03

28 3 1
                                    

Desember 2016

"Jadi kamu keluar dari pramuka?" tanya ayah tidak percaya.

"Iya yah, udah lama. Dari oktober" jawabku sambil mengunyah nasi goreng sosis nuget buatan bunda.

"Terus olimpiadenya? Masih?" tanya ayah masih penasaran.

"Masih yah. Bener kata ayah. Lebih seru olimpiade. Lebih teratur gitu. Tentor olimpiadenya juga asik ya suka ngajak bercanda" jawabku santai.

"Kenapa kamu keluar dari pramuka?" tanya bunda menimpali.

"Alah itu kisah lama bunda, gak cocok sama kawan. Lagian awal januari aku mau lomba olimpiade di kota Puri. Aku fokus dulu lah" jawabku lagi.

"Wardah, jangan karena hal kecil kamu jadi mengesampingkan hal besar. Perkara kawan tidak cocok itu sebenarnya adalah hal kecil. Namanya juga di tempat baru. Ya pasti gak semua orang seperti Ryan yang udah mengenal kamu dengan sangat baik. Kamu harus lebih menunjukkan kamu itu orangnya seperti apa agar teman-teman kamu memahami kamu. Komunikasi yang terpenting" Ujar ayah memulai nasehat di pagi hari.

"Dulu setau ayah kamu suka banget sama pramuka. Masak bisa hilang gitu aja semangatnya. Yaudah, fokus dulu sampai januari. Setelah itu coba masuk ekskul yang outdoor lagi ya. Apa aja boleh, pramuka lagi juga boleh" saran ayah. Aku hanya mengangguk.

"Januari kamu berarti jumpa Ryan dong" sambung bunda sambil membubuh nasi untuk bang Hulil.

"Iya bunda. Kata Ryan tempat lombanya juga dekat sama kos-kos an dia" jawabku.

"Semangat terus ya belajar. Bunda sama ayah ada proyek lagi ni. Doakan lancar. Nanti malam ayah bunda pergi lagi, januari kalau sempat ayah bunda susul kamu ke Puri" ujar bunda dengan lembut.

Aku sudah biasa dengan hal itu. Bukan hal baru lagi. Topik pembicaraan berubah mengenai kedua abangku. Aku tak banyak merespon. Nasehat ayah tadi masih membekas di pikiranku. Ayah benar. Hanya saja masalahnya saat ini berbeda. Selesai sarapan. Ayah mengantarku ke sekolah. 

Hari ini sepertinya akan menjadi hari yang melelahkan. Terlalu banyak tugas, catatan dan pr menghadapi ujian semester. Aku mengeluarkan notes kecil untuk mencatat semua jadwal deadline.

Aku duduk di bangku panjang di dekat taman. Adi bersama teman-temannya sedang tertawa di ujung sana sambil memegang bola basket. Adi akhirnya melihatku dan berjalan ke arahku.

Aku menunduk seolah menulis notes dan diam menunggu di sapa. Namun dia meneruskan perjalanannya begitu saja. Aku merasa aneh. Kulirik ke arah Adi. Adi memutar balik dengan setangkai bunga. Dia menjatuhkan bunganya di notesku. Tanpa berkata-kata dia kembali mengikuti teman-temannya menuju kantin.

Aku terkekeh. Lucu sekali perangai orang yang sedang jatuh cinta. Aku berada di aliran itu sekarang.
Satu hal yang kupelajari dari Adi, dia tak pernah berhenti berusaha.

Kulipat bunga yang dijatuhkan Adi dalam notesku. Bunga ini juga akan aku abadikan dalam pagu. Suatu hari, saat aku sudah tak percaya diri, bunga ini akan mengingatkanku bahwa aku pernah dicintai walaupun tidak oleh orang yang aku cintai pula.

Aku kembali ke kelas saat bel masuk berbunyi. Aku berpapasan dengan Wildan di tangga menuju kelasku.

"Wildan" sapaku penuh semangat.

Wildan menoleh dan tersenyum. Teman-teman Wildan yang melihat aku tersipu karena senyumannya membuat teman-temannya heboh dan riuh.

"Cieeee" sorak sorai teman-temannya membuat aku hampir gagal bernafas.

Wildan seolah menyuruh teman-temannya berhenti.
"Apaan sihh" aku berkata seolah tak mengerti.

"Gak tau ni anak-anak kurang hiburan" balas Wildan membantuku.
Wildan mengajak teman-temannya turun lebih cepat. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala seolah olah tak mengerti.

PaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang