Pasar Wosi

16 2 0
                                    


     Gigi melewati banyak pedagang cabai, sayur dan buah yang diletakkan di atas tanah beralas karung dengan cara ditumpuk, persis seperti di pasar Sanggeng tadi. Ketika matanya bertemu dengan seorang wanita penjual cabai, ia tersenyum ramah. Gigi menghampiri wanita tersebut.

     “Tanta, harga cabe satu kilo berapa?” tanya Gigi.

     "Di sini jualnya tidak kiloan, De, tapi pertumpuk. Ko bukan orang sini, ya?" Wanita tersebut terkekeh.

     Gigi tertawa tersipu menyadari kebodohannya. Sudah jelas dagangan tersebut ditumpuk, artinya wajib membeli pertumpuk.

     "Ya, maaf, sa baru datang dari Jakarta. Jadi setumpuk harganya berapa, Tanta?"

     "Lima ribu, De."

     "Sa mau, Tanta. Dua tumpuk, ya? Sekalian minta plastik yang agak besar ya, buat taruh ikan juga."

     "Baik."

     “Tanta, kira-kira harga bahan pokok apakah yang naik akhir-akhir ini? Harga ayam, sayur, atau buah?” Gigi mewawancarai wanita penjual cabe tanpa merekamnya di ponsel. Dilihatnya wanita tersebut mengernyitkan dahi.

     “Aduh, Ade, tidak ada yang naik. Hanya ikan yang mahal sebab cuaca sedang buruk."

     Gigi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sebab cerita tentang harga ikan yang mahal sudah ia dapatkan di pasar Sanggeng tadi. Ia ganar ingin mewawancarai topik apalagi untuk bahan berita. Disaat sedang memikirkan pertanyaan apa yang akan ia lontarkan, wanita di depannya tiba-tiba berceloteh.

     "Sebenarnya di sini kita sepi pembeli. Karena banyak pedagang-pedagang baru yang belum terdata, buka lapak di depan pasar Wosi, di pinggir-pinggir jalan. Mereka itu orang-orang yang datang dari kebun di gunung, turun ke pasar, langsung jualan di depan pasar. Para pembeli tidak perlu masuk lagi ke dalam pasar Wosi sebab langsung membeli di pinggir-pinggir jalan. Apalagi harga yang ditawarkan penjual yang datang dari gunung itu lebih murah dari kami yang di dalam. Jadi penjual yang di dalam pasar mengalami kerugian karena sepi pembeli."

     Ada nada keluhan di balik cerita itu. Gigi yang tak sempat merekamnya pakai ponsel, ia menyimpan cerita tersebut di otak.

     "Apalagi bila jualan di dalam pasar biasanya harus bayar retribusi ya, Tanta?"

     Wanita tersebut mengangguk-angguk. "Benar, De. Sudah bayar malah sepi pembeli. Sedangkan penjual yang datang dari gunung, tidak bayar retribusi justru mencuri pembeli-pembeli kami."

     Baru saja Gigi ingin bersuara lagi tatkala tiba-tiba terdengar kegaduhan. Beberapa penjual berlarian menuju satu arah, ke pinggir jalan. Dilihatnya wanita penjual cabai juga bergegas ikut setengah berlari. Gigi ikut mengejar, ia segera membayar harga cabai yang dibelinya tadi.

     "Ada apa, Tanta? Pada ingin ke mana orang-orang ini? Tanta pun akan ke mana?" Gigi menoleh.

     "Kami akan ribut. Sering terjadi seperti ini karena mereka duluan yang memulai," cakap wanita penjual cabai penuh emosi dengan napas tersengal.

     Gigi juga ikut berlari. Tangan kirinya menenteng plastik dan tangan kanan telah menggenggam HP. Di belakangnya makin banyak orang yang ikut berlari ke depan. Ketika sampai di pinggir jalan, orang-orang sudah ramai. Semua mata tertuju ke sebuah adegan yang membuat Gigi terpaku.

     Dua lelaki tua berkelahi saling tindih. Sayur mayur yang digelar di pinggir jalan ikut jadi korban. Dengan ponselnya, Gigi memotret dan merekam. Ia memang bukan wartawan bagian kriminal, tapi perkelahian ini berkaitan juga dengan persaingan bisnis. Teriakan-teriakan dari dua kubu menambah riuh suasana. Kubu wanita penjual cabai mengusir paksa penjual-penjual di pinggir jalan yang disinyalir sebagai orang-orang yang datang dari kebun di gunung. Kubu lawan tak mau kalah, mereka meneriakkan hak asasi, bahwa berjualan di mana saja itu hak individu. Kedua kubu tak ada yang mau kalah. Keadaan kian memanas. Dua lelaki tua yang bergulat sudah mulai pada lebam di wajah. Gigi bergidik tapi ia terus memotret dan merekam suara-suara di sekitar. Beruntung tidak lama kemudian datang beberapa satpam membubarkan paksa perkelahian tersebut. Penjual-penjual yang di dalam pasar kembali mundur. Termasuk wanita penjual cabai tadi. Akhirnya Gigi menarik napas lega. Setelah menyimpan ponselnya ke dalam ransel, ia menyebrang. Menunggu angkot A untuk kembali ke kantor. Sungguh, hari pertama yang amat menegangkan baginya.

***

Cerita ini sedang dalam proses penerbitan.

* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, itu hanya kebetulan belaka

The Sky in Manokwari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang