Ananda Putra namanya. Laki laki yang duahulu sempat menjadi alasan bagi seorang Sopia untuk bangun pagi pagi hanya untuk memastikan bahwa ia benar benar sekolah. Angga adalah jenis cowok yang tak suka dengan hal hal yang berbau tegang. Ia seperti panas yang selalu ada saat suasana membeku. Dan air ketika suasana mulai memanas. Apapun bentuk permasalahan Dimata orang, ia akan tetap memandang itu sebagai hal yang tak perlu diambil pusing. Baginya permasalahan itu perlu diselesaikan. Bukan dimasalahkan. Dikelas 10, Angga dan Sopia memang satu kelas. Mereka sangat dekat. Kedekatan itulah yang membuat Sopia dikuasai harapan untuk selalu merasakan hangatnya senyum dan perhatian akan sosok angga. Tapi keduanya tak kunjung memiliki hubungan yang serius.
Soal rasa?
Sopia memendamnya dalam dalam. Tak ada keberanian sedikitpun darinya untuk mengungkapkan. Begitupun Angga. Tak ada kata yang menyatakan bahwa ia mencintai Sopia.

MetaforanggaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang