10

23 2 1
                                    

Gelap semakin gelap.
Pukul 02.00 dini hari kami tepat berada di depan rumah Ryan. Tenda dan bendera lambang berduka telah gagah berdiri di depan rumah Ryan.

Aku membangunkan Ryan yang tertidur kelelahan karena menangis.  Ryan menghapus air matanya dan segera meminta mobil menepi. Aku dan Ryan turun lebil awal karena bang Wira perlu mencari tempat parkir. Ryan langsung berlari namun aku berjalan sambil membawa beberapa barang.

Ryan membuka pintu rumahnya yang tertutup. Terlihat sudah banyak orang yang duduk melingkar di ruang tamu. Melingkari dua kasur yang di atasnya terbaring dua jenazah kaku.

Ryan tak berkata-kata, bahkan dia tak menangis. Ryan terhenti tepat di depan sosok yang dia sendiri belum percaya itu siapa. Dia hanya menerka-nerka karena perawakan tubuh itu yang berbaring  mirip seperti papa dan mamanya.

Aku memasuki ruang tamu Ryan dan langsung syok melihat kedua jenazah itu terbuju kaku. Beberapa hari lalu, semua masih baik-baik saja. Tangisku pecah saat melihat Ryan yang masih membeku. Aku terduduk dan menangis keras.

Kutarik Ryan sekeras-kerasnya agar ia duduk sepertiku. Tangisku membuat orang-orang berkumpul lagi. Begitu pula dengan keluargaku. Mereka semua mulai mendekat ke arahku.

Aku memukul dada Ryan..
"Nangis Ryan.. Nangisss..." tangisku sambil memaksa dia menangis. Ryan yang sudah berlutut masih belum bisa menerima apa yang terjadi.

"Nangis Ryaan... Nangisss" teriakku lagi membuat ayah menarikku dan memelukku erat. Aku menangis di pelukan ayah. Bunda menawariku minum.

Aku meneguk sedikit, sisanya kuberikan pada Ryan yang masi membeku tak menangis. Aku memaksanya minum dan akhirnya dia meminumnya.

Tante Hara, adik mama Ryan mulai mendekat, memeluk Ryan erat. Kemudian membuka penutup wajah papa dan mama Ryan. Ryan tersadar dari lamunannya dan  kembali menunduk tangis. Seisi rumah Ryan kembali bersedih dan menangis.

"Papa.. Mama.. Aku nanti dengan siapa?" tanya Ryan memeluk jenazah papanya.  Ryan menciumi pipi yang sudah dingin tak beraliran darah.

"Papa... Aku belum bisa tanpa papa" tangisnya lagi. Ia membangunkan papanya beberapa kali.

Tak kunjung ada respon, Ryan beralih ke dekat mamanya.

"Mama... Bangun ma. Aku gak bisa sendirian" teriak Ryan lagi. Namun hanya hening yang tersisa. Ryan akhirnya lelah sendiri.

"Aku pengen bantal" perintahnya memaksa tak jelas tujuan.

Tante Hara mengambil bantal. Ryan meletakkan bantal itu di antara kedua jenazah itu dan akhirnya tertidur memeluk kedua jenazah itu.

Pelukannya pada jasad tak bernyawa hanya meninggalkan kesepian di hati dan rasa dingin di kulit nadi. Wajah Ryan yang sudah merah karena tangis  masih menampakkan kesedihan walaupun sedang memejamkan mata.

Adzan subuh berkumandang. Kami semua membangunkan Ryan. Ryan tersadar dan masih mendapati kedua jenazah orang tuanya.

"Ternyata ini memang bukan mimpi" ujarnya lirih meneteskan air mata lagi. Tante Hara menariknya dan melarangnya meratapi kedua orang tuanya. Tante Hara memaksa Ryan shalat subuh. Ryan enggan meninggalkan kedua orang tuanya walaupun sebentar untuk shalat, namun hatinya butuh ketenangan dari yang maha esa. Akhirnya ia beranjak untuk shalat. 

Sebelum dzuhur, jenazah kedua orang tua Ryan dikebumikan. Ryan memimpin shalat jenazah kedua orang tuanya. Tangis jemaah menghiasi doa yang juga dipimpin oleh Ryan.

Begitulah bumi, tempat kita bersinggah. Awalnya kita adalah makhluk surga, namun takdir membawa kita merantau ke bumi. Semua kita mencari cara agar bisa kembali ke kampung halaman.  Banyak yang menginginkan surga. Namun surga itu tidak didapatkan dengan mudah. Ada yang ingin pulang kampung, namun karena salah jalan maka dia akan tersesat di tempat yang hina. Tak ada yang tahu jalan kita sudah benar atau tidak, namun kita tak boleh berenti berusaha. Allah telah tetapkan jalannya lewat alquran, walau banyak cobaan dan rintangan yang mesti di hadapi hingga saat kita tutup usia.

PaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang