Chapter 1: Maribeth Rowand

3.9K 188 5
                                    

Chapter 1: Maribeth Rowand

Dia sudah lama menerima kenyataan bahwa kisahnya tidak akan seindah kisah dongeng. Dia bukan putri cantik yang menjadi pujaan. Malah karena bintik-bintik hitam di wajahnya, dia sering jadi bahan ledekan. Dia juga tidak kaya, rumahnya bukan istana, hanya rumah kecil dimana Ibunya sendiri lebih kejam dibanding ibu tiri. Tubuhnya kecil, jika tidak dibilang sangat kurus, semua itu akibat kurang gizi.

Maribeth Joana Rowand, gadis yang diumurnya masih enam belas tahun, berhenti meniti impiannya dan percaya sepenuhnya bahwa hidupnya tidak lebih dari sebagai pelengkap cerita seperti figuran dalam dongeng.

"Nerdy! Kenapa rambutmu tidak disisir sih? Menjijikkan!" gadis itu bernama Rosaline Bolt, gadis yang sangat cantik dan merupakan model di kota ini. Rambutnya pirang bergelombang, mirip dengan boneka barbie. Tidak hanya itu, kulitnya putih dan tingginya sekitar 173 cm. Dia adalah si miss populer yang perkataannya selalu dianggap 'lucu'. Dan berkat perkataannya tadi, semua orang menertawai si Nerdy yang urakan.

Mary-panggilan untuk Maribeth- tidak punya sisir, ibunya hanya membeli satu buah dan benda itu disimpan di kamar pribadinya. Kadang Mary berusaha meminjamnya diam-diam. Tapi sekarang dia berhenti melakukan hal itu semenjak ibunya memergokinya, saat itu ibunya sangat marah hingga memukul tangannya sampai bengkak. Dia bahkan tidak dapat makan malam, setengah mati gadis itu tidur dalam keadaan lapar karena tidak berani mengambil makan. Mary tahu bahwa dengan melakukan itu, berarti dia memberikan alasan pada ibunya untuk semakin membencinya. Dibenci karena wajahnya mirip dengan ayahnya saja sudah lebih dari cukup dan dia tidak butuh hal lain yang bisa membuat hidupnya semakin buruk.

Seperti biasa, Mary hanya menarik nafas, menghitung angka satu hingga sepuluh dan mulai berjalan menjauhi posisi barbie wanna be dan gengnya.

Namun, belum jauh dia melangkah, salah seorang di antara mereka menjulurkan kakinya, membuat Mary yang tak sempat menghindar terjatuh dengan wajah yang mencium lantai.

Mary menutup mata, kembali menghitung angka, membuat ekspresinya sedatar mungkin. Dia sudah biasa dengan semua ini. Membuatnya sangat ahli dalam menyembunyikan perasaannya.

Jelas didengarnya suara tawa Rosaline dan geng populernya. Murid-murid lain tak berani membantunya, karena membantunya berarti mencari musuh dengan Rosaline dan geng populernya dan itu juga berarti bersedia menjadi 'korban' mereka berikutnya. Maka, mereka yang menginginkan kehidupan tenang selama sekolah memilih menganggap Mary tidak ada. Bahkan, beranggapan bahwa kejadian tadi tak pernah terjadi dan Mary tidak ada di lantai.

Maribeth tidak mengeluh. Masih dengan wajah tanpa ekspresinya, dia bangkit dari lantai. Untunglah dia mengepang rambutnya hari ini jadi dia tak perlu khawatir rambutnya kotor. Ibunya suka ribut soal dirinya yang memakai banyak perlengkapan mandi. Bukunya yang berserakan kemudian mulai dikumpulkannya, namun, salah satunya didorong menggunakan kaki oleh salah satu anggota geng Rosaline sebelum ia sempat meraihnya.

Mary hanya menghela nafas pelan, letih dengan semua ini. Tapi dia sama sekali tak punya pilihan lain.

"Aww, poor Nerdy, sebentar lagi akan pulang ke pangkuan Mommy dan menangis~" Rosaline mengatakan itu dengan nada mencemoohnya. Dia dan gengnya tertawa sebelum akhirnya meninggalkan Mary sendirian di koridor yang mulai sepi.

"Mengadu pada ibu..." ucapnya pelan, tangannya kembali berusaha mengumpulkan buku-bukunya. "Seperti aku punya kesempatan untuk mengadu saja..."

Ia kembali mendesah. Mungkin kebiasaan itu harus dihentikannya, tapi memangnya apa lagi yang bisa dilakukannya di saat-saat seperti ini?

Ia bergegas ke lokernya, menyimpan buku yang tidak diperlukan lagi dan mengambil yang d perlukannya. Study Hall hanya akan digunakannya untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Well, sekalian dengan milik Scott Floyds, ketua tim sepakbola Regnard High. Sudah menjadi kebiasaan untuknya mengerjakan tugas milik Scott. Kalau dipikir-pikir, karena Scott jugalah dia dikenal sebagai Nerdy. Tipikal anak terkenal semacam Scott dan Rosaline yang suka mengganggunyalah yang membuatnya tidak punya teman.

Kecuali Ivory Adams. Dan Mary bersyukur soal itu. Bicara soal gadis itu, Mary belum melihatnya seharian ini.

Mary kembali menghela nafas. Pikirannya melayang, kepada sosok sahabat baiknya. Mungkin Ivory sibuk seharian ini, kalau tak salah dia ikut klub melukis, atau mungkinkah dia sakit? Tapi ada kemungkinan Ivory hanya nenghindarinya. Seharusnya gadis itu ada bersamanya sekarang. Mereka punya kelas yang sama di jam berikutnya.

Huff, seharusnya dia berhenti berpikir hal yang tidak-tidak. Tapi, apa yang bisa dilakukan gadis yang selama 16 tahun hidupnya hanya mengalami penolakan dari orang-orang disekelilingnya?

Kenyataannya, saat usianya masih delapan tahun, dia sudah dipaksa untuk membereskan rumah dan mengurus keperluannya sendiri, saat yang sama dimana gadis seusianya masih sibuk dengan mimpi, dongeng dan pangeran berkuda putih. Dia sudah lama menyerah. Menyerah pada takdir. Dia tak lagi memimpikan pangeran dan kuda putih yang akan menjemputnya. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah cara untuk bertahan hidup hari ini, besok, dan besoknya lagi. Untuk hidup semacam yang dihadapinya, hal itu sudah menjadi hal yang luar biasa.

Bel tanda jam sekolah berakhir sudah berbunyi. Ivory tetap tak muncul. Mary tak punya ponsel sehingga susah mendapat kabar dari gadis itu. Sebisa mungkin dia tak ingin berpikir buruk tentangnya. Setidaknya, dia harus belajar mempercayai gadis itu.

"Nerdy!" suara familiar itu terdengar jelas di ujung koridor. Mary mendesah, sebelum akhirnya berbalik dan berhadapan dengan sosok itu.

Scott Floyd tentu saja.

"Yo, Nerdy!" sapanya dengan senyum lebar anehnya. "Terima kasih untuk tugasku hari ini. Anyway, aku tak punya banyak, tapi ini untukmu," Scott meraih tangannya dan meletakkan sesuatu di telapaknya. "Sebagai ucapan terima kasih," lalu dia berlalu.

Meninggalkan Mary dan sebuah coklay batang yang tampak lezat.

Iris hazelnya memperhatikan coklat di tangannya. Wajahnya tampak bingung dan curiga, matanya masih mengikuti punggung Scott hingga menghilang di ujung koridor.

Untuk beberapa saat Mary tak berani melakukan apapun. Dia masih curiga soal coklat itu. Namun pada akhirnya, dia mengerdikkan bahunya.

"Anak populer dan sikap mereka... membingungkan," dengan itu, Mary melangkahkan kakinya keluar dari sekolah.

----------------------------------------

Cerita baru, I know. Sorry, tapi tangan gatal untuk menuliskannya. Akan ku update bergantian dengan Pricilla and the blue ladynya.

Hope you like it. Vote and comment?

[Old Ver.] The Story of a Living Doll (Discontinued)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang