Prolog

2.8K 138 1
                                    

Aku duduk dengan tenang seperti biasa di halte bus yang lokasinya tidak jauh dari gerbang masuk jurusanku. Setelah kelas siang hari ini selesai, aku memang biasa untuk langsung menyinggah ke sini, sebab aku tidak ingin Raga menungguku terlalu lama. Biar bagaimanapun, aku adalah orang yang menumpang dengannya. Membuatnya menunggu, tentu bukanlah hal baik untuk orang yang menebeng sepertiku.

Sepuluh menit.

Dua puluh menit.

Tiga puluh menit.

Aku telah menunggu Raga lebih lama dari biasanya di sini sendirian. Ini lebih lama dari yang sudah-sudah. Biasanya jika telat sedikit, Raga akan menghubungiku lewat chat kalau dia akan datang terlambat. Namun sekarang tidak ada satupun pesan yang Raga tinggalkan. Hal itu sempat membuat aku bingung.

Akhirnya, hal yang sempat kupikirkan tadi, muncul juga di layar ponselku. Pesan dari Raga.

Aku tersenyum. Mungkin Raga ingin memberitahuku bahwa dia sedang menunggu di sudut lain dari area jurusanku, karena kami tidak berada di satu fakultas dan juga jurusan yang sama. Sehingga Raga mungkin tidak sempat untuk singgah di sini hari ini.

Ragaditya Mahardika

Gea, sorry, hari ini nggak bisa bareng. Gue mau nganter Naomi ke toko ATK.

Senyum di wajahku memudar dan tergantikan oleh senyum kecut yang tiba-tiba muncul begitu saja.

Aku yang mengerti, langsung membalas pesannya.

Nigea Kamanian

Oke. Hati-hati, Ga :)

Aku menghela napas pelan. Berusaha biasa saja. Lagipula memang seperti ini risiko menumpang kendaraan dengan orang lain. Sesuka orang pemberi tumpangan itu ingin memberikan tumpangan atau tidak.

Tin. Tin.

Aku mengangkat kepala dan menemukan sahabatku duduk diatas motornya, masih tanpa melepaskan helm di kepalanya.

"Yok, naik. Bareng gue aja," kata Rean seperti mengerti raut wajahku. "Gue tahu."

Meski sebagian wajahnya terhalang oleh kaca helm, aku tahu Rean tersenyum. Aku bisa melihat dari matanya.

Aku tersenyum nanar. Ketika lagi-lagi Rean tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Tinggalin. Lo nggak seharusnya nunggu."

Aku hanya diam mendengar ucapannya yang sudah sering aku dengar. Tanpa menanggapi, aku langsung memakai helm yang selalu dia bawa lebih.

"Buru naik, gue khawatir lo beneran nangis di sini."

Aku memukul pundaknya kesal dan ia hanya terkekeh setelahnya.

***







a.n : Aslinya ini bukan cerita pertamaku. udah pernah publish, cuma malu dan banyak yang harus dibenerin. Cerita ini juga udah pernah terbit di sini, tapi aku rombak besar-besaran karena versi pertama kacau dan akunya mentok haha. Semoga part pembukaan ini menghibur.

Jangan lupa kasih bintang dan komentarnya :)

Terima kasih!

a.n (lagi) : ini aku publish ulang, ya~

24 Desember 2019 // 29 maret 2021

Real Affection (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang