Kampung Nelayan

12 3 0
                                    


Sebelum Gigi berangkat ke kampung nelayan pagi ini, ia ingin berdiskusi terlebih dahulu dengan pemimpin redaksi Pelita Manokwari. Karena itulah ia sibuk mencari Pak Stevanus dari satu ruang ke ruang lain. Rupanya Pak Stevanus sedang mengamati karyawan di ruang percetakan surat kabar di lantai satu.

     "Selamat pagi, bisakah aku bicara dengan Om Stevanus?"

     Pak Stevanus mengangguk. "Boleh. Ko ingin bicara di mana?"

     Mata Gigi memutari ruangan. Hanya ada dua orang karyawan di situ. Dengan Pak Stevanus berarti ada tiga orang.

     "Di sini juga tak apa, Om."

     "Oke. Duduklah." Pak Stevanus menunjuk ke kursi kayu di sudut ruangan. "Ada apa, Gigi? Ko akan liputan ke mana hari ini?"

     "Itulah yang akan kubicarakan, Om. Rencananya aku akan liputan ke kampung nelayan bersama kepala dinas UMKM."

     Kornea Pak Stevanus mengecil. "Mengapa harus bersama dia?"

     "Jadi begini, beberapa hari lalu aku mendengar keluhan pelaku UMKM perikanan di kampung nelayan tentang pungli pembuatan SIUP. Untuk membuat SIUP, para nelayan dikenakan harga satu juta rupiah. Nah, kemarin aku datang ke kantor UMKM, menemui kepala dinasnya untuk mengonfirmasikan tentang pungli tersebut. Rupanya beliau tidak percaya. Kepala dinas UMKM akan menyelidiki langsung ke lapangan pagi ini. Beliau mengajak aku untuk menginvestigasi bersama," jelas Gigi panjang lebar.

     Pak Stevanus manggut-manggut. "Bagus sekali itu, Gi. Bila ko berhasil menginvestigasi kasus pungli ini, sa akan terbitkan ko punya berita di halaman satu. Nanti ko ambil berita, foto dan buat grafiknya."

     "Itu mudah, Om. Bagian tersulit adalah mencari data."

     "Nah, untuk satu hal ini, sa sarankan ko mesti hati-hati. Jangan sampai ko buat kepala dinas UMKM sakit hati dengan wacana-wacana yang ko buat. Sebab bila narasumber telah sakit hati gara-gara ko pu cerita, maka akan sulit bagi ko melakukan pendekatan ulang agar dia mau diwawancarai."

     Gigi mengangguk. Ia melihat Gucci di pergelangan tangan, pukul 09.45.

     "Kalau begitu aku akan berangkat dulu, Om, sebab janjian dengan kepala dinas UMKM pada jam sepuluh pagi." Setelah berkata begitu Gigi bergegas berdiri.

     "Ko akan naik apa ke kampung nelayan?"

     "Ojek, Om."

     "Baik-baik jaga diri, Gigi."

     "Siap, Om." Senyum Gigi sumringah.

     Gigi yang pagi itu mengenakan kaos berwarna kuning kentang berlengan panjang dengan tulisan Nevada di dadanya dan memakai sneaker berwarna serupa, dipadukan celana jeans hitam yang robek pada bagian lutut, mengayun langkah tergesa keluar dari gedung Pelita Manokwari.

****

     Gigi tiba di kampung nelayan pada pukul 10.15. Ia terlambat lima belas menit sebab terlalu lama menunggu ojek. Berbeda dengan di Jakarta, ia sering naik ojek online, sedangkan tadi ia naik ojek pengkolan Manokwari. Grace pernah memberitahu ciri khas ojek pengkolan di Manokwari adalah memakai helm warna kuning. Dan pengendara motor yang memakai helm warna kuning sangat jarang lewat.

     "Kak Gigi, selamat pagi."

     Gigi menoleh. Rupanya anak bungsu kepala nelayan yang menyapanya. Bocah perempuan itu baru saja pulang sekolah bersama sang ibu.

     "Halo, Hanifah cantik, baru pulang sekolah ya?" Dengan gemas Gigi menjawil pipi bocah yang masih mengenakan seragam TK. Ia baru tiga kali dengan pagi ini bertemu Hanifah tapi bocah tersebut telah mengingat namanya.

     "Iya. Ayo, Kak Gigi main ke rumah sa." Hanifah menggoyang-goyangkan tangan Gigi.

     Gigi berjongkok. Senyumnya mengembang. "Belum bisa, Sayang. Kak Gigi mau kerja dulu, ya? Nanti bila telah selesai dan bila ada waktu, Kak Gigi akan sempatkan untuk mampir."

     "Janji?" Hanifah memberi jari kelingkingnya..

     Gigi dan ibunya Hanifah saling berpandangan lantas keduanya tertawa.

     "Janji." Gigi mengaitkan kelingkingnya. Kemudian ia berdiri kembali, memandang ke ibunya Hanifah. "Om sedang ada di mana ya, Tanta? Di pasar ikan atau di warung kopi?"

     "Sa lihat saat pulang jemput Hanifah tadi ada di warung kopi. Oh ya, tadi sebelum ke pasar, Bapaknya Hanifah bertemu seorang pria yang naik ojek. Pria tersebut katanya akan bertanya tentang cara membuat SIUP kepada nelayan-nelayan di sini. Sepertinya pria itu tidak paham bagaimana caranya membuat SIUP." Walau sudah puluhan tahun tinggal di Manokwari, tapi logat Jawa pada setiap kata yang diucapkan ibu itu amat kental, padahal suaminya warga asli Papua.

     Dada Gigi berdebar. "Orang yang bertanya tentang cara membuat SIUP itu, ciri-cirinya bagaimana, Tanta?"

     Perempuan berdaster itu nampak berpikir sebentar. "Pakai kacamata, rambutnya putih semua, dan tubuhnya besar. Apakah ko kenal?"

     Gigi mengedikkan bahu. "Mungkin, Tanta. Baiklah kalau begitu, sa akan ke warung kopi dulu."

(bersambung)

Link part 11
https://m.facebook.com/groups/345695642956023?view=permalink&id=520792532112999

Cerita ini sedang dalam proses penerbitan.

* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, itu hanya kebetulan belaka.

The Sky in Manokwari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang