"...aku bersumpah cintaku pantas."

1.7K 148 6
                                    


Di tulis pada Juni, 03 2016 ft Fieeshu, Namjinsquad ku sejak dulu kala.

_____

Sore hari itu tidak begitu hangat. Cukup untuk membuatmu memerlukan sweater untuk menghangatkan tubuh. Atau pelukan. Atau ciuman. Atau apa pun, yang penting menghangatkan.

Namjoon berbaring nyaman di sofa malas dorm mereka dengan kepala dipangkuan Jin. Sesekali terdengar tawa manis Jin saat TV menayangkan sesuatu yang menurutnya lucu. Namjoon diam saja, menikmati kepalanya yang di elus sayang oleh Jin.

"Jin, ayo berkencan," kata Namjoon tiba-tiba, ditatapnya Jin. Kini dia berbalik, wajahnya tepat berada di perut datar kekasihnya itu. Dipeluknya pinggang Jin, membenamkan wajahnya disana.

"Kencan?"

Namjoon mendengung sambil mengangguk. Menciumi perut Jin dari balik kaos tipisnya.

"Membeli es krim yang kapan lalu kau minta. Makan kue ikan. Atau kue beras pedas. Minum soju. Lalu ke Sungai Han," kata Namjoon, pelan. Masih menyembunyikan wajahnya di perut Jin.

Jin tahu Namjoon malu. Namjoon kan memang sekaku itu, bahkan padanya. Sejak mereka berkisah bersama, Namjoon belum sempat mengajaknya berkencan. Jadwal mereka tidak main-main sejak debut. Saat libur mereka habiskan bersama keluarga masing-masing. Atau bersama-sama dengan yang lain. Belum sempat berdua saja.

"Hn, bagaimana?" tanya Namjoon lagi.

Jin mengangguk, tersenyum. "Baiklah, ayo berkencan, Namjoon-ah..."

XXX

Seoul memang tidak pernah sepi. Ramainya kota ini, sama dengan ramainya detak jantung Namjoon dan Jin sekarang.

Mereka sudah hampir satu jam berkeliling mengitari Seoul dengan mobil. Mampir ke toko es krim tak jauh dorm yang sejak lama ingin Jin datangi. Lalu berkendara lagi mencari penjual kue ikan terenak di kota. Lalu mencari stand pinggir jalan yang menjual kue beras pedas terpedas sambil meminum soju.

Sejak meninggalkan dorm berdua saja, jantung keduanya sudah ramai. Seramai Seoul. Berdebar membayangkan akan seperti apa kencan pertama mereka.

"Ini luar biasa menyenangkan," kata Jin, dengan wajah berbinar bahagia. "Lain kali aku ingin kau yang mengemudikan mobil, Namjoon-ah."

"Tidak, aku sudah nyaman di sini."

Jin mendengus, pura-pura kesal. Mana mungkin dia benar-benar kesal. Jin tidak peduli jika dia harus mengendarai mobil sepanjang hari asal Namjoon disampingnya.

"Sungai Han?" tanya Namjoon, memastikan lagi tujuan mereka selanjutnya.

Jin mengangguk. "Apa tidak akan ramai, Namjoon-ah?"

Namjoon menggedikkan bahunya. Dia pun sama tidak tahunya.

Jin memarkirkan mobil di tempat yang paling sepi. Keduanya menatap hamparan Sungai Han dalam diam dari dalam mobil. Mendengar keramaian dari jantung masing-masing, meski nyatanya keduanya diselimuti keheningan yang nyaman.

"Ingin jalan-jalan?" tanya Namjoon. Dia menatap Jin yang tersenyum dalam diamnya.

"Tidak apa-apa? Apa tidak berbahaya? Kita tidak membawa masker," tanya Jin, khawatir.

"Aku tidak pernah takut apa pun selama berdua denganmu," jawab Namjoon, menatap Jin tepat di bola matanya yang tampak ragu.

Jin tahu pipinya pasti bersemu. Keraguannya memudar saat Namjoon menggenggam tangannya, meyakinkan. "Baiklah, ayo jalan-jalan," katanya, tersenyum.

"Cari tempat yang sepi saja," kata Namjoon kemudian.

Mendengar itu, Jin tertawa terbahak. Bukankah Namjoon baru saja bilang dia tidak takut apa pun? Aish, manis sekali mulut lelaki kesayangan Jin ini.

Keduanya keluar dari sisi masing-masing. Jin berjalan lebih dulu, langkahnya kecil-kecil, riang. Bibirnya sesekali bersenandung lagu-lagu yang belakangan sering dia dengarkan. Tangannya menggenggam kamera polaroid berwarna merah muda kesayangannya. Sesekali menyimpan senja Sungai Han di dalam lembar-lembar fotonya.

Sedang Namjoon, mengikuti saja dibelakangnya. Menatap punggung lebar Jin dalam diam. Semakin ramai saja jantungnya. Semakin ramai saja pikirannya.

Namjoon tidak pernah merasa pantas berdiri di samping Jin sebelumnya. Di matanya Jin sesempurna itu. Bertahun-tahun dia hanya berani menatapi punggung lebar itu diam-diam. Bertahun-tahun dia mengagumi wajah dan senyuman indah itu. Bertahun-tahun dia menahan diri untuk memeluk Jin, menahan diri untuk menggenggam tangan Jin, meski sering kali gagal.

Sampai suatu malam dua tahun lalu, Jin bertanya kenapa Namjoon selalu saja gagal menahan diri. Yang membuat keduanya berakhir dengan saling berpelukan serta sebuah ciuman panjang di bibir.

Namjoon belum merasa pantas saat itu. Jin seharusnya pantas mendapatkan yang lebih darinya. Seseorang yang bisa meringankan bebannya saat Namjoon atau member lain mulai bertingkah kekanakan. Bukan malah menambah beban karena menjadi kekasihnya. Jin seharusnya bersama seseorang yang bisa mengajaknya berkencan dengan pantas. Seseorang yang bisa membahagiakannya.

Pernah suatu waktu  Namjoon menyampaikan semuanya pada Jin. Jin tersenyum lalu memeluknya erat. Membisikkan bahwa dia tidak butuh orang lain. Sebab Jin hanya ingin Namjoon. Jin hanya butuh Namjoon.

Diam-diam Namjoon tersenyum. Jika ada yang bertanya apakah yang lebih membahagiakan dari semua kesuksesannya? Maka jawaban Namjoon adalah Jin.

"I got it," kata Jin, menyadarkan Namjoon dari lamunannya. Polaroidnya mengeluarkan sebuah kertas foto, Jin menariknya pelan. Mengibas-ngibaskan kertas foto dengan mata yang menatap lurus mata Namjoon.

Namjoon suka saat Jin mengerjakan sesuatu dengan mata yang menatap lurus ke arah matanya. Terlihat mengagumkan, sesekali menggairahkan.

"Sudah kubilang kan, kau jauh lebih tampan jika tersenyum," celetuk Jin, bangga melihat hasil foto Namjoon yang tersenyum manis tepat saat Jin mengarahkan kamera polaroidnya. "Ngomong-ngomong kau tersenyum di belakangku, apa yg kau perbuat?"

"Melihatmu," sahut Namjoon singkat dengan sudut bibir kanannya terangkat, menyeringai.

Jin mendengus, setengah malu, setengah gusar. Seringaian Namjoon adalah salah satu hal yang dia benci. Sambil menghentak-hentakkan kaki dia mendekati Namjoon.

"Aku benci seringaianmu," gerutunya.

Dahi Namjoon berkerut, bingung.

Jin melirik ke kiri dan ke kanan. Sepi, cukup sepi. Setelahnya dia menangkup pipi Namjoon dan mendaratkan dua-tiga kali kecupan manis di bibir lelakinya itu. "Membuatku berdebar tak karuan, aku membencinya," bisik Jin.

Namjoon terdiam. Menatap Jin yang bersemu seperti gadis remaja yang mendapat ciuman pertamanya. Atau sebut saja begitu. Ini memang ciuman pertama mereka tanpa sembunyi-sembunyi. Di pinggir senja yang perlahan pulang keperaduannya.

"Namjoon-ah," panggil Jin. Sedikit cemas karena Namjoon hanya diam menatapnya.

"Aku mencintaimu, Jin," kata Namjoon. "Tak peduli meski kau pantas mendapatkan yang jauh lebih baik. Aku hanya mencintaimu. Aku mencintaimu. Aku bersumpah tidak akan ada yang bisa mencintaimu seperti aku. Jika aku tak pantas berada disampingmu, aku bersumpah cintaku pantas."

Jin mengatup mulutnya dengan telapak tangannya sendiri. Semakin ramai jantungnya. Jauh lebih ramai dari Seoul, jauh lebih ramai dari jagat raya. Sebelumnya, tak pernah seramai ini.

Namjoon maju selangkah, menarik Jin dalam pelukannya. Mendekap bahu lebar itu dalam pelukannya. Membenamkan wajahnya dalam ceruk leher Jin. Tersenyum bahagia dia.

"Terima kasih, Namjoon. Terima kasih. Aku pun... aku pun mencintamu..." bisik Jin.

Untuk pertama kali dalam hidupnya, untuk pertama kali sejak berkisah bersama, Namjoon yakin.

Meski dia tidak, namun cintanya pantas.

END

NAMJINPEDIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang