Sepekan sebelum keberangkatan ke Manokwari, Gigi dipanggil ke ruangan pemimpin redaksi yang sejuk. Ia diwawancarai langsung oleh Pak Aris Leonardo."Kau telah siap untuk ditempatkan selama setahun di Manokwari?"
Gigi mengangguk tegas. "Aku siap, Pak! Bapak cemas aku tak layak?"
"Mengapa kau yakin sekali? Padahal saya tahu kau tidak pernah bertugas di Indonesia bagian timur sebelumnya. Saya cemas bila kelak kau tidak mampu beradaptasi dengan warga setempat."
"Benar, tapi aku pernah tinggal di Raja Ampat selama sebulan untuk penelitian gabungan dengan beberapa mahasiswa di Indonesia. Selain itu aku juga pernah Kuliah Kerja Nyata di daerah Jambi. Dan itu bisa jadi bekal aku untuk lebih mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Jadi aku tidak ragu sedikit pun." Senyum Gigi merekah.
Pak Aris tercenung mendengar penuturan Gigi yang mantap dan tegas. Ia memang percaya akan kemampuan salah satu wartawan emasnya itu, tapi ia ingin melihat keteguhan Gigi secara langsung. Sayap Gigi memang belum terbentang lebar di kancah jurnalistik, tapi nyalinya bisa diuji.
"Seperti yang saya informasikan sejak awal sebelum kau dan Alya mengikuti serangkaian test, Bahana Pelita baru empat bulan membuka cabang di Manokwari, namanya surat kabar Pelita Manokwari. Akan tetapi, kami tidak bisa mengirim sembarang jurnalis ke sana, karena itulah diadakan serangkaian test yang telah kau ikuti kemarin," jelas Pak Aris. Ia menarik napas sebentar sebelum melayangkan pertanyaan. "Kau tahu cabang dari Bahana Pelita yang terletak di Bima?"
Gigi mengangguk. "Ya, Pak. Bima Pelita, kan?"
"Benar. Dulu, kami pernah mengirimkan sejumlah wartawan dan tim marketing untuk ditugaskan di sana. Bima itu tidak semegah Jakarta. Tak ada mall, tak ada kendaraan umum yang beroperasi dalam 24 jam layaknya di ibu kota. Karena itulah banyak wartawan memilih resign dari sana padahal tahun belum berganti."
Gigi mendengar kisah tersebut dengan datar. Julukan apa yang patut untuk wartawan yang tidak siap bekerja dengan segala medan? Gigi mencebik.
"Jadi, beri satu alasan yang membuat saya yakin, apa yang mendorongmu ingin menjadi jurnalis di Papua?" Tatap Aris selidik.
"Sejak lama aku telah bermimpi menjadi jurnalis di Papua. Aku ingin mematahkan penilaian negatif dari banyak orang tentang Papua. Well, everyone just know that Papua is dangerous. Orang-orang di kota besar, seperti pulau Jawa, mereka hanya tahu Papua itu identik dengan konflik sehingga banyak yang enggan berkunjung ke bumi Kasuari. Berbekal pengalamanku yang pernah ke Raja Ampat ketika mengikuti penelitian, masyarakat Papua padahal sangat ramah, walau aku tak menampik Papua memang belum modern seperti Jakarta dan kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Jadi, aku ingin membuka mata banyak orang tentang Papua."
"Kau tidak gentar bila nanti berjumpa dengan organisasi yang ...." Pak Aris ragu melanjutkan ucapannya.
"Maksud Bapak, organisasi yang kerap melakukan tindakan separatis?" tegas Gigi.
"Seperti itu ...." Senyum Pak Aris.
Gigi cepat menggeleng. "Tidak, Pak. Prinsipku, selagi aku mengikuti peraturan di bumi mana tempat kakiku berpijak, aku tak pernah gentar tidur di mana pun."
Pak Aris mencondongkan sedikit tubuhnya. "Saya percaya nyalimu. Satu pesan saya, selalu baik-baik jaga diri di sana. Sebab walau kau perkasa, tapi kau tetaplah perempuan, Gigi!"
"Terima kasih, Pak. Aku berjanji, akan membuat Pelita Manokwari berkibar sejajar dengan media lain yang bernaung di Bahana Pelita."
****
“Kepada seluruh penumpang yang kami hormati, sesaat lagi pesawat Tiger Air akan mendarat di Bandara Rendani Manokwari pada pukul 06.00. Perbedaan waktu antara Jakarta dan Manokwari adalah dua jam. Kami mohon kepada para penumpang agar kembali ke tempat duduk dan mengenakan sabuk pengaman Anda. Terima kasih."
Suara dari intercom sayup-sayup terdengar. Gigi menggeliat dan membuka mata lalu mengenakan sabuk pengaman. Dari Jakarta butuh sekitar lima jam untuk terbang ke Manokwari. Rupanya ia tertidur cukup lama. Ia menoleh ke luar jendela pesawat. Fajar mulai merekah. Sang surya nampak malu-malu keluar dari peraduan. Gigi mengintip matahari terbit dari jendela pesawat.
Bukan pengalaman terbang pertama yang memakan waktu cukup lama yang pernah Gigi nikmati sebab ia sering ke Raja Ampat, tapi cukup menegangkan baginya sebab biasanya ia hanya terbang tak lebih dari tiga jam, itu pun saat terbang ke Bangkok bersama Papa dan Gea, sebagai reward dari papa atas prestasi Gigi karena mendapat IPK tertinggi. Selebihnya Gigi hanya terbang rute Jakarta - Semarang, Jakarta - Surabaya, dan Jakarta - Bandar Lampung yang hanya memakan waktu sekitar enam puluh hingga tujuh puluh lima menit. Dan selama terbang ke berbagai tempat tadi, ia tak pernah menyaksikan matahari terbit dari atas pesawat. Kini ia menikmati panorama antariksa yang membuatnya terpukau, yang semula gelap tiba-tiba berganti menjadi ungu, lalu berganti lagi menjadi oranye, kemudian baru nampak cerah seperti umumnya. Moment yang langka yang hanya bisa ia nikmati bila terbang ke Timur Indonesia. Terbayar sudah rasa jemu selama ia di pesawat Boeing 737-800.
Gigi menarik napas panjang lantas mengembuskan dengan pelan saat roda pesawat telah menyentuh landasan bandara Rendani. Ia bersyukur selamat hingga tujuan. Walau ia sering terbang, tapi tak urung jantungnya selalu berdetak lebih cepat setiap pesawat akan take off, landing dan mengalami turbulensi. Gigi memang selalu was-was tiap kali ingin terbang. Ia tahu, pesawat yang sudah diijinkan untuk terbang artinya pesawat tersebut telah memenuhi standar layak terbang jadi aman untuk terbang. Yang ditakuti Gigi adalah kecelakaan yang disebabkan oleh human error.
(bersambung)
Cerita ini sedang dalam proses penerbitan.
* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, itu hanya kebetulan belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky in Manokwari
Novela JuvenilTentang jurnalis yang bertugas di Manokwari, Papua Barat.