L

3.4K 402 45
                                    

"Gak capek apa menghindar mulu?"

"Aku gak menghindar, emang lebih suka sendiri aja."

Sosok yang duduk di samping Gio itu menghembuskan napasnya kasar.

.
.
.

Really Bad Boy

Present

.
.
.

Happy Reading

Memiliki wajah yang manis, tentu bukan keinginan dirinya. Bahkan dia selalu berharap kalau wajahnya itu manly seperti ayahnya, atau paling nggak ya mirip sedikit dengan sang papa.

Kadang, Gio merasakan risih ketika orang-orang di sekitarnya itu melihatnya dengan tatapan aneh. Seakan menghakimi wajahnya yang nggak sesuai dengan gendernya, ya mungkin mereka heran dengan dirinya yang memiliki wajah (manis) layaknya perempuan. Dan seakan-akan wajahnya itu adalah sebuah kesalahan yang sangat menjijikan. Padahal, kalau boleh memilih ya dirinya juga nggak mau memiliki wajah kaya gini.

Malahan sampai sekarang pun, dia masih bertanya-tanya. Dulu pas papanya mengandung dirinya itu ngidam apa sih?

Huft.

Bahkan, sering kali Gio mendengar rumor tentangnya yang kayanya udah tersebar nyaris di seluruh fakultas ㅡatau mungkin sekampusnya. Mengenai dirinya yang melakukan operasi plastik, katanya sih dia itu nekat merubah penampilan pribadinya hanya demi menarik perhatian dari orang lain.

What the hell...

Dia nggak sekonyol itu.

Udah keterlaluan, dan juga ngarang banget alias ngaco abis.

Gio nggak habis pikir aja sama orang yang telah membuat dan juga menyebarkan gosip murahan kaya gitu.

Yang benar aja?

Heol.

"Takut mukanya kebakar kali ya?",

"Ya kali, operasi plastik kan gak murah cyin."

Satu hal lagi, dia sangat membenci keramaian. Dalam artian, sangat nggak suka di situasi yang mengharuskan dirinya berada di sekumpulan orang-orang yang kebanyakan hobinya tuh nge-judge.

Segerombolan para tukang gosip yang membuang waktunya hanya untuk membicarakan apapun kekurangan orang lain yang belum mereka tau kebenarannya seperti apa.

"Makanya panas-panas gini pake maskernya mulu, duh beda kali ya yang mukanya udah oplasan."

Hanya menghembuskan napasnya jengah, Gio pun melangkahkan kakinya dengan cepat. Berusaha untuk nggak mendengarkan kicauan orang-orang yang menggunjing dirinya.

Menyebalkan.

.
.
.

Dua hari satu malam.

Seharusnya bisa menjadikan dirinya dekat dengan sosok kakak tingkatnya tersebut. Bahkan terbilang cukup, untuk ukuran seorang Dimas yang terkenal dengan easy going-nya. Cuma, entah kenapa selama berada di dekat oknum yang bernama Gio itu nggak membuatnya berani untuk sekedar bertanya basa-basi.

Ya, misalnya seperti menanyakan mengenai jurusannya apa, semester berapa, hal apa yang dia sukai, atau mungkin punya seseorang yang spesial gitu?

Dimas emang sepayah itu. Dia merasa kaya di tanggapi oleh Gio aja, rasanya udah lebih dari cukup. Jadi, ya nyadar diri aja.

Really Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang