Buku kehidupan yang sebenarnya adalah rangkuman yang tidak ada daftar kata MENYERAH.
Kreeekkk....
pintu kamar Sopia terbuka dengan pelan.
Seorang ibu berjilbab dengan seragam dinas masuk dan menatap gadis itu dengan wajah lelah. Namun yang dilihatnya tak seperti yang diinginkan. Ia mendapati anaknya itu Tengah tidur dengan posisi telungkup sedang telinganya tercantol headset yang suaranya tak bisa ia dengar. Ibu itu adalah ibu Sopia. Namanya Siska. Teman kantornya sering memanggil dengan sebutan Buk Siska.
Wanita yang usianya kira kira 30 tahun-an itu kini berjalan maju, lalu melepas hijab yang ia kenakan dan menaruh benda itu di atas meja belajar Sopia, yang sebelumnya ia rapikan terlebih dahulu, sebab beberapa buku tercecer dan tak beraturan, sehingga siapapun yang melihatnya pasti menyimpulkan bahwa pemiliknya itu pemalas.
"Sopia...bangun!"
Pekik ibu itu dengan lantang seperti suara ABRI yang tengah latihan di bawah matahari.Tak tahu kenapa suara wanita itu bisa semelengking suling, tapi tak ada ciptaan yang tuhan ciptakan dengan sia sia. Mungkin, suara itu anugrah, supaya anaknya yang pemalas dapat mendengar nasehat sang ibu, karena jika suara orang tua perempuan itu pelan, tak sedikit dari anak akan menganggap itu sebagai hal yang sepele.
Satu lagi kebiasaan buruk Sopia, ia pemalas dalam mengerjakan pekerjaan rumah. Seperti menyapu, masak, atau sejenisnya. Yang ia lakukan setelah pulang sekolah hanya dua. Antara tidur, jalan jalan bersama teman temannya, atau dengan Angga jika itu tempo dulu. Masalah tugas sekolah?
Itu selalu ia kerjakan malam.
Meski Sopia termasuk orang malas dalam pekerjaan rumahnya, tapi masalah tugas sekolah, ia selalu siap paling dulu, yang setiap malam selalu ia poto untuk di share ke teman temannya yang tidak mengerti, tanpa ada rasa paksaan sedikitpun.
Maka, manakala gadis itu ditanya apa cita citanya, ia pasti menjawab 'guru'.Dan sekarang, ia sedang melakukan kegiatan rutinnya, yaitu bermalas malasan dengan kasur. Padahal yang ia tahu, kasur bukan orang tua yang dapat memanjakannya. Hanya saja kasur memiliki gaya gravitasi lebih dari 10 m/s, hingga membuat siapa saja manusia pemalas akan tertarik hebat ke atasnya.
Siska lalu membuka headset yang melekat di alat pendengar kiri anaknya.
"Pia...!!" kali ini suara yang melengking itu mendarat tepat ditelinga Sopia, suara itu kini lebih terdengar mengejutkan, membuat anak perempuan yang sedang asyik tidur itu merasa terganggu, dan dengan refleks, ia melihat ke arah sumber suara. Matanya masih bersama dengan sayup sayup."Ya allah... Itu muka apa adonan, campur gitu." celetuk Ibu itu dengan wajah panik. Lalu ia duduk di samping tempat anaknya berbaring. Tangannya memegang dahi anak semata wayangnya dengan mata yang mencari cari luka lain di sekitar area wajah anaknya. Barangkali masih banyak.
"Eehhh....mmm... Alay ah buk. I am okey. Don't worry." balas Sopia dengan suara yang masih serak karena baru bangun dari tidurnya.
Siska melepas pegangan tangannya dengan cepat.
"Ini orang tua khawatir malah dibilang alay. Pakek sok sok an bahas inggris segala lagi. Bener ya, anak jaman sekarang gaje semua. Gak ada bener nya. Di tanyain malah dikatain alay. Giliran gak ditanya bilangnya
'ah... Mamak aku nggak peduli lagi sama aku'" ujar Bu Siska menirukan gaya ngomong orang dengan wajah yang ia perjelek.
"Sekarang cerita sama ibu, kenapa?"
Sopia mendengus risih. Matanya kini kehilangan kantuk. Ia yakin jika ia ceritakan dengan jujur, pasti ia akan diomel omel sampai babak kedua. Maka, ia berusaha menutupi kebenaran. Jalan satu satunya ya, bohong.
"Itu... Tadi jatuh di tangga sekolah pas lagi mau ke kantin. Udah ah.. Males deh bahas yang gak penting. Mending ganti topik aja. Ehm....Ibu tadi gimana kerjanya, lancar?" tanya Sopia dengan senyum yang dibuat buat.
"Sejak kapan kamu peduli sama kerjaan ibu? Udah... Gak usah ngalihin pembicaraan. Sekarang jujur! Kenapa? Gak mungkin jatuh lukanya dimana mana gitu."
"Emang iya... Tangga itu kan bergerigi kan... Nah...pas jatuh, Sop tuh kena gerigi geriginya itu, lho."
Bu Siska tersenyum masam. Ia tak punya cukup alasan untuk percaya begitu saja pada anaknya.
Sungguh tak percaya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metaforangga
Novela JuvenilSopia jera menaruh harapan pada seseorang, karena pada dasarnya manusia itu hanya mengikuti skenario tuhan, bukan keinginannya. Ia tidak menyalahkan tuhan. Sama sekali tidak. Justru dalam hal ini, ia yang sepenuhnya salah. Karena terlalu berharap de...