C - Going Crazy

870 126 4
                                    

Bagian lima

Chan terengah dan mengerang begitu merasakan rasa sakit akibat peluru yang bersarang dibetis kanannya. Di depannya, seorang berpakaian serba hitam duduk santai seraya menghirup nikotin dari alat penghisapnya.

“Tau apa kesalahanmu, Christopher Bang?” tanyanya yang dijawab dengan keheningan.

Bodoh, batin Chan. Lelaki di depannya ini terus mempertanyakan pertanyaan yang tak akan pernah terjawab oleh Chan. Pemuda berusia 21 tahun itu lemas setengah mati lantaran darah yang terus keluar dan membasahi celana hitamnya. Wajah tampannya dihiasi gurat kelelahan.

Tiba-tiba lelaki di hadapannya ini tertawa terbahak. “Apa yang Christian lakukan padamu dulu sampai anaknya harus mengunci mulutnya seperti ini?” Lelaki itu maju ke hadapan Chan dan berjongkok seraya memegang dagunya.

“Bicara, Chris. Aku tau pita suaramu masih baik-baik saja, lidahmu belum terpotong, dan pendengaranmu sempurna. Mengapa kau hanya diam, hm? Bicara padaku agar aku bisa menghancurkan bajingan yang kau sebut ayah itu, Chris. Bicaralah.” Ucapan itu keluar dari mulut pria itu. Tekanan demi tekanan perkata terus mengalir, masuk ke telinga si muda Bang, menghasilkan getaran halus dari sang pemuda berambut pirang itu.

Lelaki di depannya menghela nafasnya. “Aku tau sejak awal akan sulit mengajakmu bekerja sama. Jackson!” Si bawahan yang dipanggil namanya masuk ke dalam.

“Ya, Tuan Kang?”

“Panggil Bambam untuk mengurus luka-lukanya. Sudah kubilang tak perlu memakai kekerasan pada bocah ini.”

Chan menatap punggung lebar yang perlahan menghilang di balik pintu itu sebelum ditarik menuju unit kesehatan di rumah itu.
.
.
.

“Kau ini, sudah kubilang jangan pernah berniat melarikan diri dari sini. Kau masih beruntung mendapatkan perhatian Tuan Kang, kau tahu?” sungut Bambam pada Chan yang kini memerhatikannya. Si muda bang hanya diam melihat bagaimana tangan Bambam dengan cekatan mengeluarkan peluru itu dengan wajah datarnya, tak berniat merespon dengan kertas sekalipun.

“Sudah satu minggu sejak kau tinggal disini. Bukankah mudah melihat bagaimana perbedaan Tuan Kang padamu dan pada budak lainnya? Aku bingung, mengapa otak kecilmu itu terus berontak ingin kabur. Apa susahnya tinggal disini untuk beberapa waktu sampai ada mafia bodoh yang membelimu dari Tuan Kang. Hm, kurasa sepertinya Tuan Kang juga tidak akan semudah itu memberikanmu pada orang lain. Kudengar kau dekat dengannya sedari kecil, bukan begitu?”

Masih tak ada respon. Bambam melirik kearah Chan seusai membalut betis kanan Chan dengan perban dan melihat si pemuda Bang yang memejamkan matanya. Entah sudah berapa lama lelaki blonde itu memilih membuang kesadarannya. Mendengar ucapan Bambam yang panjang membuat ia mengantuk dengan sendirinya.

Bambam menghela nafasnya. Watak Chan begitu keras pikirnya. Satu minggu ia habiskan untuk mengajak bicara lelaki Bang yang katanya tidak benar-benar bisu itu, namun tak pernah ada balasan dari ucapannya. Memang, Bangchan mendengarkan ucapannya, sesekali mengangguk atau menggeleng atas pertanyaannya, namun tak pernah benar-benar membuka suaranya. Itu memberikan suatu pertanyaan besar dalam benak Bambam.

Apa yang dirasakan lelaki di depannya ini? Mengapa Chan seolah membangun sebuah tembok besar untuk menghalangi setiap orang yang masuk? Bambam tidak satu atau dua tahun berkelana dalam dunia gelap. Ia sudah mempunyai pengalaman dalam dunia gelap sejak ia beurmur 16 tahun. Kali ini, Tuan Kang adalah bos besarnya. Dua tahun berada dalam lingkup kekuasaan Tuan Kang menyadarkan Bambam bahwa tidak semua mafia adalah
sosok dingin dan bejat. Tuan Kang misalnya. Ia baik pada bawahannya, hanya menyeramkan disaat-saat tertentu.

Apalagi pada bocah di depannya ini. Bambam benar-benar dibuat pusing dengan cara berpikir Chan. Jelas-jelas Tuan Kang ingin membantunya, tapi lelaki itu terus – menerus berusaha lepas dari Tuan Kang.

“Tunggu sampai kau dibeli oleh mafia lain, Chan. Kau akan merasakan perbedaannya,” ujar Bambam sekali lagi sebelum tungkainya berjalan menuju pintu klinik dan menutupnya dari luar.

Ruangan kembali sunyi. Hanya ada suara jam dinding yang berdetik. Chan membuka kembali matanya begitu merasakan ruangan kembali mendingin, tanda bahwa ia kembali sendirian.

Lelaki itu mengusap wajahnya kasar. Ia tahu, sangat tahu bahwa setidaknya, tinggal disini adalah pilihan paling baik dibanding harus kembali ke rumahnya. Ia tak akan mau bertemu sosok yang sudah ia anggap ayah itu. Walaupun ada ibunya yang ia tahu masih menyayanginya diam-diam itu, tetap saja, ibunya tak pernah melakukan pembelaan padanya. Hanya disini tempat paling aman.

Chan teringat ucapan Tuan Kang padanya sebelum ia dibawa ke klinik kesehatan. Perihal suaranya. Bukan Chan tidak mau, memang tidak bisa. Seberapa banyak usahanya dalam mengeluarkan sebuah suara, tak ada satupun kata yang dapat terucap. Ia tak bersuara.

Bukan ia yang menginginkan ini semua. Dan bos besar itu masih saja menekannya untuk bersuara. Siapa yang tak kesal?

Derit pintu yang terbuka membuat Chan menoleh dan melihat teman seperbudakannya, Woojin, memasuki ruangan dengan langkah tertatih. Tatapan bertanya diarahkan Chan ke Woojin yang kebetulan melihatnya.

“Tak usah heran, aku bekerja di Club, bukan di kasur sepertimu.” Chan tersadar dan langsung mengangguk mengerti. Woojin duduk di ranjang di sampingnya, mengoleskan krim untuk menghilangkan lecet ke pergelangan tangannya.

“Tadi aku mendengar Tuan Kang berbicara dengan seorang pemuda. Sepertinya ia menyebutkan namamu beberapa kali. Ada yang akan meninggalkan tempat ini, ya?” Woojin menoleh pada Chan seraya membuka celananya. Chan segera membuang pandangannya begitu melihat si pemuda Kim yang mulai mengobati area vitalnya.

Suara helaan nafas terdengar. “Aku tak tau apa yang ada di pikiranmu. Hanya saja, aku sedikit iri padamu. Bagaimana bisa mereka hanya mendiamkanmu di kamar? Ini begitu tak adil karena aku harus melayani pria-pria di bawah sana sedangkan kau bertingkah layaknya putra Tuan Kang.”

”Aku juga tak menginginkan ini kalau kau mau tahu. Aku juga ingin sepertimu, memberikan tubuhku pada banyak orang dan membiarkanku mati perlahan.” Woojin membaca tulisan pada ponsel Chan dengan dahi mengernyit. Ia menyampingkan tubuhnya menghadap Chan setelah selesai dengan kegiatannya.

“Hei, Chris. Kau pikir aku senang dengan pekerjaanku ini? Tidak akan pernah. Berhenti mengeluh. Selagi aku bekerja seraya menggoda pria berkantong tebal di bawah sana untuk membeliku, kau harusnya terus berlaku baik pada Tuan Kang kalau tak mau berakhir menjadi pekerja sepertiku.”

Sial, Chan bisa gila jika dihadapkan dengan pemuda-pemuda berisik seperti Woojin dan Bambam. Mereka tak hentinya menasihati Chan seperti seorang ibu. Namun, dibanding perasaan menjadi gila, ada perasaan lain yang hinggap di hati Chan kala mendengar suara berisik yang terus keluar dari mulut Woojin dan Bambam.

Sebuah kehangatan yang telah lama menghilang dari hatinya.

______________

Hihihi kemarin gajadi double up:› moodku drop banget tiba-tiba pas masih setengah ngedit, maaf yaaa:(

By the way, cerita ini bakal banyak banget narasinya. Iya, dialognya dikit karena chan kan ga ngomong, ya.. Jadi lebih berkutat ke pemikiran si blonde ini. Jadi, kalau ini bukan bacaan kalian, lebih baik pergi:( aku gamau ceritaku jadi membosankan buat kalian, kay?

Wuff yu!🤘🏻

Animosity ✗ chanminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang