Bersama puluhan penumpang lainnya, Gigi turun dari pesawat. Dan ketika kakinya telah menjejak di bumi Manokwari, ia memandang sekelilingnya sembari menunggu bus bandara menjemput penumpang. Landasan Rendani rupanya berbatasan dengan laut. Dari tempatnya berdiri, Gigi dapat melihat pemukiman penduduk di atas gunung yang tidak jauh dari bandara. Kesibukan yang terjadi di bandara pasti sudah menjadi santapan sehari-hari bagi penduduk yang bermukim di atas gunung itu. Mungkin amat menyenangkan dapat menyaksikan pesawat take off dari rumah setiap hari, gumam Gigi dalam hati.Bus berwarna putih datang. Gigi bersama puluhan penumpang segera naik. Di dekat pintu, Gigi menghempaskan tubuhnya di kursi berwarna biru. Dalam sekejap bus yang dinaiki Gigi telah sesak oleh penumpang. Setelah pintu ditutup, bus mulai meninggalkan pesawat Tiger Air yang mesinnya masih terdengar bising.
Tak sampai lima menit bus yang dinaiki Gigi tiba di pintu kedatangan. Bandara Rendani memang tak seluas bandara Juanda di Surabaya, alih-alih seperti bandara Soekarno Hatta di Jakarta. Gigi melihat palang-palang besi di pintu kedatangan saat ia turun dari bus. Ia tak perlu melalui lorong-lorong yang berliku layaknya di bandara Soeta. Gigi memasuki ruangan yang hanya berisi satu ban berjalan. Di layar televisi yang terletak di atas ban berjalan, Gigi tercengang saat melihat tampilan yang berada di layar tersebut. Rupanya ada tiga maskapai yang mendarat di Rendani pagi ini. Maskapai yang dinaiki Gigi adalah maskapai ketiga. Dan saat ini ban berjalan masih mengeluarkan bagasi milik maskapai pertama. Membuat Gigi jadi orang muntab. Namun yang ia lakukan hanyalah menarik napas panjang-panjang lalu menyemburkannya pelan.
Tiba-tiba seorang pria memasuki ruang ban berjalan. Menilik dari pakaiannya berupa kemeja hitam dan celana berwarna senada dipadukan dengan rompi, ia adalah petugas bandara. Setelah berdehem sebentar, pria tinggi besar itu bicara setengah teriak.
"Bapak, Ibu, diharap kesabarannya. Ini bagasi milik penumpang pesawat Wings Air, penumpang Garuda Indonesia, dan penumpang Tiger Air. Harap pada tunggu sebentar."
"Huuuuuuuuu."
Koar orang-orang yang berada di situ. Suasana jadi riuh. Terdengar gerutuan di mana-mana. Wajah-wajah yang melukiskan resah dan kesal bercampur padu. Untuk membunuh rasa jemu menunggu, Gigi mengedarkan pandangan ke seantro. Bandara Rendani cukup bersih. Tak ada sampah-sampah yang tertangkap matanya. Hanya beberapa puntung rokok teronggok di sudut-sudut ruangan.
Nyaris 30 menit lamanya Gigi menunggu kala ban berjalan mulai memuntahkan bagasi milik penumpang Tiger Air. Gigi menajamkan mata mengamati dua koper berukuran big size dengan warna yang sama, hitam. Ia menyesal tak memakai koper dengan corak berbeda atau warna yang benderang agar ia mudah mengenali kopernya di antara ratusan koper lainnya tanpa matanya lelah sebab tak berkedip menatap ban berjalan. Dengan mencermati label yang menggantung di ujung koper-koper, ia baru bisa mengenali kopernya.
🌹🌹🌹
2. Mop Papua.
Gigi menyeruak dari kerumunan para penumpang yang masih setia didekat ban berjalan setelah ia berhasil menganjur dua kopernya. Kemudian ia menuju pintu otomatis, melangkah keluar dari bandara. Sejenak Gigi memejamkan mata. Dihirupnya udara Manokwari yang masih asing di hidungnya sebelum matanya mengelilingi area sekitar mencari taksi.
"Taksi?" Seorang pria memutar-mutar kunci mobil di hadapan Gigi yang segera mengangguk.
"Ya, aku butuh taksi."
Pria yang ternyata supir taksi itu dengan sigap menganjur dua koper Gigi. Mata Gigi memicing saat langkahnya menuju Innova hitam, mengikuti supir taksi. Tak ada taksi dari sedan yang berwarna biru atau silver layaknya di bandara yang pernah ia jejak. Dengan ekor matanya Gigi menangkap tulisan 'Taksi Bandara' di atas Innova hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Sky in Manokwari
Novela JuvenilTentang jurnalis yang bertugas di Manokwari, Papua Barat.