Liputan Pertama

26 4 0
                                    

     Tepat ketika Gigi selesai memakai sneaker, saat Grace mengajaknya ke kantor bersama.

     "Ayo!" seru Gigi seraya menyampirkan ransel di bahu.

     Mata Grace memicing memandang penampilan Gigi yang pagi itu dibalut kaos polos putih, dipadukan dengan coat hijau tosca dan syal berwarna senada.

     "Ko tidak pakai make up dulu? Wartawan lain yang cewek juga pakai sneaker tapi wajahnya seperti bagian resepsionis." Senyum Grace lebar.

     Gigi tertawa tanpa suara. "Aku tidak suka berhias, Kak. Kecuali kondangan."

     "Baiklah kalau begitu, mari kita turun."

     Setelah Grace mengunci pintu, mereka menuju lantai dua beriringan melewati kamar-kamar lain.

     "Yang menempati lantai tiga kebetulan cewek semua. Sedangkan di lantai empat campur-campur, ada cewek dan cowok. Dan di lantai teratas hanya ada tiga kamar yaitu kamar tengah diisi Paman sa, Stevanus. Di ujung ada kamar bagian marketing, periklanan, administrasi, mereka sekamar. Dan kamar paling pertama adalah kamar General Manager."

    Gigi manggut-manggut. "Semua karyawan tingal di mess?"

     Grace menggeleng. "Tidak. Banyak juga yang ada rumah sendiri di sekitar sini."

     Gigi tak menyahut lagi. Mereka sudah berada di koridor lantai dua.

     "Kita buat teh hangat dulu untuk sarapan. Di sini ada office boy yang biasa membelikan kue-kue buat sarapan dan makan siang," ajak Grace menuju pantry yang terletak di sisi kiri tangga. "Ko juga bisa masak di sini bila bosan makan di luar."

     Dengan matanya Gigi mengitari pantry yang cukup rapi dan bersih. Setelah masing-masing membuat teh hangat, Grace mengajak Gigi keluar.

     "Biasanya wartawan ngetik berita di sini." Tunjuk Grace ke ruangan di depan pantry, di sisi kiri koridor. "Ruangan ini bebas merokok bila ko ingin mengetik berita sambil merokok."

     "Wah, aku alergi dengan asap rokok." Gigi menyeringai. Dia mengamati ruangan berdinding kaca yang ditutup koran.

     "Kalau begitu nanti ko mengetik berita di sana saja. Itu ruangan bebas dari asap rokok." Kali ini Grace menunjuk barisan meja yang menyerupai kubikel-kubikel karyawan yang sempat diperhatikannya kala ia baru tiba kemarin. Tempat tersebut dekat tangga untuk turun. Namun Gigi justru tertarik mengamati ruangan di sisi kanan koridor. Ruangan tersebut berdinding kaca juga tapi tidak ditutupi koran seperti ruangan di depannya sehingga Gigi dapat jelas melihat isi di dalam. Ada beberapa meja kayu yang di atasnya terdapat tiga Apple Macbook Pro dengan LED diagonal 15,4 inci. Tampaknya ruangan tersebut khusus untuk para desainer lay out surat kabar yang akan terbit setiap hari. Kemudian Gigi menoleh ke meja lain yang di atasnya terdapat netbook dalam kondisi tertutup. Dan di sisinya ada sebuah meja juga yang tak ada apa pun di atasnya.

     "Baiklah, kita pisah dulu," ujar Grace saat mereka tiba di ruangan tanpa dinding dekat tangga mau turun. "Selamat bekerja, Gigi." Grace menjabat tangan Gigi erat-erat.

     "Selamat bekerja juga, Kak." Gigi mengangguk tersenyum. Dengan matanya, ia mengiringi langkah Grace yang sedang turun ke lantai dasar.

     Setelah bayangan Grace hilang, Gigi duduk di salah satu kursi. Namun, ia bingung apa yang akan dilakukannya sebab belum ada materi yang mesti diketik. Ia juga belum berkenalan dengan tim redaksi dan para wartawan Pelita Manokwari. Gigi memandang seantro, kantor masih sepi. Di saat ia sedang bimbang akan melakukan sesuatu sebagai awal, tiba-tiba seorang lelaki berambut keriting dengan penampilan parlente duduk di sisinya setelah menarik kursi dari meja lain.

     "Halo, Gigi. Sa Stevanus, pemimpin redaksi."

     "Oh. Ya, Pak." Gigi membalas sopan uluran tangan Pak Stevanus.

     "Ko boleh panggil sa dengan om saja biar sama seperti dengan keponakan sa, Grace."

     "Baiklah kalau begitu, Om."

     "Bagaimana tidur ko semalam? Mimpi burukkah?" kelakar Pak Stevanus.

     Gigi ikut tertawa. "Sangat nyenyak, Om. Hanya cuaca seperti di Jakarta. Gerah. Padahal hujan cukup deras."

     "Wah, justru sepuluh kali lipat lebih panas di sini daripada di Jakarta, sebab di sini banyak pantai."

     "Ya, Om. Semalam Grace telah bercerita juga."

     "Baiklah, kita langsung bahas ko pu pekerjaan, ya? Sa ingin tahu, ko pernah liputan apa di Bahana Pelita?"

     "Aku bekerja di rubrik ekonomi bisnis, Om. Kadang di kanal bisnis, saham, dan kadang di perbankan."

     "Di perbankan, apa yang ko liput?"

     "Biasanya mewawancarai tentang sistem kredit di bank. Misalnya saja ada bank yang memangkas bunga KPR sekian persen. Atau biasanya OJK yang memberi komentar pada bank, khususnya yang terkenal di NPL," tutur Gigi.

     Pak Stevanus manggut-manggut. "Tahukah ko mengapa Pelita Manokwari dibuka?"

     "Hmmm ... mungkin untuk menambah penghasilan Bahana Pelita?" terka Gigi.

     "Tidak sepenuhnya salah. Jadi begini, Gi, di Indonesia 80 persen berita yang diterima oleh masyarakat daerah adalah berita tentang yang berada di Jabodetabek. Coba ko renungkan, bila masyarakat Manokwari mendengar berita-berita tentang saham-saham di Meikarta, apakah itu menarik untuk mereka? Atau bagaimana respon masyarakat Manokwari bila disajikan berita tentang bank CIMB? Bahkan di Manokwari, bank CIMB belum buka cabang."

     Gigi terpekur mendengar uraian Pak Stevanus. Ia memang sempat meraba ke arah yang dibicarakan tadi, tapi ia tidak menyadari celah tersebut.

     "Jadi untuk rubrik ekonomi di Manokwari tentu saja berbeda dengan di Jakarta," cakap Pak Stevanus selanjutnya. "Sebab di Jakarta, berita-beritanya dibaca oleh audiens luas. Ada pengusaha, pialang saham, banker, dan masih banyak lagi. Karena itulah berita ekonomi terkait saham, inflasi, deflasi, IHSG, itu laku keras di Jakarta. Benar?"

     Gigi cepat mengangguk. "Benar sekali, Om."

    "Sedangkan di Pelita Manokwari, siapa yang akan jadi audiens kita? Pengusaha atau pialang saham? Bukan keduanya! Karena itulah kita lebih mengedepankan isue ke ekonomi pembangunan di Papua saja, seperti komoditas di Papua, harga ikan yang naik, harga cabai yang naik, atau harga tiket yang banyak diminati menjelang Natal. Kita tidak akan meliput lebih dalam tentang dolar dan saham di sini sebab audiens di Papua tak ada yang memerhatikan terlalu detail hal-hal seperti itu."

     Gigi merekam semua ucapan Pak Stevanus di otaknya.

     "Bagaimana, ko sudah paham?"

     "Sangat paham, Om."

     "Baiklah kalau begitu. Sa test untuk kali pertama. Ko cari berita di pasar Sanggeng dan pasar Wosi. Ko berangkat sendiri karena wartawan lain sudah ada tugas masing-masing. Siap?"

     Sedikit terkejut Gigi menerima perintah tersebut sebab ia belum membumi dengan Manokwari lalu tiba-tiba ia diberi tugas ke pasar. Namun, sejatinya Gigi telah siap untuk keadaan seperti ini sejak ia di Jakarta. Ia sadar akan konsekuensi yang ia terima dari profesinya.

(bersambung)

* cerita ini sedang dalam proses penerbitan.

* cerita ini hanya fiktif, bila ada kesamaan nama, tempat, dan peristiwa, itu hanya kebetulan belaka.

The Sky in Manokwari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang