04

24 4 2
                                    

Aku berlari masuk ke dalam rumah. Kulihat Adi masih diam disana sendirian. Tak berapa lama kemudian, Adi pergi dengan motor bebeknya.

Sebuah pesan masuk ke hapeku.
"Wardah, aku gak tau lagi harus gimana menunjukkan rasa sayangku tulus buat kamu" kalimat Adi yang akhirnya hanya menjadi bahan bacaanku.

Aku tak tahu harus membalas apa. Semua kata rasanya tidak dapat mewakilkan maksudku untuknya. Tak bisakah kita hanya sekedar berteman. Aku menyukaimu seperti teman-teman lainnya, lalu mengapa rasa itu harus hadir merumitkan keadaan? Apa bedanya menjadi temanmu atau menjadi pacarmu jika setiap hari kita bertemu di sekolah? Setiap hari dapat bergurau di kantin bersama, setiap hari dapat chatting menceritakan banyak hal. Apa bedanya Adi?

Keesokan harinya, Adi tidak lagi menyapaku di kelas. Dia memilih menjauh duduk di pojokan yang tak pernah menjadi posisinya duduk.
Teman-teman sekelas menyapaku dan menggodaku karena baru berpacaran dengan Adi. Sebisanya aku bersikap biasa dan tak berani menjelaskan apa-apa. Aku khawatir Adi akan malu.

Aku mulai tidak nyaman saat teman laki-laki di kelasku mendatangi mejaku.

"Wardahhh, sekarang punyanya Adi ya?" tanya Ferdi, salah satu dari mereka. Aku mulai kesal dengan pertanyaan itu.

"Kalian bisa berhenti gak sih?" bentakku sambil berdiri menatap mata  Ferdi. 

"Wardah udah garang sekarang, hahaha selow aja girl jangan baperan amat. Kita nanya doang" tukas Tono disamping Ferdi.

"Udah.. Kalian stop deh. Kita udah putus kemarin" potong Adi sambil melerai teman-temannya dari mejaku.

Mereka menuju keluar kelas dan bercerita agak lama bersama Adi. Beberapa teman lain ikut berlari mendengar cerita Adi. Kadang-kadang mereka tertawa dan tersenyum. Kadang-kadang mereka melirikku dan tertawa lagi. Yap benar, hari ini adalah awal dari hari-hari mereka membully Adi.

Guru matematika datang. Mereka semua kembali ke dalam kelas. Masih dengan raut muka yang penuh lelucon mereka mengganggu Adi. Terus-terusan menjadi lawakan, yang  berakhir dengan cubitan dari guru matematika karena terlalu ribut.

Keseesokan harinya juga begitu, Adi masih menjadi trending topic di kelas. Hari ini lebih parah, teman perempuan di kelasku ikut-ikutan. Ria sering sekali menjadi penyelamat, menghardik dan melarang teman-teman memojokkan Adi dan aku. Hari demi hari  menghadapi semua godaan dan candaan dari teman sekelas, Aku dan Adi akhirnya terbiasa.

Ujian semester tiba. Saatnya mengalihkan fokus dari gurauan teman sekelas ke ujian semester. Ujian semester sangat mendebarkan namun akhirnya berakhir juga. Aku tidak mendapat peringkat 10 besar. Namun aku bersyukur tidak banyak pelajaran yang harus ujian diulang  dibandingkan Ria.

Waktuku semakin banyak untuk belajar olimpiade. Namun aku kurang bersemangat setelah tahu bahwa Wildan mengundurkan diri dari kompetisi bulan januari. Aku kecewa sekali, ingin sekali aku tanya langsung mengapa. Tapi gengsi dan ketakutan tak beralasan bersarang di benakku. Akupun mulai tidak terlalu fokus pada olimpiade, aku hanya belajar saat mentoring. Di rumah, aku lebih suka menonton film dan bersepeda keliling komplek.

Remedial berakhir. Bu Ana mengajak seluruh warga kelas untuk berwisata sebelum libur semester. Kami semua sangat berantusias dengan ide Bu Ana.

Bu Ana membagi tugas untuk semua murid dalam mempersiapkan wisata. Bu Ana membagi dalam 4 bidang, bidang acara yang mempersiapkan games, bidang transportasi, bidang tempat dan perlengkapan, dan yang terakhir bidang konsumsi. Kebanyakan anak perempuan berada di bidang konsumsi.

Aku mendapat tugas di bagian tempat dan peralatan bersama Adi, Ella, Ferdi dan Tono. Bu Ana sepertinya memang sengaja mengumpulkan aku dan Adi dalam satu tim karena perselisihan kemarin. Namun salahnya, mengapa Ferdi dan Tono juga harus diikutkan disana.

PaguTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang