Sahabat Baru

23 3 0
                                    

     Dengan langkah tegap Gigi menuju resepsionis kantor barunya sembari menganjur koper. Saat masih di bandara Soekarno Hatta, beberapa menit sebelum pesawat take off, Pak Aris mengirim pesan bahwa kunci kamarnya ada di resepsionis.

     "Selamat pagi, Gigi Melody, ya? Dari Bahana Pelita?"

     Belum juga Gigi bersuara, seorang perempuan muda di balik meja resepsionis tersenyum ramah kepadanya.

     Gigi tersenyum mengangguk. "Benar, Kak."

     Kemudian resepsionis tersebut menjulurkan tangan.

     "Helo, welcome to Manokwari, Gi. Sa Grace, keponakan Pemimpin Redaksi. Kita sekamar di lantai tiga nomor tiga." Grace menyerahkan kunci kamar mess mereka.

     "Oh ya? Senang berkenalan dengan Kakak." Gigi menerima perkenalan dengan hangat.

     Grace tersenyum. "Ko diijinkan untuk beristirahat dulu hari ini. Dan selamat bergabung di Pelita Manokwari mulai esok hari."

     "Baik, Kak. Terima kasih. Aku mau ke atas dulu."

     "Silahkan. Ko ikuti saja koridor ini, nanti di ujung akan ketemu tangga."

     Sekali lagi Gigi mengucapkan terima kasih kepada Grace. Setelah itu ia melangkah menuju koridor. Gigi menapaki tangga menuju lantai dua yang ternyata masih termasuk kantor. Kiri dan kanan banyak kursi dan meja. Tampak berbanjar beberapa komputer. Hampir persis dengan kubikel-kubikel karyawan kantor pada umumnya. Namun, di kantor tersebut tidak ada sekat antara satu meja dengan meja lainnya. Berbeda dengan kantornya di Jakarta di mana setiap meja dipisahkan oleh sekat. Gigi sering merekatkan post-in berisi jadwal deadline dan jadwal wawancara di kubikelnya sebagai pengingat. Di sini ia tidak bisa melakukan hal serupa. Mungkin hanya bisa menaruh beberapa pigura berisi foto-fotonya bersama teman-teman dan keluarga, seperti meja kerjanya di Jakarta.

     "Maaf, Kak, tangga berada di mana, ya?" tanya Gigi kepada seorang cewek yang baru saja duduk di kursi sebelah kanan ruangan.

     "Ko lurus saja, nanti di ujung ada tangga," ujar cewek itu.

     Denahnya mirip lantai satu, batin Gigi. Lantas ia lanjut menyusuri koridor setelah mengucapkan terima kasih. Ia menapaki tangga menuju lantai tiga. Kembali ia melihat koridor yang membelah ruangan tersebut menjadi dua sisi. Berbeda dengan lantai satu dan dua tadi, di lantai tiga ini kedua sisi tersebut berupa kamar. Beberapa pintu saling berhadapan. Gigi mencari kamarnya di antara pintu-pintu tersebut. Suasana amat sepi. Mungkin para jurnalis sudah berjibaku dengan aneka berita di lapangan. Dan tim marketing sedang sibuk mendatangi satu tempat ke tempat lain untuk menawarkan kerja sama dan iklan. Ketika matanya tertumbuk pada angka tiga di daun pintu berwarna koral, langkah Gigi terhenti. Ia segera memutar kunci. Saat daun pintu telah terbuka lebar, matanya memandang ke seantro kamar yang tidak cukup luas dan juga tidak terlalu sempit.

     Ada tempat tidur tingkat di sudut. Kasur bawah ada beberapa boneka. Gigi menduga Grace menempati kasur yang bawah. Berarti ia akan tidur di atas. Ada dua lemari plastik berwarna tosca dan biru langit empat susun dengan dua pintu berada di seberang tempat tidur. Sedangkan di sisi tempat tidur, tak jauh dari pintu, ada meja rotan mini dengan dua kursi. Semuanya masih baru. Karena lemari yang berwarna tosca tak ada kunci menggantung, Gigi menuju lemari berwarna biru langit di mana ada kunci menggantung di lubangnya. Saat dibuka, lemari tersebut kosong. Artinya lemari itu untuk menyimpan segala keperluannya. Sebuah sapu ijuk dan kemoceng menggantung di dinding di balik pintu. Gigi meraih kemoceng, lalu membersihkan dalam lemari sebelum menaruh baju-bajunya. Kemudian ia merebahkan tubuh di lantai tanpa melepaskan sneaker dan berganti pakaian terlebih dahulu. Gigi membuka ransel, mencari HP yang masih berstatus flight mode. Gigi terselap untuk non-aktifkan saat mendarat di Rendani. Setelah ia menyentuh tombol flight mode, getaran di ponselnya tak henti-henti. Gigi membiarkan hingga getaran tersebut tak terdengar lagi. Ada banyak pesan baru yang masuk ke aplikasi WhatsApp. Pesan papa yang teratas. Serta ada lima panggilan tak terjawab. Papa memang selalu mengkhawatirkannya tiap ia bepergian.

Papa
Kalau sudah sampai, beri kabar kepada Papa, Gi.

     Pesan perdana tersebut dikirim pada pukul 05.10 waktu Manokwari. Sebelum membalas pesan tersebut, Gigi membaca pesan selanjutnya.

Papa
Sudah mendarat, Gi?

Papa
Gi, sudah jam tujuh pagi di Papua. Kenapa belum memberi kabar juga?

Papa
Kau di mana sekarang?

     Gigi terkikik membaca pesan-pesan tersebut. Ia segera menelepon papanya agar cinta pertamanya itu tidak merasa khawatir berlebihan.

     "Halo, kau sudah sampai, Gi?"

     "Baru saja sampai, Pa. Ponselnya aku sett flight mode seperti biasa bila terbang, dan sejak dari pesawat aku tak mengecek. Maaf, Pa, sudah membuat Papa cemas."

     "Ya, tadi Papa cukup cemas, apalagi tadi saat sarapan sembari membaca koran, Papa lihat cuaca Manokwari pada pukul satu dinihari tidak cukup baik."

     "Ya, Pa, sempat tertutup mega nyaris satu jam lamanya, tapi saat mendarat tadi sudah cerah. Bahkan aku sempat menyaksikan matahari terbit loh, Pa, seperti biasa tiap aku terbang ke Indonesia bagian timur."

     "Oh ya? Pemandangan yang keren."
     "Sangat keren, Pa. Tak pernah jemu aku mengaguminya. Papa tidak ke kampus?"

     "Ini lagi otewe. Semarang sedang gerimis pagi ini. Ya sudah, nanti bila ada waktu di kampus, Papa akan telepon balik."

     "Oke, Pa. I love you, mr. Profesor."

     "Love you too, Dear."

(bersambung)

Cerita ini sedang dalam proses penerbitan.

* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa itu hanya kebetulan belaka.

The Sky in Manokwari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang