"Jidan ... ada yang nyari tuh!" tegur Paman Liam, pemilik restaurant tempat Jidan bekerja.Jidan yang tengah sibuk mencuci piring, segera menoleh dengan raut bingung. Siapa yang mencarinya? Seingatnya dia tidak punya teman selain rekan seasramanya.
"Saudara kamu, yang sering bawa bola basket itu," perjelas Paman Liam membuat Jidan langsung tahu.
Dia memang tidak punya sahabat lain selain mereka, apalagi saudara. Jadi, yang mencarinya pasti salah satu di antara mereka berenam. Orang yang selalu Paman Liam sebut saudara Jidan, meski bukan.
"Sana gih! Piring kotornya biar Paman yang bersihin, tinggal dikit itu." Paman Liam mendorong Jidan menjauh kemudian mengambil alih pekerjaan pemuda itu.
Jidan meringis tidak enak hati. Dia terlalu sering memotong waktu bekerjanya, bahkan sering mengambil cuti. Sekarang, pekerjaannya juga harus dibantu sang bos.
"Nggak pa-pa, Paman? Aku nggak enak loh," gumam Jidan sambil menggaruk tengkuk kikuk.
Paman Liam terkekeh dan mengusap rambut bocah jangkung itu. "Nggak pa-pa, udah sana kasihan temen kamu nungguin!" usir Paman Liam cepat.
Meski berat hati, Jidan segera melepas apron dan pamit pergi. Begitu keluar dari dapur restaurant, Jidan mendapati Cello tengah duduk suntuk di meja dekat jendela.
"Woi, sini!" panggil Cello girang begitu melihat kehadiran Jidan.
Jidan menunduk sedikit malu, karena panggilan keras Cello membuat semua pengunjung restaurant melihat ke arahnya.
"Lo kenapa ke sini? Gue kan lagi kerja, nggak enak sama Paman Liam." Jidan mengomel begitu duduk di hadapan Cello.
"Yeuu ... Paman Liam aja nggak marah. Gue cuma mau ajak lo nonton bioskop, film horror yang lo omongin kemarin udah rilis hari ini." Pemuda berdarah China itu bercerita heboh.
"Wah ... ayo deh nonton!" ajak Jidan tak kalah semangat.
Setelah pamit pada Paman Liam, mereka segera pergi dengan mobil Cello. Seperti biasa, Jidan tidak perlu khawatir soal apa pun jika pergi dengan 'anak sultan' itu.
Semua makanan, tiket, bahkan transportasi pasti ditanggung oleh Cello. Jidan juga paling akrab dengan pemuda kelahiran Sanghai tersebut, karena hanya Cello lah yang umurnya paling dekat dengannya di asrama.
Mereka hanya terpaut satu tahun. Di asrama, Jidan lah yang paling muda, karena dia masuk sekolah terlalu cepat, dan sempat loncat kelas saat SMP. Jadi, usianya 2 tahun lebih muda dari murid SMA kelas 2 pada umumnya.
Sedangkan Cello, masuk sekolah setahun lebih awal karena tidak punya teman bermain. Jadi, dia ikut sekolah meski sekedar untuk main-main. Siapa sangka Cello malah juara 2 kelas, alhasil dia terpaksa naik kelas.
"Gue heran deh, Cel. Kok gue nggak dipecat-pecat ya, sama Paman Liam?" tanya Jidan bingung selama di perjalanan.
"Lah, emang lo mau dipecat?" tanya Cello balik.
"Ya enggak lah! Tapi ... lo tau kan gue gimana? Masak nggak bisa, sering ngerusakin barang juga. Nggak tau deh udah berapa gelas sama piring yang gue pecahin di sana, tapi dia nggak pernah marah atau pecat gue! Apa masuk akal gitu?!" sahut Jidan menggebu-gebu.
Cello terkekeh sambil mengangguk. Membenarkan ucapan Jidan. Dia tahu alasannya, tapi tidak herani memberi tahu bocah polos ini.
"Ntar gue minta Paman Liam pecat lo deh," gurau Cello yang langsung mendapat pelototan.
"Ya jangan lah, bego!" maki Jidan sebal.
***
"Bang Bang Bang!" Nael membuka mata begitu panggilan heboh Jidan tertangkap telinganya.
KAMU SEDANG MEMBACA
7llin' in Our Youth
Teen FictionDi asrama Neo High School, Nael tinggal bersama 6 makhluk ajaib. Matheo si bule Kanada yang belum lancar berbahasa Indonesia. Renjana si cowok keturunan China yang hampir setiap saat mengomel. Harsa si bocah tengil yang hampir setiap hari menjadik...