Minho melakukan aktivitas hariannya yaitu menjenguk ibu Kim. Berhubung sudah ada Hyunjin yang menemani wanita paruh baya itu, Minho berangkat pagi berharap tidak bertemu gadis itu.
Jujur saja, dia masih segan untuk bertemu Kim Hyunjin. Rasa bersalahnya terlalu tinggi.
Minho meletakkan buket bunga yang baru saja dia beli berniat mengganti bunga yang telah layu itu dengan bunga baru.
"Minho ssi-" sebuah panggilan mengurungkan niat pemuda berseragam itu mengganti air dari vas bunga yang telah kotor.
"Aku ingin bicara," Kim Hyunjin baru saja masuk ke dalam ruang ibu Kim.
Minho mengikuti langkah kaki Kim Hyunjin yang mengarah ke taman rumah sakit.
Mereka duduk berdampingan, duduk dengan jarak jauh, Minho sungan untuk mendekat.
"Langsung saja ya Minho ssi-" Hyunjin memulai pembicaraan tanpa menatap Minho.
"Memang sulit memaafkan seseorang itu. Tapi aku sebagai seorang manusia tidak tega melihatmu seperti ini, melihatmu terus merasa bersalah padahal aku baik-baik saja."
Hyunjin mulai berbicara dan Minho mendengarkan.
"Ibu juga pernah bilang jika kita harus memaafkan sesama manusia, jangan pernah dendam pada orang lain," tambah Hyunjin. Minho masih setia diam.
"Melihat papaku yang mau merawatku ketika aku sakit membuatku sadar, memaafkan itu perlu. Papa sadar jika beliau harus menebus kesalahannya terhadap ibu yang telah membesarkanku, ibu tak pernah membenci papa dan selalu memaafkan."
Kim Hyunjin menunduk, Minho melihat perempuan di sampingnya hampir menjatuhkam air mata. Dia pun juga.
"Dan juga dokter Han telah menyadarkanku. Aku tak seharusnya membencimu. Tujuh tahun sudah cukup untukmu menderita, kejar kebahagiaanmu Minho ssi. Buang rasa bersalahmu. Aku masih di sini hidup. Ibuku pula," Hyunjin mendongak dan menatap Minho yang kini berbalik menatapnya. Perempuan itu mengulurkan tangan kanannya bertujuan untul bersalaman dan mendobrak dinding dendamnya.
Minho ragu ingin membalas tapi ini adalah sebuah balasan atas rasa bersalahnya selama ini.
Akhirnya mereka bersalaman.
Di akhir Kim Hyunjin tersenyum.
"Terima kasih-" ucap Kim Hyunjin.
Minho mematung.
"Terima kasih telah merawat ibuku selama aku tak ada," lirih gadis itu tulus. Walau bagaimana pun juga, pemuda di sampingnya ini telah mengeluarkan segala cara untuk membuat ibunya ㅡyang tak ada sangkutpautnya dengan Minho bertahan hidup.
"Aku telah memaafkanmu jadi berhentilah menyalahkan diri sendiri dan mulailah hidup berwarnamu," Hyunjin tersenyum tulus.
"Ayo semangat Lee Minho ssi!!!"
***
"Hei, apa ini Lee Minho seniorku?" Rekan Minho berbicara melihat senyum Minho hari ini.
Minho memang banyak tersenyum sepulang berbicara dengan Kim Hyunjin tadi.
"Senyummu berbeda, terus tersenyum seperti ini senior!" Rekan lain Minho berucap.
Mereka saling mengobrol, Minho pun terkadang ikut menanggapi obrolan mereka.
"Perhatian perhatian!! Ada kebakaran hebat di daerah Nowon dong. Harap seluruh petugas meluncur ke tkp,"
Minho spontan berdiri dan bersiap-siap untuk menuju lokasi yang dibunyikan speaker tadi bersama rekannya.
***
Dokter bagian emergensi kalang kabut karena banyak manusia yang datang setelah kebakaran hebat di daerah Nowon dong.
Tak jarang pula para pemadam kebakaran yang membantu ikut menjadi korbannya.
Jisung salah satu yang kalang kabut itu, fokusnya terpecah menjadi dua. Pada pasien yang sedang banyak terluka ini dan Minho, Jisung takut jika terjadi apa-apa dengan lelaki itu.
Minho tak mengenal takut jika sudah berjuang di medan. Tak peduli dia nanti bisa saja terluka.
Jisung mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Pandangannya berhenti di bilik pasien yang sedang ditangani Jeongin. Pasiennya petugas pemadam kebakaran, kaki kanannya terluka, dilihat dari lukanya kaki itu kemungkinan besar harus diamputasi. Dan perawakan mirip Lee Minho.
Pikiran negatif Jisung mulai berkelana. Pemuda berjas putih itu mendekat untuk mengecek kebenaran pikiran jeleknya.
Pasien itu berbalik ketika Jeongin menyuruhnya berbalik. Dengan rintihan yang lumayan keras, petugas itu berbalik. Jisung tahan napas untuk melihat sosok petugas itu.
"Ya Tuhan," kelegaan Jisung terungkap melihat bukan Minho petugas itu.
"Dokter Han-"
Suara ini milik Minho.
Jisung berbalik. Mendapati Minho membawa seorang pasien.
"Kemari Minho-"
Peka, Jisung langsung menunjukkan bilik lain yang kosong.
***
Jisung merokok, dia sedang butuh pelampiasan saat ini. Kebakarannya berhasil dipadamkan dan pasien pun sudah ditangani semua.
Lelah rasanya.
"Rokok. Tolong jauhi mereka. Dokter tahu sendiri itu bukan hal yang baik,"
Suara pemuda yang mengisi hatinya.
Jisung menoleh, di belakangnya ada Minho masih dengan seragamnya. Jisung mengeser duduknya agar Minho bisa ikut duduk.
"Kamu juga berhenti merasa bersalah," ucap Jisung lalu mematikan rokok yang tadi dihisapnya.
"Hyunjin sudah memaafkanku."
"Benarkah?"
Minho mengangguk.
"Ada sedikit perasaan lega di hati tapi tetap saja rasa bersalah itu tidak bisa dibuang sepenuhnya."
"Memang butuh waktu, Minho ah, semoga kamu segera menemukan kebahagiaanmu," ucap Jisung tulus.
Mereka diam. Memilih menikmati suasana yang cukup damai dengan angin yang menerpa kulit mereka.
"Minho ah, tolong jangan datang dengan terluka, aku tidak ingin orang yang kucinta terluka," pinta Jisung tulus.
Minho menatap kedua manik yang saat ini juga menatapnya.
"Saya tidak berhak menerima perasaanmu, dokter Han," Jawaban Minho masih sama.
Jisung menghela napas lalu membuangnya sedikit kasar.
"Aku akan mengurangi kebiasaan merokokku kok."
"Tidak, saya bukan orang yang tepat menerima perasaanmu dokter Han. Maafkan saya."
Jisung bangkit.
"Kenapa meminta maaf? Ini hanya perasaanku, biar menjadi urusanku pula."
Pemuda itu berbalik berlawan arah dengan Minho, bahunya bergetar.
Dia menangis.
Dan Minho ikut sakit melihatnya.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.