"Baru balik, Bang?" Cello bertanya basa-basi.
Renjana yang baru menutup pintu asrama, hanya melirik sinis sambil meletakkan kresek di tangannya. Kresek berisi berbagai perintilan alat dan bahan melukis yang ia bawa dari ruang seni.
"Orang China kalau disapa emang sombong-sombong, ya?" gumam Cello menyindir begitu tidak mendapat sahutan.
"Lo juga orang China ya, kambing!" maki Renjana sensi yang justru dibalas tawa geli Cello.
Seperti perasaan senang Harsa saat mengganggu Nael, begitu pula yang Cello rasakan saat memancing emosi si Adipati 'Sensi' Renjana.
"Yang lain kok belum pulang? Mereka lupa besok senin kah? Mentang-mentang rumah emak-bapaknya masih satu pulau, balik kampung mulu anjirrr!" omel lelaki bertubuh paling mungil itu lagi begitu selesai membersihkan diri dan bergabung bersama Cello di ruang tengah.
"Bilang aja lo iri, Bang. Di sini cuma lo yang pulang kampung enam bulan atau setahun sekali," ledek Cello masih fokus dengan game di ponselnya.
Renjana mendengkus sambil menyalakan televisi. "Lo juga dari Sanghai ya, opet! Nggak usah ngeledek gue deh," cerca Renjana sebal.
"Lah, nggak pa-pa. Yang penting Mama gue nyusul ke Indo," sahut Cello yang akhirnya membuat Renjana terdiam.
Benar juga. Mama Zhao---ibu Cello, bahkan membeli komplek perumahan elit di daerah kelapa gading. Hanya agar perempuan itu bisa lebih dekat dengan putranya yang bersekolah di kampung halaman sang ayah---Indonesia.
Beberapa saat setelah Cello dan Renjana duduk di ruang tengah, Jean dan Nael pulang, disusul Harsa dan Matheo yang tadi sore pamit untuk potong rambut, tapi malah kembali dengan menggendong dua buah semangka.
"Bang ... lo nggak bosen makan semangka tiap hari? Perasaan lo darah rendah deh," komentar Cello tidak habis pikir.
Matheo hanya menyengir tanpa dosa sambil menggeleng. "Watermelon for life, bruh!" Cowok itu mendramatisir.
Setelah semua membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka berkumpul di ruang tengah lagi dan makan semangka bersama. Semangka kuning yang sedang dipuja-puja Matheo setengah mati, karena katanya lebih enak dari semangka merah.
Sekalinya berpaling dari semangka, bule Kanada itu berpaling ke semangka juga. Hanya saja, sedikit berbeda warna dan rasa.
"Jidan kok belum balik?" tanya Nael entah keberapa kali setelah dia kembali ke asrama.
"Udah dibilang, Jidan masih kerja njir! Dia di pasar malem jadi penjaga wahana mandi bola," jawab Renjana muak. Mungkin, dia sudah menjelaskan ini 5 kali.
"Oh iya, gue lupa. Soalnya kepikiran, tuh anak hari libur bukannya istirahat malah nambah kerjaan." Nael cemberut, cowok itu bahkan hanya makan semangka sepotong.
Sebucin itu Nael pada Jidan.
"Lo sadar diri juga lah, woi! Hari libur malah kerja rodi keliling Indonesia, bukannya pulang ke rumah." Harsa menyindir yang diangguki lainnya setuju.
Nael selalu mengkhawatirkan Jidan yang bekerja setiap saat. Tapi, pemuda itu tidak sadar dia juga lebih parah. Selain punya kafe 'kecil-kecilan' yang ia rintis sendiri, cowok itu juga menghabiskan waktu liburnya untuk kegiatan relawan. Mungkin, Nael bahkan sudah mengunjungi seluruh panti asuhan dan tempat pembuangan sampah sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Seperti kedua orangtuanya, Nael begitu mencintai kegiatan relawan.
"Apa gue susul Jidan ke pasar malem aja, ya?" tanya Nael meminta saran.
"Ya jangan, goblok! Lo nggak capek emang?" tanya Renjana tidak habis pikir.
"Enggak terlalu sih, tadi udah mampir istirahat di rumah Bunda dulu kok." Nael menjawab jujur.
KAMU SEDANG MEMBACA
7llin' in Our Youth
Fiksi RemajaDi asrama Neo High School, Nael tinggal bersama 6 makhluk ajaib. Matheo si bule Kanada yang belum lancar berbahasa Indonesia. Renjana si cowok keturunan China yang hampir setiap saat mengomel. Harsa si bocah tengil yang hampir setiap hari menjadik...