Langkah Gigi lebar menuju warung kopi yang berjarak lima puluh meter dari tempat ia berbincang tadi. Warung kopi di kampung nelayan tersebut biasanya dijadikan tempat penduduk berhimpun bila sedang ada informasi yang akan disampaikan. Pagi itu sedikit gelita sebab angkasa sedang gabak. Namun anehnya udara justru beringsang. Gigi menyeka peluh yang membanjiri gala dengan punggung telapak tangan. Sesekali senyumnya mengembang membalas sapaan hangat penduduk setempat yang ia jumpai sepanjang jalan.
Ancar-ancarnya benar. Dari jarak lima puluh kaki, Gigi melihat beberapa orang berdiri di depan warung kopi. Setengah berlari Gigi menuju ke kerumunan itu.
"Kalian tahu tidak, pelaku pungli bisa dijerat Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Ya, praktik pungli bisa dijatuhkan hukuman penjara maksimal 9 bulan."
Suara bernada geram yang dilontarkan Pak Ericson akhirnya jelas terdengar oleh Gigi. Napasnya tersengal karena habis berlari. Ia tersenyum mengangguk kala Pak Ericson yang pada siang itu mengenakan kemeja berwarna salem dan celana hitam menoleh ke arahnya sebentar lalu beralih ke beberapa orang di depannya. Gigi menghitung ada delapan orang yang berdiri paling depan, bisa dipastikan mereka itu yang terlibat pungutan liar. Sedangkan sisanya hanya penonton, atau bisa jadi sebagai korban dari pungutan liar.
"Sekali lagi sa dengar kalian melakukan tindakan bodoh terkait pungli, akan sa laporkan ke pusat. Sa tidak main-main!" gertak Pak Ericson kepada delapan orang yang pandangannya terpekur ke tanah. Kemudian Pak Ericson menunjuk ke Gigi lagi. "Tengok gadis itu. Ia seorang wartawan Pelita Manokwari. Akan sa suruh gadis itu memuat berita ini, menulis kesalahan kalian di surat kabar."
Sontak delapan kepala itu menoleh ke arah Gigi. Tak gentar, Gigi membalas pandangan mereka. Ketika terdengar suara Pak Ericson lagi, delapan orang tersebut kembali menekuri tanah.
"Sa akan suruh gadis itu merahasiakan identitas kalian. Sa akan minta kepadanya informasi ini off the record sebab sa masih memiliki nurani. Sa paham, sebagai kepala keluarga, kalian sangat dibutuhkan di rumah. Akan tetapi sanksi sosial tetap sa berikan karena kalian telah merugikan banyak rakyat kecil. Perbuatan kalian termasuk tindak kriminal. Sa ingin kalian mengakui kesalahan dengan jantan pada apel di Senin pagi mendatang."
Setelah berkata begitu Pak Ericson membubarkan kerumunan tersebut. Satu persatu penduduk meninggalkan tempat itu. Pun kepala nelayan yang menegur ramah Gigi sebelum menghilang. Gigi mengulum senyum mengamati gerak-gerik penduduk yang terlihat sungkan kepada Pak Ericson.
"Selamat pagi menjelang siang, Pak," sapa Gigi kala Pak Ericson mendekat.
"Siang juga, Gigi. Mengapa ko baru datang?"
"Menunggu ojeknya lama sekali. Lalu di depan tadi sempat berbincang sebentar dengan istri kepala nelayan."
"Sa kira ko batal datang. Mari kita makan siang dulu di rumah makan Padang sembari berbincang," ajak Pak Ericson.
Gigi mengikuti langkah Pak Ericson menuju bagian depan kampung. Angkasa kian pekat. Mungkin tak lama lagi hujan akan membanjur buana. Mereka melangkah tanpa cakap. Menekuri bentala yang dipijak dengan memainkan pikiran masing-masing. Rumah makan Padang sederhana yang terletak di sisi kiri pintu masuk ke kampung nelayan pada siang itu cukup lengang. Hanya ada dua orang laki-laki dewasa sedang menikmati santapannya. Setelah mengambil nasi ala prasmanan, Gigi mengikuti Pak Ericson menuju kursi dekat jendela berdaun kaca.
"Sa mau bicara lebih lanjut tentang berita yang akan ko tulis terkait pungli." Pak Ericson membuka obrolan. Ia menyesap teh hangatnya terlebih dahulu sebelum melanjutkan bicara. "Sa tidak ingin ko menulis secara detail di surat kabar," lanjutnya.
Gigi memandang raut yang nampak serius di depannya.
"Maaf, Pak, ada beberapa hal yang tidak bisa aku turuti. Sebab pungli yang terjadi saat UMKM mikro ingin membuat SIUP adalah fakta." Gigi mulai mengunyah nasi dengan ayam gulai.
"Tapi sa minta tolong sekali kepada ko, jangan tulis nama orang-orang yang terlibat dalam pungli. Mungkin akan lebih wise bila ko tulis berita yang menggiring masyarakat berupa himbauan kepada para pelaku UMKM yang ingin membuat SIUP agar jangan takut untuk melaporkan tindakan pungli yang mereka ketahui ke kantor dinas UMKM di Papua Barat."
Gigi berhenti mengunyah. Dipandanginya Pak Ericson dengan berani. "Mungkin nama-nama korban pungli bisa sa samarkan demi kepentingan bersama, tapi tidak dengan nama-nama pelaku," tegas Gigi.
Pak Ericson tak segera menyahut. Beberapa detik mereka saling berpandangan tegang.
"Sa tahu ko wartawan yang cerdas dan kritis. Akan tetapi, tidakkah ko renungkan, setiap orang berhak diberi kesempatan kedua? Tadi sa sudah memarahi mereka dan memberi sanksi sosial, tapi sa telah memaafkan tindakan mereka untuk kali ini sebab sebagai kepala keluarga, mereka sangat dibutuhkan. Sa tidak ingin anak dan istri mereka tahu tindakan yang mereka lakukan. Jadi, ayolah, kita beri kesempatan kedua untuk mereka, ya?" tawar Pak Ericson.
"Bagaimana kalau aku tulis initial nama mereka saja?" debat Gigi. "Sebenarnya aku tak setuju dengan cara begini tapi aku menghormati keputusan Bapak sebagai atasan mereka."
Gigi melihat air muka Pak Ericson berubah, sepertinya ingin muntab.
"Manokwari itu kecil, Gi," dalih Pak Ericson setelah menghela napas berkali-kali. "Walau ko hanya menulis initial, tetap saja orang-orang di Manokwari akan tahu siapa saja yang terlibat dalam kasus pungli."
"Tidak adil dong kalau begitu," tukas Gigi. Bibir tipis yang memerah karena pedasnya kuah gulai itu senderut. "Menang Bapak 100 persen dong, mestinya fifty-fifty. Jadi kesepakatannya, aku tetap akan tulis nama-nama pelaku pungli tapi sekadar initial saja."
Lama Pak Ericson tak menyahut. Ia melanjutkan mengunyah dahulu sebelum memandang Gigi kembali.
"Baiklah, sa mengalah. Janji ya hanya menulis initial saja?"
Gigi lekas mengangguk. "Siap, Pak." Senyumnya. "Maaf sebelumnya, Pak, boleh aku minta nomor hape Bapak? Sebab aku ingin bertanya lebih lanjut tentang langkah-langkah yang akan Bapak ambil selanjutnya. Jika Bapak bisa memikirkan kesejahteraan pegawai Bapak, mestinya Bapak bisa juga dong memikirkan kesejahteraan pelaku UMKM yang menjadi korban pungli."
Pak Ericson mengangguk. "Boleh. Nanti setelah makan akan sa beri nomor sa punya HP. Ngomong-ngomong ko akan liputan ke mana setelah ini?"
"Ke dinas pertanian, Pak, tapi nanti aku akan mampir ke rumah kepala nelayan dulu. Tadi aku sudah berjanji dengan anaknya."
"Kepala nelayan punya anak lelaki dewasa? Setahu sa anaknya perempuan semua, masih SD dan TK." Dahi Pak Ericson mengernyit.
"Benar, Pak. Aku telah berjanji dengan anaknya yang masih TK."
Pak Ericson tak menyahut lagi. Hanya kepalanya yang manggut-manggut. Diam-diam ia menghela napas lega.
(bersambung)
Cerita ini sedang dalam proses penerbitan.
* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, itu hanya kebetulan belaka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky in Manokwari
Ficção AdolescenteTentang jurnalis yang bertugas di Manokwari, Papua Barat.