-Sopia jera menaruh harapan pada seseorang, karena pada dasarnya manusia itu hanya mengikuti skenario tuhan, bukan keinginannya. Ia tidak menyalahkan tuhan. Sama sekali tidak. Justru dalam hal ini, ia yang sepenuhnya salah. Karena terlalu berharap dengan yang namanya manusia. Padahal semua sama sama tahu jika manusia itu cuma makhluk tuhan yang penuh kekurangan. Apa pantas, makhluk seperti itu di gendongi oleh harapan yang terlalu besar?-**********
Amsan membuka matanya yang masih dipenuhi kantuk. Semua karena suara ketukan pintu yang ia dengar berkali kali. Laki laki itu bangkit dari tidurnya lalu menuju pintu, mencari tahu siapa sumber dari bunyi ketukan itu.
Pintu terbuka, sepasang mata Amsan membelalak girang mendapati Bibi yang kini ia rindukan datang. Karena sudah 9 tahun terakhir, Amsan tak kunjung pernah bertemu dengannya. Bibi itu membawa seorang anak gadis yang tak lain adalah Lisma.
"Ya ampun Bi Kia. Apa kabar?" Amsan berbasa basi dengan senyum yang mengembang.
"Baek... Kau cak mano?" balas Bi Kia.
"Baik, Bi. Baik. Hem... Ini pasti Lisma." tebak Amsan menoleh kearah Lisma.
"Ya dong. Cak mano kabar kau, San?" jawab Lisma.
"Kan tadi udah di bilang, baik."
"Ha?"
Bi Kia meringis.
"Maklumin bae, San. Ni anak memang cak ni. Agak gesrek dikit kupingnyo."Amsan tertawa keras.
"Oh iyo. Kau dah besak yo sekarang"
"Ya iya lah, Bi. Kan makan nasi" ledek Amsan.
"Oh. Iya, masuk Bi. Sangking girang nya sampe Lupa nawarin masuk"
"Ayah...sini deh. Ada kejutan." teriak Amsan dari dalam rumah.
"Siapa?" jawab Ayahnya dengan suara keras pula.
"Sini aja deh pokok nya"
Suara samar samar langkah pak Oding mendekat terdengar oleh semuanya.
"Ya ampun Riskia...Kapan datang nya?" tanya Pak Oding dengan senyum mewah sembari menjabat tangan.
"La beberapo hari lalu.. Nak ke tempat kau dari kemarin dak tau alamat nyo. Untung ado kawan Lisma ni ha yang tahu."
"Lisma... Jadi yang murid baru di kelas itu anak mu? Aku gak tau... Pantesan mirip, mau nanya juga kayak gimana gitu.. Hahahh"
Riskia ikut terbawa arus tawa nya Pak Oding. Lalu menoleh ke anak nya.
"Kawan kau mano?"
Lisma celingak celinguk mencari keberadaan Sopia. Tapi anak itu tak kunjung ditemukan.
"Tadi ada kok." Lisma segera keluar pintu dan mendapati Sopia yang tengah duduk di kursi depan dengan wajah yang sedikit canggung.
"Kau ngapo?"
Sopia terkaget kan oleh suara itu. Ia lantas menoleh.
"Bisa tolong panggilin Amsan?"
"Kenapo?"
"Ada deh"
Lisma tersenyum getir.
"Amsan... Ado kawan aku yang nak jumpo kau ni ha" teriak Lisma.
"Siapa?" balas Amsan.
"Dah.. Sini bae."
Amsan melangkahkan kaki dengan penasaran.
"Sopia?"
Sopia tersenyum canggung.
"Aku masuk dulu yo" ujar Lisma seraya meninggalkan Amsan dan Sopia masuk.
"Kamu ngapain ke sini?" tanya Amsan hangat.
Tiba tiba Sopia bergelitir dan mendadak gugup. Ia menggigit bibir bawahnya dan menunduk.
"Hah?" tegur Amsan mengagetkan Sopia.
"Hah? Apa?" ucap Sopia.
Wajah Amsan benar benar penuh keheranan. Tingkah Sopia kali ini benar benar menggelikan.
Sopia menarik napas panjang dan menoleh menatap wajah Amsan yang manis.
"Aku mau minta maaf"
"Buat?"
"Buat semuanya."
"Hah?"
"Aku tahu aku salah. Pas kita jalan bareng kemarin aku udah buat momen kita jadi hancur. Padahal aku tahu seberapa besar usaha kamu buat bikin aku bahagia. Kamu udah capek capek ngajak aku ke danau hijau, udah gitu bensin mobil kita juga gak patungan lagi"
"Hahahaha... Ya kali mau ajak jalan cewek beli bensin aja patungan."
Sebenarnya apa yang di guraukan Amsan itu ada benarnya juga. Tapi ia buru buru menepis itu. Karena dulu, ia pernah pulang sekolah bersama Angga kehabisan bensin dan tanpa ada rasa tidak enak sedikitpun, Angga meminta Sopia untuk ikut patungan mengisi Tanki motor nya itu.Itu romantis.
Benar benar romantis
"Amsan.. Aku serius..." Sopia memajang wajah tulusnya.
Amsan menatap lensa mata Sopia lekat. Gadis itu kali ini ikut terhanyut dalam suasana. Mereka saling tatap dengan rasa yang tak wajar jika hanya di sebut sebatas teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Metaforangga
Ficção AdolescenteSopia jera menaruh harapan pada seseorang, karena pada dasarnya manusia itu hanya mengikuti skenario tuhan, bukan keinginannya. Ia tidak menyalahkan tuhan. Sama sekali tidak. Justru dalam hal ini, ia yang sepenuhnya salah. Karena terlalu berharap de...